Jumat, 28 September 2012

Tajul Muluk Perbaiki Permohonan Pengujian Pasal Penodaan Agama

Tajul Muluk Alias H. Ali Murtadha, pemimpin Syi’ah di Sampang, Madura, melalui kuasa hukumnya, Iqbal Tawakkal Pasaribu memaparkan perbaikan permohonan tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Jum’at (28/9/2012). Persidangan untuk perkara yang diregistrasi dengan Nomor 84/PUU-X/2012 ihwal Pengujian Pasal 156a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana juncto Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, semula diajukan oleh Tajul Muluk, Hassan Alaydrus, Ahmad Hidayat, dan Umar Shahab. Pada persidangan kali ini, Tajul Muluk dkk melalui kuasanya menambahkan satu orang pemohon yaitu, Sebastian Joe. Sehingga jumlah pemohon menjadi 5 orang.
Iqbal Tawakkal Pasaribu menuturkan Sebastian Joe saat ini sedang menjalani proses pidana dengan tuduhan penodaan agama melalui posting tulisan di situs jejaring sosial facebook. “Pemohon 5 (Sebastian Joe) menyampaikan pendapatnya dalam situs facebook yang telah dituduh dan didakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana dalam Pasal 156a KUHP dan sedang menjalani proses hukum pidana,” kata Iqbal.
Pasal 156a KUHP menyatakan, “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Menurut Iqbal, unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 156a KUHP tersebut tidak memiliki kejelasan maksud yang pasti. Selain itu, tidak ada tolok ukur yang jelas dan baku mengenai apa yang dimaksud permusuhan, penyalahgunaan, dan penodaan. “Sehingga siapa saja yang mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan di muka umum, terlebih-lebih manakala perspektif berfikirnya berbeda dengan perspektif berfikir mayoritas masyarakat di mana dia tinggal, sehingga kapan saja dapat dikenai tuduhan penodaan, pencemaran, dan penistaan terhadap suatu agama dengan berdasarkan pasal tersebut,” dalil Iqbal.
Di sisi yang lain, lanjut Iqbal, UUD 1945 menjamin kebebasan beragama dan beribadah menurut agamanya, berserikan dan berkumpul, serta mengeluarkan pendapat dengan lisan atau tulisan. Sehingga menurutnya Pasal 156a KUHP mengandung ketidakpastian hukum dan berpotensi melanggar hak konstitusional para Pemohon yang dijamin dan dilingungi oleh Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945.
Ketentuan Pasal 156a KUHP tersebut mengandung muatan norma secara luas dan multitafsir, sehingga tidak memiliki kepastian hukum pada unsur-unsur pasal tersebut. Unsur-unsur tentang “di muka umum” dalam Pasal 156a KUHP dan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak memiliki penjelasan mengenai pengertian “di muka umum”. Sehingga suatu perbuatan di muka umum sangat bersifat objektif dan tidak dapat diukur. Dampaknya, ketika sekelompok kerabat keluarga melakukan kajian dan diskusi di mushalla terkait masalah agama yang sama dengan pandangan berbeda dengan kelompok mayoritas, dapat dikatakan dan ditafsirkan sebagai “di muka umum”. “Padahal penyampaian pikiran dapat saja dalam lingkungan pribadinya sebagaimana yang dialami Pemohon I dan Pemohon V. Hal tersebut terjadi karena tidak ada pengertian yang jelas dan yang memberikan kepastian hukum terhadap unsur ‘di muka umum’,” lanjut Iqbal.
Selain itu, unsur-unsur Pasal 156a KUHP tersebut tidak memiliki kepastian hukum dalam hal siapa yang memiliki kewenangan dan bagaimana cara menilai tentang ajaran, perasaan atau perbuatan seseorang, kelompok orang, organisasi sesat, atau menyimpang, atau dianggap melencengkan dari suatu agama. Sehingga perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia atau perasaan atau perbuatan yang bermaksud agar supaya orang tidak menganut apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sementera dalam realitasnya, terdapat berbagai paham, mazhab, aliran pikiran dalam satu agama yang dianut di Indonesia.
“Perbedaan Paham, mazhab, dalam satu agama tidak semata-mata hanya terdapat dalam agama Islam. Agama-agama lain selain Islam juga terdapat aliran, paham, mazhab yang kesemuanya adalah sebuah keniscayaan sebagai akibat terbatasnya pemahaman umat manusia terhadap wahyu, doktrin dan ajaran agama yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian seorang atau kelompok orang, organisasi kapan saja dapat dikenakan tuduhan melanggar Pasal 156a KUHP,” papar Iqbal. (Nur Rosihin Ana)

SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES

Rabu, 26 September 2012

Putusan MK: Penyelidikan Kepala Daerah Tanpa Izin Presiden

Izin tertulis dari Presiden untuk melakukan penyelidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dapat membuka kerahasiaan proses penyelidikan itu sendiri. Dalam tahapan penyelidikan belum ada kepastian seseorang akan disidik atau tidak disidik, belum dilakukan pencarian dan pengumpulan bukti, namun hanya pengumpulan informasi. Dengan demikian terhadap proses penyelidikan, seseorang tidak akan dikurangi dan dibatasi gerak dan aktivitasnya, kecuali jika dilakukan penangkapan. Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang diselidiki tetap dapat memimpin pemerintahan daerah.
Izin tertulis dari Presiden yang disyaratkan dalam proses penyelidikan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) UU Pemda menurut Mahkamah akan menghambat proses penyelidikan, karena Presiden diberi waktu 60 hari untuk mengeluarkan persetujuan tersebut. Dalam tenggang waktu itu, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang diduga melakukan tindak pidana berpeluang melakukan upaya penghapusan jejak tindak kejahatan, atau penghilangan alat bukti. Bahkan penyelidikan yang dirahasiakan dapat diketahui oleh yang bersangkutan.
“Menurut Mahkamah, persetujuan tertulis pada tahap penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah atau pejabat manapun tidak memiliki rasionalitas hukum yang cukup, dan akan memperlakukan warga negara secara berbeda di hadapan hukum.”
Demikian pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar dalam persidangan dengan agenda pengucapan Putusan Nomor 73/PUU-IX/2011 ihwal Pengujian Pasal 36 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), yang digelar di Mahkamah Konstitusi pada Rabu (26/2012) sore. Pengujian materi UU Pemda ini diajukan oleh Feri Amsari, Teten Masduki, Zainal Arifin Mochtar Husein, Indonesia Corruption Watch (ICW).
Menurut Mahkamah yang memerlukan izin tertulis dari Presiden hanya tindakan penahanan. Tindakan penyidikan dapat dilakukan oleh penyidik tanpa harus memperoleh izin tertulis dari Presiden. Namun demikian, tindakan penahanan yang dilakukan untuk kepentingan penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (3) UU Pemda tetap memerlukan izin tertulis dari Presiden.
Terhadap kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara sebagaimana ketentuan Pasal 36 ayat (4) UU Pemda, hal ini tidak lagi memerlukan persetujuan tertulis dari Presiden untuk melakukan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan. “Karena kejahatan tersebut adalah kejahatan berat yang jika harus menunggu persetujuan tertulis, akan berpotensi membahayakan nyawa orang lain, atau berpotensi membahayakan keamanan negara” lanjut Akil.
Oleh karena itulah, ketentuan Pasal 36 ayat (5) UU Pemda mengatur batas waktu dua kali 24 jam untuk melapor kepada Presiden setelah dilakukan tindakan penahanan atas tindak pidana kejahatan tertangkap tangan, tindak pidana kejahatan yang diancam pidana mati, atau  tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara, menurut Mahkamah kententuan batas waktu tersebut tetap diperlukan dan tetap harus melekat dengan Pasal 36 ayat (4) UU Pemda.
Mahkamah menyatakan sebagian dalil para pemohon beralasan menurut hukum. Sehingga dalam amar putusan Mahkamah menyatakan mengabulkan sebagian permohonan.
“Amar putusan, mengadili, menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD membacakan vonis.
Mahkamah menyatakan Pasal 36 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (2) UU Pemda bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kemudian menyatakan Pasal 36 ayat (3) UU Pemda bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah memerlukan persetujuan tertulis dari Presiden dan apabila persetujuan tertulis dimaksud tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya surat  permohonan maka proses penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan dapat langsung dilakukan”.
Mahkamah juga menyatakan Pasal 36 ayat (4) UU Pemda bertentangan dengan UU 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan tersebut pada ayat (3) adalah: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; atau b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.” (Nur Rosihin Ana). 

SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES

Yusril: Seseorang Tidak Dapat Dihukum dengan UU

Tujuan pemasyarakatan bukan untuk balas dendam. Selama menjalani pidana, narapidana dibina dan dididik agar menjadi orang baik sehingga setelah selesai menjalani pidana dapat berintegrasi secara normal di tengah-tengah masyarakat dan berguna bagi pembangunan bangsa dan negara.
Begitulah filosofi sistem pemasyarakatan. Namun yang menimbulkan tanda tanya adalah adanya persyaratan tidak pernah dipidana dengan ancaman hukuman serendah-rendahnya 5 tahun penjara sebagaimana ketentuan dalam UU Pemda dan UU Pileg. Bahkan dalam jabatan kenegaraan juga tercantum persyaratan tersebut. Hal ini tidak saja bertentangan dengan filosofi pemasyarakatan, tapi juga bertentangan dengan Pasal 27 dan Pasal 28 UUD 1945.
Hal tersebut disampaikan pakar hukum tata negara Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra saat menjadi ahli pemohon dalam sidang pleno di Mahkamah Konstitusi (MK) Rabu (26/9/2012) siang. Selain itu, lanjut Yusril, seseorang tidak dapat dihukum dengan UU. Seseorang hanya dapat dihukum dengan putusan pengadilan. Yusri menyontohkan pengadilan terhadap Anwar Ibrahim, mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia. Anwar dimejahijaukan dengan tuduhan melakukan sodomi.  Anwar divonis penjara 6 tahun dan dicabut haknya untuk berpolitik selama 7 tahun. Putusan tersebut akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Agung Malaysia. Mantan Perdana Menteri Thailand, Thaksin Shinawatra, juga dijatuhi pidana dan dicabut haknya untuk berpolitik selama 5 tahun.
“Jadi, putusan pengadilanlah yang menghukum seseorang, bukan undang-undang yang menghukum seseorang. Ini sekarang undang-undang menghukum seseorang tanpa ada sebuah proses pengadilan. Kapan hakim menyatakan orang ini tidak boleh menjadi kepala daerah?” tanya Yusril.
Sidang kali ketiga untuk perkara 79/PUU-X/2012 ihwal pengujian Pasal 3 dan Penjelasan Pasal 3 UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Pasal 58 huruf (f) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004, Pasal 12 huruf (g) dan Pasal 51 ayat (1) huruf (g) UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, ini dilaksanakan oleh hakim konstitusi Moh. Mahfud MD (ketua pleno) didampingi enam anggota pleno Achmad Sodiki, Ahmad Fadlil Sumadi, Harjono, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, dan M. Akil Mochtar.
Agenda persidangan MK kali ini adalah keterangan Pemerintah, DPR dan Saksi/Ahli dari Pemohon serta Pemerintah. Pemerintah dalam keterangan yang disampaikan oleh Direktur Litigasi Kementerian Hukum dan HAM, Mualimin Abdi, menyatakan sistem pemasyarakatan merupakan satu rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana (criminal justice system). Oleh karena itu, pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari pengembangan konsepsi umum tentang pemidanaan.
Selain itu, pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. “Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahannya, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakatnya, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab,” kata Mualimin Abdi.
Kemudian, lanjut Mualimin,  jika dalam implementasinya seorang mantan narapidana ingin ikut aktif di dalam dunia politik atau mencalonkan diri menjadi kepala daerah, terhambat oleh peraturan perundang-undangan, menurut pemerintah itu adalah problem lain. “Menurut hemat kami, tidak bisa dipertentangkan antara Undang-Undang Pemasyarakatan dengan undang-undang yang mengatur seseorang itu untuk menjadi kepala daerah atau menjadi pejabat-pejabat publik yang lain,” lanjut Mualimin.
Terkait dengan hal tersebut, Mualimin menyitir Pasal 58 huruf f Undang-Undang Pemda dan putusan Mahkamah Konstitusi yang pada intinya bahwa ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang ketentuan tersebut diartikan tidak mencakup tindak pidana yang lahir karena kealpaan ringan dan tindak pidana karena alasan politik tertentu, serta dengan mempertimbangkan sifat-sifat jabatannya itu sendiri.
Pemerintah berketetapan bahwa antara UU Pemasyarakatan di satu sisi dan UU lain yang mengatur tentang hak-hak politik terpidana tidak bisa tidak bisa dipertentangkan satu dengan yang lainnya. “Kecuali jika Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dapat mengoreksi kembali undang-undang yang mengatur atau yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi bahwa terhadap seorang narapidana yang telah selesai menjalankan pidananya itu adalah secara otomatis bisa melaksanakan hak-hak politik untuk menjadi kepala dearah maupun jabatan-jabatan publik tertentu yang lainnya,” tandas Mualimin Abdi.
Untuk diketahui, sidang uji materi UU Pemasyarakatan ini dimohonkan oleh Sudirman Hidayat dan H. Samsul Hadi Siswoyo. Dua mantan narapidana ini  berencana mencalonkan diri dalam Pemilukada. Namun keduanya terganjal persyaratan “tidak pernah dipidana dengan ancaman hukuman serendah-rendahnya 5 tahun penjara” yang tertuang dalam dalam UU Pemda dan UU Pileg. (Nur Rosihin Ana)

SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES


Selasa, 25 September 2012

Pemohon Sakit, Uji Materi UU Pilpres, UU Pileg dan UU Pemda Ditunda

Tiga Undang-Undang (UU) dimohonkan uji materi oleh H. Sutan Sukarnotomo ke Mahkamah Konstitusi (MK). H. Sutan Sukarnotomo yang akrab dipanggil Sukarno mengujikan Pasal 5 huruf m UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden; Pasal 12 huruf f dan Pasal 51 ayat (1) huruf f UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; dan Pasal 58 huruf b UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Keduan atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 
Menanggapi permohonan Sukarno, MK menggelar sidang pendahuluan perkara 89/PUU-X/2012 pada Selasa (25/9/2012) siang. Tepat pukul 13.00 WIB panel hakim konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi (ketua panel), M. Akil Mochtar, dan Maria Farida Indrati memasuki ruang sidang.
Sukarno belum juga hadir di persidangan, saat ketua panel hakim Ahmad Fadlil Sumadi mengetok palu tiga kali pertanda persidangan dibuka dan terbuka untuk umum. Selanjutnya, Fadlil membacakan sepucuk surat dari Sukarno. Dalam suratnya Sukarno menyatakan berhalangan hadir di persidangan karena sedang sakit. “Pemohon telah berkirim surat yang menyatakan bahwa saya tidak bisa menghadiri sidang perkara permohonan pengujian dan seterusnya, yang sudah dijadwalkan pada hari Selasa ini dikarenakan sedang menjalani perawatan di rumah sakit,” kata Fadlil menyebutkan isi surat Sukarno.
Selanjutnya, Fadlil menyatakan persidangan ditunda. Persidangan untuk Perkara Nomor 89/PUU-X/2012 dinyatakan ditunda sampai dengan waktu yang akan ditentukan kemudian. Sidang dinyatakan ditutup,” kata Fadlil sembari mengetok palu tiga kali pertanda persidangan ditutup. (Nur Rosihin Ana).

SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES

Permohonan Kabur, Uji Materiil UU SJSN Tidak Diterima

Uji materiil Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN), tidak diterima oleh Mahkamah Konstitusi (MK). “Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” kata ketua pleno hakim konstitusi Moh. Mahfud MD didampingi delapan anggota pleno Achmad Sodiki, Hamdan Zoelva, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Harjono, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, dan M. Akil Mochtar, saat membacakan amar putusan Nomor 9/PUU-X/2012, Selasa (25/9/2012) di ruang pleno lt. 2 gedung MK.
Permohonan uji materi UU SJSN ini diajukan oleh Fathul Hadie Utsman, Prof. DR. Abdul Halim Soebahar, MA, DR. Abd. Kholiq Syafaat, MA, Ahmad Nur Qomari, S.E., M.M., Ph.D, DR. M. Hadi Purnomo, M.Pd, Dra. Hamdanah, M.Hum, Dra. Sumilatun, M.M, Sanusi Affansi, S.H., M.H., Imam Mawardi, Jaelani, dan Imam Rofii. Materi UU SJSN yang diujikan yaitu Pasal 14 pada frasa ”secara bertahap dan penjelasannya” serta Pasal 17 ayat (5), Pasal 1 butir 3 pada frasa ”pengumpulan dana dan frasa peserta”, butir 12 pada frasa ”negeri” pada kata pegawai negeri dan butir 14 pada frasa ”kerja” dan frasa ”dalam hubungan kerja termasuk kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan dari rumah menuju tempat kerja atau sebaliknya”, Pasal 13 ayat (1) pada frasa ”secara bertahap” dan frasa “sesuai dengan program jaminan sosial yang dikuti”, Pasal 17 ayat (1) pada frasa ”peserta wajib membayar iuran”, ayat (2) pada frasa ”wajib memungut iuran dan frasa menambahkan iuran” ayat (3) pada frasa ”iuran”, Pasal 20 ayat (1) pada frasa ”yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar pemerintah” dan ayat (3), Pasal 21 ayat (1) pada frasa ”paling lama enam bulan sejak”, ayat (2) pada frasa ”setelah enam bulan” dan frasa iurannya”, Pasal 27 ayat (1) pada frasa ”iuran”, ayat (2) pada frasa ”iuran”, ayat (3) pada frasa “iuran” dan ayat (5) pada frasa ”iuran”, Pasal 28 ayat (1) pada frasa ”dan ingin mengikut sertakan anggota keluarga yang lain wajib membayar tambahan iuran”, Pasal 29 ayat (1) pada frasa ”kerja”, ayat (2) pada frasa ”kerja dan frasa pekerja dan frasa atau menderita penyakit akibat kerja”, Pasal 30 pada frasa ”kerja adalah seorang yang telah membayar iuran”, Pasal 31 ayat (1) pada frasa ”kerja”, ayat (2) pada frasa ”kerja dan frasa ”pekerja yang”, Pasal 32 ayat (1) pada frasa ”kerja”, ayat (3) pada frasa ”kerja”, Pasal 34 ayat (1) pada frasa ”iuran dan frasa ”kerja”, ayat (2) pada frasa ”iuran dan frasa ”kerja”, dan ayat (3) pada frasa ”iuran”, Pasal 35 ayat (1) pada frasa ”atau tabungan wajib”, ayat (2) pada frasa ”masa pensiun atau meninggal dunia”, Pasal 36 pada frasa ”peserta yang telah membayar iuran”, pasal 37 ayat (1) pada frasa ”sekaligus pensiun, meninggal dunia”, ayat (2) pada frasa ”seluruh akumulasi iuran yang telah disetorkan ditambah hasil pengembangannya”, ayat (3), Pasal 38 ayat (1), ayat (2) pada frasa ”iuran” Penjelasan UU 40/2004 pada frasa ”sektor informal dapat menjadi peserta secara sukarela”.

Wewenang Pembuat UU

Mahkamah berpendapat para pemohon tidak menguraikan dengan jelas alasan pertentangan frasa dalam pasal/ayat UU SJSN dengan UUD 1945. Para pemohon hanya menguraikan alasan supaya frasa pasal/ayat dalam UU SJSN yang diujikan agar dimaknai sesuai keinginan para Pemohon. Ketidakjelasan permohonan antara lain terletak pada rumusan pasal/ayat pengganti yang diajukan oleh para Pemohon. Dalam hal ini para Pemohon mengajukan pengujian konstitusionalitas atas frasa dalam pasal/ayat UU SJSN, tetapi dalam alasan permohonan dan petitumnya para pemohon memohon agar Mahkamah membuat rumusan pengganti sebagaimana yang dirumuskan oleh para Pemohon.
Mahkamah menilai antara frasa yang diujikan dan dalil-dalil permohonan tidak berkaitan dan tidak logis antara posita dan petitum. Jika para pemohon mengujikan konstitusionalitas atas frasa tertentu, maka seharusnya hanya memohon untuk membatalkan frasa yang dimohonkan pengujian. Sedangkan frasa atau norma hukum lain yang termuat dalam pasal/ayat yang tidak dimohonkan pengujian oleh para Pemohon, harus tetap dinyatakan konstitusional dan berlaku.
Mahkamah dalam pengujian UU terhadap UUD 1945, tidak mempunyai kewenangan untuk merumuskan norma pasal/ayat dalam suatu UU. Sebab perumusan pasal/ayat suatu UU merupakan kewenangan pembentuk UU. Mahkamah menilai permohonan para pemohon tidak memenuhi ketentuan Pasal 31 dan Pasal 51A ayat (2) UU MK, yaitu tidak menguraikan dengan jelas dan terperinci dasar  permohonan dan hal-hal yang dimohonkan untuk diputus, sehingga permohonan para pemohon adalah kabur (obscuur) dan harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Namun seandainya para pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh berlakunya UU SJSN karena untuk memperoleh jaminan kesehatan, jaminan pensiun, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, dan jaminan kematian, serta jaminan sosial lainnya seseorang harus mendaftarkan/didaftarkan, harus membayar atau dibayarkan iurannya, Mahkamah berpendapat ketentuan yang berkaitan dengan hal tersebut telah dinilai dan diputus oleh Mahkamah antara lain dalam Putusan Nomor 50/PUU-VIII/2010, bertanggal 21 November 2011 dan 51/PUU-IX/2011, bertanggal 14 Agustus 2012. (Nur Rosihin Ana).

Download putusan uji materiil UU SJSN perkara nomor 9/PUU-X/2012 di sini

SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES

Senin, 24 September 2012

Ketentuan Pemberhentian PNS Diuji Mahkamah Konstitusi

Ketentuan mutasi dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (PNS) diuji Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (24/9/2012) siang. Sidang perkara nomor 91/PUU-X/2012 ihwal Pengujian Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (UU Kepegawaian) dimohonkan oleh Ricky Elviandi Afrizal. Panel hakim konstitusi yang melaksanakan persidangan dengan agenda pemeriksaan pendahuluan ini yaitu Muhammad Alim (ketua panel), Maria Farida Indrati, dan Ahmad Fadlil Sumadi.
Ricky Elviandi Afrizal yang hadir di persidangan tanpa didampingi kuasa hukum menyatakan hak-hak konstitusionalnya dirugikan akibat berlakunya Pasal 25 ayat (2) UU Kepegawaian khususnya frasa “pejabat pembina kepegawaian pusat”. Kerugian yang dimaksudkan Ricky terkait dengan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian PNS di lingkungan Badan Pertanahan Nasional (BPN) unit kerja Kantor wilayah BPN Provinsi Kalimantan Timur dan unit kerja Kantor Pertanahan Kabupaten Kutai Timur.
Pasal 25 ayat (2) UU Kepegawaian menyatakan: “Untuk memperlancar pelaksanaan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Presiden dapat mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada pejabat pembina kepegawaian pusat dan menyerahkan sebagian wewenangnya kepada pejabat pembina kepegawaian daerah yang diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.”
“Keterkaitan antara kewenangan pejabat pembina dengan manajemen kami masih terkait Pak. Sampai hari ini belum ada penyelesaian. Sementara ada surat dikeluarkan dari Badan Kepegawaian Negara sebagaimana yang kami sudah lampirkan di alat bukti, dinyatakan dibatalkan. Di sisi lain pula dinyatakan tidak berlaku lagi. Berarti kan kapan berlakunya dan jika dibatalkan berarti kan sama saja kami tidak pernah menjadi pegawai negeri sipil, Pak,” kata Ricky.
Ricky diberhentikan dari tempatnya bekerja yaitu BPN. Namun hingga saat ini belum ada keputusan tentang pemberhentian dengan hormat sebagai PNS atas namanya.
Menurut Ricky, setiap PNS dapat diberhentikan berdasarkan Pasal 8 huruf b Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian PNS. Mengenai kapan mulai berlakunya pemberhentian, diatur dalam Pasal 29 pada PP tersebut. Ricky menganggap pemberhentian yang dilakukan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional tersebut tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
Menganggapi permohonan Ricky, Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi menasihati Ricky agar memperjelas uraian mengenai materi yang diujikan. “Uraian dalam permohonan Saudara ini tidak begitu jelas mengenai permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 itu,” kata Fadlil.
Seharusnya, lanjut Fadlil, pemohon menyebutkan bunyi Pasal 25 ayat (2) UU Kepegawaian dan sekaligus menyebutkan norma yang terkandung di dalamnya. “Berikutnya lagi, norma itu secara konstitusional, Saudara jelaskan dalam posita, apa kerugian konstitusional yang Saudara alami akibat berlakuknya Pasal 25 ayat (2) itu?,” terang Fadlil.
Fadlil juga menyinggung masalah kedudukan hukum (legal standing) Ricky. Menurut Fadlil, legal standing yang disebutkan Ricky dalam permohonannya adalah berupa kerugian praktis dari suatu norma. Dengan kata lain, kerugian yang dialami diakibatkan masalah penerapan suatu norma. “Kalau kerugian itu akibat suatu penerapan yang tidak sesuai dengan Pasal 25 ayat (2), itu pengadilannya tidak di sini,” lanjut Fadlil.
Di mata Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati, permohonan Ricky cukup membingungkan karena terlampau banyak pengulangan yang saling tumpang tindih. Selain itu menurut Maria, rumusan norma dalam pasal yang diujikan, addresat-nya bukan perseorangan, tapi presiden. Sehingga menurut Maria, tiada kerugian konstitusional Rikcky yang terlanggar. “Jadi, tidak ada hak konstitusional Bapak yang akan terlanggar karena pasal ini,” kata Maria.
Hakim Konstitusi Muhammad Alim menilai banyak hal yang kurang tepat dalam permohonan Ricky. Alim menyarankan Ricky menyontoh permohonan yang ada di Mahkamah Konstitusi. “Banyak yang harus diubah permohonan Saudara ini,” nasihat Alim. (Nur Rosihin Ana)

SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES

Kamis, 20 September 2012

UU Tipikor Tidak Memberi Efek Jera

Pungki Harmoko seorang diri tanpa didampingi kuasa hukum, kembali hadir di persidangan Mahkamah Konstitusi (MK) Jum’at (21/9/2012) pagi. Pada persidangan kali kedua untuk perkara 83/PUU-X/2012 ini, Pungki di hadapan panel hakim MK memaparkan perbaikan permohonan judicial review Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Pungki memperbaiki kerugian konstitusional yang dideritanya akibat berlakunya UU Tipikor. “Hilangnya hak dan harapan pemohon akan terwujudnya cita-cita berdirinya NKRI yaitu negara yang makmur dan sejahtera sebagaimana yang terkandung dalam Pembukaan Alinea Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” kata Pungki.
Guru matematika ini juga menambahkan bahwa hukuman mati merupakan budaya bangsa. Memperkuat dalil tentang hal ini, Pungki menyerahkan tambahan alat bukti mengenai kisah Ratu Sima dan Konstitusi Majapahit Raya.
Kemudian tambahan redaksi kata “tidak lagi efektif” pada bagian kesimpulan, yaitu bahwa UU Tipikor adalah cacat hukum karena tidak lagi efektif memberikan efek jera bagi pelakunya. “Jadi yang saya tambahkan kata-kata ‘tidak lagi efektif’,” lanjutnya.
Terakhir, perbaikan pada petitum permohonan. Sebelumnya petitum poin 4 berbunyi: “Menyatakan keharusan Negara untuk melakukan reset ulang hukum dengan memerintahkan Presiden RI untuk sesegera mungkin menerbitkan Surat Keputusan Presiden atas UU Tindak Pidana Korupsi yang sesuai dengan reset ulang hukum, yaitu hukuman mati bagi tindak pidana korupsi.”
Pungki mengganti bunyi petitum tersebut karena MK tidak berwenang memerintahkan Presiden RI. Sehingga ia menggantinya menjadi “Memberitahukan putusan Mahkamah Konstitusi ini kepada DPR, DPRD, Presiden dan Mahkamah Agung.
“Saya ganti poin ke-4 itu dengan memberitahukan putusan Mahkamah Konstitusi ini kepada DPR, DPRD, Presiden dan Mahkamah Agung,” pungkas Pungki. (Nur Rosihin Ana).

SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES

Rabu, 19 September 2012

Hefrizal Handra: Sangat Rasional Negara Intervensi Atasi Dampak Semburan Lumpur Lapindo

Total anggaran yang telah dialokasikan untuk mengatasi dampak semburan lumpur lewat Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) sejak tahun 2007 hingga tahun 2012 sekitar 4,1 Triliun. Dengan kata lain, setiap tahun rata-rata negara mengalokasikan dana hingga 680 Miliar. Dana tersebut  telah dan akan digunakan oleh BPLS untuk menjalankan tugas antara lain dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas tehnis BPLS, stabilitasi dan pembangunan infrastruktur wilayah, bantuan untuk mengatasi berbagai permasalahan sosial, dan pembelian tanah dan bangunan di luar peta area terdampak yang telah disepakati menjadi tanggung jawab pemerintah. “Dari keseluruhan dana tersebut, sekitar 45% telah digunakan dialokasikan untuk membangun infrastruktur wilayah.” Demikian disampaikan Dr. Hefrizal Handra dalam kapasitasnya sebagai ahli Pemerintah dalam sidang pleno di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (19/9/2012).
Sidang untuk perkara 53/PUU-X/2012 ihwal pengujian Pasal 19 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 (UU APBN 2012) dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 (UU APBN-P 2012), ini merupakan persidangan kali ketujuh. Sidang dilaksanakan oleh tujuh hakim konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD (ketua panel), Achmad Sodiki, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, M. Akil Mochtar, Hamdan Zoelva, dan Anwar Usman. Persidangan terbuka untuk umum antara lain dihadiri oleh H. Tjuk Kasturi Sukiadi (pemohon) didampingi kuasanya, M. Taufik Budiman dkk. Pemerintah pada persidangan kali ini menghadirkan tiga orang ahli yaitu Dr. Hefrizal Handra, Dr. Zen Zanibar, SH, MH, dan Mico Kamal SH, LLM.

Intervensi Negara

Dr. Hefrizal Handra yang merupakan pakar ekonomi publik dan keuangan negara Universitas Andalas (UnAnd) Padang, lebih lanjut menyatakan bahwa alokasi anggaran tersebut merupakan bentuk intervensi negara. Dalam disiplin ilmu ekonomi, alasan intervensi oleh negara adalah untuk penyediaan public good dan mengoreksi kegagalan pasar, antara lain karena adanya monopoli, kekurangan ketersediaan private good yang dibutuhkan masyarakat, bencana alam ataupun bencana yang disebabkan oleh manusia. Intervensi negara untuk penyediaan barang layanan publik adalah suatu keharusan karena tidak mungkin disediakan oleh mekanisme pasar seperti penyediaan jalan umum, lampu jalan, pertahanan, keamanan, stabilitas makro ekonomi, dan lain-lain.
Hefrizal memandang penyediaan anggaran untuk mengatasi dampak semburan lumpur Lapindo adalah sangat rasional karena digunakan terutama untuk mengembalikan peranan infrastruktur umum. Sebab, akibat semburan lumpur tersebut, tidak hanya tanah dan bangunan milik masyarakat yang harus diganti rugi, tetapi juga infrastruktur perekonomian dan pelayanan publik juga harus diperbaiki. Dengan kata lain, untuk mengatasi dampak semburan lumpur tidak hanya sekedar persoalan relokasi penduduk dan pembelian penggantian tanah dan bangunan penduduk, tetapi juga mengembalikan fungsi-fungsi ekonomi dan pelayanan dari wilayah tersebut. “Sangat tidak manusiawi kalau negara membiarkan sebagian rakyatnya menderita dan tidak bijak jika membiarkan roda perekonomian wilayah terganggu akibat rusaknya infrastruktur,” Hefrizal mendalilkan.
Demikian juga penyediaan anggaran untuk pembelian tanah dan bangunan oleh pemerintah di luar peta area terdampak, juga dapat dibenarkan. Hal ini merupakan bentuk intervensi untuk mengoreksi kegagalan pasar dalam menyelesaikan persoalan yang ditimbulkan oleh semburan lumpur dalam hal ini PT Lapindo Brantas Inc. yang tidak mampu mengatasi sepenuhnya persoalan yang ditimbulkannya karena belum adanya insentif bisnis di lokasi semburan.
“Untuk negara besar seperti Indonesia dengan anggaran belanja hampir rata-rata sekitar 1000 triliun per tahun dalam periode 2007-2012, maka alokasi sebesar 680 miliar per tahun untuk berbagai hal dalam rangka memperbaiki kondisi di wilayah Sidoarjo tidak akan menganggu alokasi untuk wilayah lain di Indonesia,” tegas Hefrizal.
Persidangan kali ini merupakan pemeriksaan terakhir. Selanjutnya Mahkamah akan menggelar persidangan untuk pengucapan putusan. Majelis hakim meminta para pihak berperkara untuk menyerahkan kesimpulan akhir paling lambat pada Rabu, 26 September 2012 jam 16.00 WIB.
Seperti diketahui, pengujian Pasal 19 UU APBN 2012 dan Pasal 18 UU APBN-P 2012, diajukan oleh Letnan Jendral Mar. (Purn) Suharto, DR. H. Tjuk Kasturi Sukiadi, dan Ali Azhar Akbar. Para pemohon keberatan dengan penanggulangan lumpur Sidoarjo yang dibebankan kepada APBN. Pasal 18 menyatakan: “Untuk kelancaran upaya penanggulangan lumpur Sidoarjo, alokasi dana pada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Tahun Anggaran 2012, dapat digunakan untuk; (a) Pelunasan pembayaran pembelian tanah dan bangunan diluar peta area terdampak pada tiga desa (Desa Besuki, Desa Kedungcangkring, dan Desa Pajarakan); (b) Bantuan kontrak rumah, bantuan tunjangan biaya hidup, biaya evakuasi serta pelunasan kekurangan pembayaran pembelian tanah dan bangunan di luar peta area terdampak pada sembilan rukun tetangga di tiga kelurahan (Kelurahan Siring, Kelurahan Jatirejo, dan Kelurahan Mindi); (c) Bantuan kontrak rumah, bantuan tunjangan hidup, biaya evakuasi dan pembayaran pembelian tanah dan bangunan pada wilayah di luar peta area terdampak lainnya yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden.” (Nur Rosihin Ana)

Pesona Wisata Karimun Jawa Jepara
SIOS WISATA.com
SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES



Selasa, 18 September 2012

DPR: Pemberhentian Kepala Daerah untuk Menjaga Citra

DPR berpandangan ketentuan pemberhentian sementara hingga pemberhentian tetap bagi kepala daerah atau wakil kepala daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda, merupakan pengaturan yang tepat dan proporsional. Pemberhentian dimaksud untuk menjaga citra yang positif baik terhadap lembaga maupun jabatan publik, sehingga kinerja lembaga yang bersangkutan tidak terganggu dengan status tersangka dan/atau terpidana seorang kepala daerah atau wakil kepala daerah. “Hal tersebut telah sejalan dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih.”
Demikian kata Anggota Komisi III DPR Yahdil Harahap saat menyampaikan keterangan DPR di hadapan sidang pleno hakim konstitusi Moh. Mahfud MD (ketua pleno), Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati, Ahmad Fadlil Sumadi, Hamdan Zoelva, dan Anwar Usman, Selasa (18/9/2012) bertempat di ruang sidang pleno lt. 2 gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang kali ketiga untuk perkara 75/PUU-X/2012 ihwal pengujian Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), beragendakan mendengarkan keterangan Pemerintah dan DPR.
Ketentuan Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda khususnya pemaknaan terhadap frasa “yang diancam pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih” yang menurut para pemohon telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan menghambat para pemohon untuk berpartisipasi aktif dalam menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih, dalam pandangan DPR, hal tersebut merupakan asumsi dan kekhawatiran para pemohon terhadap pelaksanaan norma ketentuan Pasal 30 UU Pemda, dan bukan persoalan konstitusionalitas norma. “Hal tersebut terbukti bahwa sampai saat ini Para Pemohon dapat dengan leluasa tanpa halangan atau pun hambatan melaksanakan kegiatannya, termasuk di dalamnya melakukan upaya uji materiil undang-undang di Mahkamah Konstitusi,” dalil Yahdil.
Pada praktiknya, ketentuan Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda telah dilaksanakan dan dijadikan dasar hukum untuk memberhentikan sementara maupun memberhentikan secara tetap kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun atau lebih. Hal ini misalnya menimpa kepala daerah atau wakil kepala daerah yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi.

“Due Process of Law”
Selain untuk menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih, ketentuan pemberhentian sementara kepala daerah, wakil kepala daerah berdasarkan Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda juga merupakan realisasi dari prinsip persamaan atau kesederajatan hukum. Memperkuat dalil, DPR mengutip pendapat Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 024/PUU-III/2005 pada halaman 39 yang menyatakan, “Bahwa tindakan pemberhentian sementara terhadap pejabat publik, khususnya pejabat tata usaha negara, yang didakwa melakukan tindak pidana adalah penting untuk mendukung bekerjanya due process of law (proses hukum yang adil) guna mencegah pejabat yang bersangkutan melalui jabatannya mempengaruhi proses pemeriksaan atau tuntutan hukum yang didakwakan kepadanya. Atau sebaliknya, mencegah penegak hukum terpengaruh oleh jabatan terdakwa sebagai kepala daerah dalam budaya hukum yang bersifat ewuh pakewuh. Dengan demikian, pemberhentian sementara justru merealisasikan prinsip persamaan atau kesederajatan di hadapan hukum sebagaimana dimaksud oleh Pasal 27 ayat (1) maupun Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.”
“DPR RI berpandangan ketentuan Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Pemda tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” tandas Yahdil.
Sementara itu, keterangan Pemerintah yang disampaikan oleh Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri Prof Dr Zudan Arif Fakrulloh, SH, MH. menyatakan maksud pembentukan Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda lebih ditujukan kepada tindak pidana umum. Sedangkan untuk tindak pidana khusus seperti tindak pidana korupsi, makar, terorisme, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara, diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda.
“Hal ini perlu kami sampaikan ke dalam sidang yang mulia ini karena di dalam permohonan para pemohon seolah-olah pemberhentian Agusrin Najamudin didasarkan pada Pasal 30 ini. Padahal di dalam praktik pemerintahan, pemberhentian sementara kasus-kasus tindak pidana korupsi didasarkan pada Pasal 31 Undang-Undang a quo dan Pasal 127 PP Nomor 6 Tahun 2005,” terang Zudan.
Oleh karena itu, lanjutnya, menurut Pemerintah, dalam memaknai Pasal-Pasal UU Pemda harus juga melihat kepada peraturan pelaksanaannya yaitu PP Nomor 6 Tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan, dan pengangkatan, dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Untuk diketahui, permohonan judicial review Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda ini diajukan oleh Zainal Arifin Mochtar dan Feri Amsari, serta Indonesia Corruption Watch (ICW). Pasal 30 ayat (1) menyatakan: “Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila dinyatakan melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan.”
Pasal 30 Ayat (2) menyatakan: “Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.” (Nur Rosihin Ana).

Pesona Wisata Karimun Jawa Jepara
SIOS WISATA.com
SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES

Jumat, 14 September 2012

Kehilangan Hak Pilih dalam Pemilukada DKI Jakarta, Dua Warga Ujikan UU Pemda

Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah (pemilukada) Provinsi DKI Jakarta putaran pertama yang digelar pada 11 Juli 2012 lalu, menyisakan kekecewaan bagi Mohammad Umar Halimuddin dan Siti Hidayawati. Dua orang warga DKI Jakarta ini tidak bisa menyalurkan hak pilihnya, karena nama keduanya tidak tercantum dalam Daftar Pemilih Sementara (DPS) maupun Daftar Pemilih Tetap (DPT).
“Kami tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap maupun daftar pemilih sementara,” kata Mohammad Umar Halimuddin di hadapan sidang yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Jum’at (14/9/2012). Sidang perkara 85/PUU-X/2012 ihwal pengujian Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) ini beragendakan pemeriksaan pendahuluan.
Pasal 69 ayat (1) UU Pemda menyatakan: “Untuk dapat menggunakan hak memilih, warga negara Republik Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih.”
Kendati tidak terdaftar dalam DPS dan DPT, Halimuddin dan Hidayawati berusaha menuntut hak konstitusionalnya yaitu hak pilih dalam Pemilukada DKI Jakarta. Namun petugas Panitia Pemungutan Suara (PPS) menolak keduanya. Padahal keduanya sudah menjelaskan kepada petugas PPS mengenai putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan warga yang tidak terdaftar dalam DPS maupun DPT dapat menggunakan hak pilihnya dengan menunjukkan KTP dan KK.
“Namun ternyata hal tersebut ditolak karena terdapat petunjuk dari KPU tanggal 9 Juli 2012, Nomor 474 yang meminta kepada panitia pemungutan suara di lapangan untuk hanya warga negara yang dapat menggunakan hak pilihnya adalah warga negara yang terdaftar dalam daftar pemilih sementara maupun daftar pemilih tetap sesuai dengan formulir model A-3 KWK-KPU,” terang Halimuddin.
Selanjutnya Mohammad Umar Halimuddin dan Siti Hidayawati melaporkan hal tersebut ke Panitia Pengawas Kecamatan, bahkan hingga menghubungi KPU Jakarta Timur. Ternyata Halimuddin mendapati ketentuan dalam UU Pemda yang menyatakan warga negara yang dapat memilih adalah terdaftar dalam daftar pemilih. Menurut para Pemohon, hal tersebut melanggar hak konstitusional para Pemohon yang dijamin oleh Pasal 27, Pasal 28 huruf d ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945.
“Pada putaran pertama kemarin, kami beranggapan bahwa hak pilih kami telah dirugikan karena kami tidak dapat melakukan pemilihan dan kemudian juga berpotensi untuk tidak dapat melakukan pemilihan pada putaran kedua. Untuk itu, pada kesempatan ini kami memohonkan kepada Majelis Hakim yang terhormat untuk dapat menguji materi terhadap undang-undang ini,” Halimuddin mendalilkan.
Menanggapi permohonan, Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva menyarankan para pemohon agar kembali mencermati putusan MK nomor 102/PUU-VII/2009. Putusan tersebut terkait dengan pemilu Presiden. “Saudara perlu membaca betul putusan Mahkamah sebelumnya, (yaitu) mengenai Undang-Undang Pemilu Presiden,” saran Hamdan. (Nur Rosihin Ana)

SIOS WISATA.com
SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES



Kamis, 13 September 2012

MK Tegaskan Pemilukada DKI Jakarta Putaran Kedua Konstitusional

Mahkamah menegaskan bahwa ketentuan mengenai pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) putaran kedua dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU DKI Jakarta) tidak bertentangan dengan UUD 1945. Sedangkan ketentuan mengenai “Dalam hal tidak ada pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), …” dalam Pasal 11 ayat (2) UU DKI Jakarta yang ditentukan sebagai syarat untuk diadakannya pemilihan putaran kedua, Mahkamah menemukan fakta bahwa ketentuan tersebut memang berbeda dengan ketentuan Pasal 107 UU Pemda yang mengatur kondisi/prasyarat dilaksanakannya pemilihan putaran kedua.
UU Pemda (UU 32/2004 dan perubahannya) mengatur bahwa pasangan terpilih adalah pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen); apabila tidak ada yang memperoleh lebih dari 50% maka pasangan calon yang memperoleh suara terbesar di atas 30% (tiga puluh persen) dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih; jika terdapat lebih dari satu pasangan calon yang menempati peringkat teratas perolehan suara di atas 30%, maka penentuan pasangan calon terpilih dilakukan berdasarkan wilayah perolehan suara yang lebih luas; apabila tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 30% maka dilakukan pemilihan putaran kedua yang diikuti pemenang pertama dan pemenang kedua; apabila pemenang pertama terdiri dari tiga pasangan calon maka penentuan peringkat pertama dan kedua ditentukan berdasar wilayah perolehan suara yang lebih luas; dan apabila pemenang kedua terdiri lebih dari satu pasangan calon maka penentuannya berdasarkan wilayah perolehan suara yang lebih luas.
Hal tersebut menunjukkan perbedaan antara kedua undang-undang, yaitu UU DKI Jakarta dengan UU Pemda, yang mengatur hal sama secara berbeda mengenai ketentuan perolehan suara pasangan calon sebagai penentu dilaksanakannya pemilihan putaran kedua. Perbedaan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip perlakuan yang sama yang dijamin oleh konstitusi yaitu Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena perbedaan tersebut dimungkinkan berdasarkan ketentuan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, yaitu pengaturan terhadap daerah-daerah yang bersifat khusus dan istimewa.
Menurut Mahkamah permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 11 ayat (2) UU DKI tidak beralasan menurut hukum. Sehingga dalam amar putusan Mahkamah menyatakan menolak permohonan yang diajukan oleh Abdul Havid Permana, Muhammad Huda, dan Satrio Fauzia Damardjati.
“Amar putusan, mengadili, menyatakan menolak permohonan para Pemohon,” kata ketua pleno hakim konstitusi Moh. Mahfud MD didampingi anggota pleno Achmad Sodiki, Hamdan Zoelva, Anwar Usman, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, M. Akil Mochtar, dan Muhammad Alim, saat membacakan putusan nomor 70/PUU-X/2012 ihwal pengujian Pasal 11 ayat (2) UU DKI Jakarta, Kamis (13/9/2012) di ruang sidang pleno lt. 2 gedung MK.
Pasal 11 ayat (2) UU DKI Jakarta menyatakan: “Dalam hal tidak ada pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diadakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.”
Kekhasan DKI Jakarta
Mahkamah perpendapat, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mengakui sekaligus menghormati daerah-daerah yang bersifat khusus dan istimewa yang pengaturannya bersifat khusus dan berbeda dengan daerah lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (8), Pasal 225, Pasal 226 ayat (1) UU Pemda. “Ketentuan dalam UU Pemda berlaku bagi Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sepanjang tidak diatur secara khusus dalam undang-undang tersendiri, dalam hal ini UU 29/2007,” kata hakim konstitusi Anwar Usman membacakan poin Pendapat Mahkamah dalam putusan uji materi UU DKI Jakarta.
Mengenai pemberian status khusus dan istimewa terhadap suatu daerah sebagaimana dimaksud Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, Mahkamah mengutip Putusan Nomor 81/PUU-VIII/2010 bertanggal 2 Maret 2011, yang antara lain mempertimbangkan penentuan kekhususan suatu daerah didasarkan pada kriteria adanya kenyataan dan kebutuhan politik yang mengharuskan suatu daerah diberikan status khusus yang tidak bisa disamakan dengan daerah lainnya. “Adapun jenis dan ruang lingkup kekhususan tersebut harus bersifat fleksibel ditetapkan oleh pembentuk undang-undang sebagai pilihan politik hukum terbuka, sesuai dengan kebutuhan nyata diberikannya kekhususan bagi daerah yang bersangkutan,” lanjut Anwar Usman.
Mahkamah juga mengutip Putusan Mahkamah Nomor 11/PUU-VI/2008, bertanggal 5 Agustus 2008, mengenai pengujian Pasal 5 UU 29/2007 yang menyatakan, “Provinsi DKI Jakarta berperan sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab tertentu dalam penyelenggaraan pemerintahan dan sebagai tempat kedudukan perwakilan negara asing, serta pusat/perwakilan lembaga internasional”.
Selain itu, kekhasan Provinsi DKI Jakarta juga diatur dalam Pasal 1 angka 6 UU DKI Jakarta yang menyatakan, “Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, selanjutnya disingkat Provinsi DKI Jakarta, adalah provinsi yang mempunyai kekhususan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah karena kedudukannya sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Syarat 50% Lebih
Provinsi DKI Jakarta adalah daerah provinsi yang memiliki banyak sekali aspek dan kondisi bersifat khusus yang berbeda dengan daerah lainnya, sehingga memerlukan pengaturan yang bersifat khusus. Oleh karena itu, menurut Mahkamah kekhususan Provinsi DKI Jakarta mengenai syarat keterpilihan Gubernur yang mengharuskan perolehan suara lebih dari 50% suara sah, dan apabila tidak ada yang mencapainya maka dilaksanakan pemilihan putaran kedua, adalah kekhususan yang masih dalam ruang lingkup dan tidak bertentangan dengan konstitusi. Penentuan persyaratan demikian merupakan kebijakan hukum terbuka (opened legal policy atau optionally constitutional) yang tidak bertentangan dengan konstitusi.
Menyandarkan penentuan besaran prosentase perolehan suara tersebut hanya kepada argumen kondisi multikultural dan tingkat legitimasi, sebagai sebuah kekhususan, adalah dapat dipahami tetapi tidak sepenuhnya tepat. Artinya ada juga alasan-alasan lain yang mendasari hal tersebut. Kondisi multikultural secara relatif terdapat pada semua wilayah pemerintahan. Legitimasi juga dibutuhkan oleh pemerintahan dalam semua kondisi, baik multikultural ataupun tidak, sehingga sebenarnya tidak ada korelasi secara langsung dengan keharusan prosentase perolehan suara lebih dari 50%.
Apalagi sejauh ini menurut Mahkamah belum dapat dijelaskan parameter multikultural dalam kaitannya dengan besaran (perolehan) suara yang dapat memberikan legitimasi kepada pasangan calon terpilih dalam Pemilukada. Menurut Mahkamah, penentuan prosentase yang lebih besar untuk keterpilihan kepala daerah Provinsi DKI Jakarta harus pula dilihat pada seluruh aspek yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan Provinsi DKI Jakarta yang spesifik (khusus) sebagaimana telah diuraikan di atas, antara lain tidak adanya DPRD kabupaten/kota di wilayah pemerintahan Provinsi DKI Jakarta, serta Walikota/Wakil Walikota dan Bupati/Wakil Bupati yang ditetapkan tanpa melalui pemilihan umum. (Nur Rosihin Ana)
 
 
SIOS WISATA.com
SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES

 


Rabu, 12 September 2012

DPR: Tanpa Fraksi, Musyawarah Mufakat Sulit Terwujud

Keberadaan partai politik (parpol) sebagai infrastruktur politik dalam negara demokrasi merupakan suatu kenicayaan. Salah satu upaya memberdayakan parpol adalah dengan memberikan hak atau kewenangan kepada parpol untuk membentuk fraksi-fraksi di MPR, DPR, dan DPRD. Fraksi-fraksi ini sebagai wadah bagi parpol untuk mengoptimalkan pelaksanaan hak dan kewenangan anggota parpol yang berada di DPR dan DPRD guna memaksimalkan pelaksanaan tugas dan fungsinya sebagai lembaga perwakilan dalam rangka memperjuangkan kepentingan rakyat yang disalurkan melalui parpol.
Fraksi juga menjadi wadah bagi anggota parpol untuk berkumpul dan menyamakan perbedaan dari berbagai aspirasi agar dalam melaksanakan tugas dan fungsinya di lembaga perwakilan dapat berjalan efektif dan efisien. Hal tersebut sesuai prinsip utama dalam proses pengambilan keputusan yang dianut dalam konstitusi yaitu asas musyawarah mufakat. Terkait hal tersebut, apabila tidak ada pengelompokan anggota parpol dengan fraksi-fraksi, maka asas musyawarah mufakat sulit diwujudkan dan hanya mengedepankan pengambilan keputusan dengan sistim one man one vote atau pemungutan suara.”
Demikian keterangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang disampaikan oleh Anggota Komisi III DPR RI Harry Witjaksono di hadapan sidang pleno hakim konstitusi yang diketuai Moh. Mahfud MD didampingi Achmad Sodiki, Harjono, M. Akil Mochtar, Maria Farida Indrati, Ahmad Fadlil Sumadi, Hamdan Zoelva dan Anwar Usman. Sidang kali ketiga untuk perkara 72/PUU-X/2012 ihwal  Pengujian Pasal Pasal 12 huruf e UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol) dan Pengujian Pasal 11, Pasal 80, Pasal 301 dan Pasal 352 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah (UU MD3), beragendakan mendengarkan keterangan Pemerintah, DPR dan saksi/ahli dari pemohon serta Pemerintah.
Hal tersebut disampaikan Harry menanggapi dalil pemohon yang menyatakan keberadaan fraksi-fraksi yang dibentuk oleh parpol di MPR, DPR, dan DPRD telah mengabaikan kedaulatan rakyat Indonesia, termasuk di dalamnya adalah kader pemohon yang tersebar di 26 Provinsi di Indonesia.
Selanjutnya Harry menangapi dalil pemohon yang menyatakan Pergantian Antara Waktu (PAW) atau recall adalah tindakan yang tidak logis karena memutus hubungan antara wakil rakyat dengan rakyat pemilih. Harry menyatakan  PAW atau recall tidak terkait langsung dengan fraksi sebagaimana didalilkan pemohon. Kewenangan mengusulkan PAW atau recall berdasarkan Pasal 213 ayat (2) huruf e UU MD3, adalah berada di tangan parpol dan bukan di tangan fraksi. Papol berwenang menjatuhkan tindakan dalam menegakkan disiplin terhadap para anggotanya agar tidak menyimpang dari Anggaran Dasar atau Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) serta kebijaksanaan dan program kerja yang digariskan oleh parpol. Hal ini adalah konsekuensi logis dari seseorang yang menjadi anggota suatu organisasi, dalam hal ini organisasi partai politik,” tandasnya.

Fungsi Koordinasi

Pemerintah dalam keterangan yang disampaikan oleh Direktur Litigasi Kemenkum HAM Mualimin Abdi menyatakan fraksi merupakan pengelompokan anggota DPR berdasarkan partai atau gabungan parpol. Fraksi juga merupakan perpanjangan dari parpol. Semua anggota DPR merupakan kader partai dan partailah yang menjadi peserta pemilihan umum. “Oleh karena itu, jika fraksi di MPR, DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota tidak ada, maka dapat dipastikan anggota DPR tersebut akan berjalan sesuai dengan keinginannya yang bisa tidak terkontrol,” jelas Mualimin.
Keberadaan fraksi adalah dalam rangka mengkoordinasi anggota DPR agar lebih berdaya-guna dan berperan-serta dalam rangka memberikan atau melaksanakan tugas-tugasnya. Utamanya dalam rangka mekanisme check and balancess terhadap penyelenggaraan pemerintah di republik ini. “Keberadaan fraksi di MPR, DPR, DPRD provinsi dan kabupaten/kota, sekali lagi adalah dalam rangka fungsi koordinasi dalam rangka pengambilan keputusan, walaupun di dalam pengambilan keputusan tertentu diserahkan kepada kedaulatan anggotanya itu sendiri. Hal itulah yang menjadikan dasar bahwa dengan adanya fraksi di MPR, DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten-kota merupakan salah satu bentuk efisiensi juga dalam rangka proses koordinasi, utamanya efisiensi dalam rangka pembiayaan itu sendiri,” papar Mualimin.
Untuk diketahui, uji materi UU Parpol dan UU MD3 diajukan oleh Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (GN-PK). Menurut GN-PK, eksistensi fraksi di MPR RI, DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota telah mengabaikan kedaulatan Rakyat Indonesia. Kedaulatan rakyat yang memberi mandat selama 5 tahun kepada wakil rakyat yang terpilih, ternyata dieliminasi oleh keberadaan fraksi-fraksi.
Pasal 12 huruf e UU Partai Politik menyatakan: “Partai Politik berhak: (e) membentuk fraksi di tingkat Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Pasal 11 UU MD3 menyatakan: “(1) Fraksi adalah pengelompokan anggota MPR yang mencerminkan konfigurasi partai politik. (2) Fraksi dapat dibentuk oleh partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara dalam penentuan perolehan kursi DPR. (3) Setiap anggota MPR yang berasal dari anggota DPR harus menjadi anggota salah satu fraksi. (4) Fraksi dibentuk untuk mengoptimalkan kinerja MPR dan anggota dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil rakyat. (5) Pengaturan internal fraksi sepenuhnya menjadi urusan fraksi masing-masing. (6) MPR menyediakan sarana bagi kelancaran tugas fraksi.”
Pembentukan fraksi menurut ketentuan Pasal 11 ayat (4), Pasal 80 ayat (1) dan (2), Pasal 301 ayat (1), dan Pasal 352 ayat (1) UU MD3 adalah untuk mengoptimalkan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang MPR RI, DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Namun faktanya justru fungsi tersebut tidak pernah dilaksanakan oleh fraksi-fraksi. Menurut GN-PK, pembentukan fraksi merupakan pelanggaran terhadap Pasal 1 ayat (2), Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 22c ayat (1) UUD 1945. (Nur Rosihin Ana)

Selasa, 11 September 2012

Hendak Maju dalam Pemilukada, Mantan Napi Minta Uji UU Pemasyarakatan Dipercepat

Pemohon uji materi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yaitu Sudirman Hidayat dan H. Samsul Hadi Siswoyo melalui kuasanya, Andi Muhammad Asrun berharap kepada Mahkamah Konstitusi (MK) agar segera memvonis perkara yang diujikan. Sebab keduanya akan maju pemilihan umum kepala daerah (pemilukada). “Mudah-mudahan putusan tidak terlalu lama karena ada kepentingan praktis para pemohon ini mau maju dalam pilkada sekitar bulan Oktober,” kata Asrun berharap. Hal ini disampaikan Asrun di hadapan panel hakim konstitusi M. Akil Mochtar (ketua panel), Hamdan Zoelva, dan Anwar Usman dalam persidangan di MK, Selasa (11/9/2012) siang.
Menanggapi permintaan tersebut, ketua panel hakim M. Akil Mochtar menyatakan hal tersebut merupakan harapan klise para pemohon yang berperkara di MK. “Semua pemohon punya harapan yang sama, perkaranya minta dipercepat,” kata Akil.
Mengenai keinginan para pemohon yang hendak maju dalam pemilukada, Akil menyarankan agar para pemohon segera mendaftar ke KPU. Kemudian mengenai kendala persayaratan bakal calon kepala daerah/wakil kepala daerah, bisa menyusul kemudian setelah ada putusan MK. “Kalau soal daftar, daftar saja dulu, kan enggak apa-apa,” lanjut Akil.
Sidang kali kedua untuk perkara 79/PUU-X/2012 ihwal Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Pasal 3 beserta penjelasannya) ini beragendakan perbaikan permohonan. Pemohon melalui kuasanya menyampaikan perbaikan antara lain mengenai pengujian pasal dan menambahkan pasal yang diuji.
“Sehingga permohonan pengujian yang kami ajukan adalah permohonan pengujian Pasal 3 dan Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Pasal 58 huruf (f) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah sebagian dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 12 huruf (g) dan Pasal 51 ayat (1) huruf (g) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap UUD 1945,” kata Andi Muhammad Asrun menyampaikan perbaikan permohonan.
Asrun mendalilkan pasal-pasal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan konstitusi. Asrun meminta MK menafsirkan Pasal 3 UU Pemasyarakatan yang menyatakan: ”Sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.”
Tafsir MK yang dinginkan Asrun terhadap ketentuan Pasal 3 yaitu bahwa yang dimaksud anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab yaitu termasuk dalam hal untuk dipilih menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah dan atau hak untuk menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. “Tidak boleh terjadi hambatan pelaksanaan hak politik bagi para Pemohon, karena Indonesia adalah negara demokrasi dimana setiap warga negara mempunyai hak untuk memilih dan dipilih,” tegas Asrun.
Asrun menambahkan, dalam ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia jelas dikatakan bahwa: “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melaui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Hak politik ini bersifat universal dan sesuai dengan ajaran hukum (legal doctrine) sehingga perlu diterapkan dalam kehidupan politik.
“Tetapi yang terjadi bahwa para Pemohon ini menghadapi kendala ke depan untuk melaksanakan hak politiknya karena sebagai mantan narapidana yang dihukum dan menjalani hukuman 5 tahun dan karena itu tidak bisa melaksanakan hak-hak politiknya” jelas Asrun. (Nur Rosihin Ana)

Uji Materi KUHAP: Sidang Pengucapan Putusan Terbuka Untuk Umum Harus Diumumkan

Materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kembali disidangkan di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (11/9/2012) siang. Sidang kali kedua untuk perkara 78/PUU-X/2012 ihwal pengujian Pasal 195, Pasal 197 ayat (2) dan Pasal 199 ayat (2) KUHAP ini beragendakan perbaikan permohonan.
Pemohon perkara ini, Zainal Arifin, di hadapan panel hakim konstitusi Achmad Sodiki (ketua panel), M. Akil Mochtar, dan Anwar Usman, menyampaikan poin perbaikan yang terdiri lima hal. Pertama, Zainal menambahkan pasal yang diujikan, yaitu Pasal 13 ayat (2) UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan: “Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Kedua, Zainal menambahkan pasal dalam UUD 1945 yang menjadi batu uji, yaitu Pasal 28F UUD 1945. “Pasal 28F ini digunakan sebagai batu uji untuk Pasal 195 KUHAP dan Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009,” kata Zainal Arifin yang juga berprofesi sebagai Advokat.
Ketiga, perbaikan kedudukan hukum pemohon (legal standing) berdasarkan nasihat hakim pada persidangan sebelumnya (29/8/2012). Memperkuat legal standing, sebagai warga negara Zainal menyatakan berhak mendapatkan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Salah satunya yaitu hak untuk mengetahui putusan secara aktual dengan menghadiri pembacaan putusan. Selama ini, makna dari frasa “diucapkan di sidang terbuka untuk umum” sebagaimana diatur di dalam Pasal 195 KUHAP dan Pasal 13 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman, tidak memperdulikan apakah dalam pembacaan putusan tersebut masyarakat umum mengetahui jadwal pembacaan putusan, sehingga bisa menghadiri pembacaan putusan tersebut.
“Di dalam setiap putusan selalu terdapat irah-irah ‘diucapkan di sidang terbuka untuk umum’, tetapi secara riil putusan tersebut dibacakan dalam sidang tertutup yang hanya dihadiri oleh hakim dan didampingi panitera karena masyarakat tidak mengetahui jadwal pembacaan putusan. Bagaimana mungkin masyarakat umum bisa menghadiri pembacaan putusan jika pengadilan khususnya dalam tingkat banding, kasasi dan peninjauan kembali tak pernah memberikan pengumuman secara terbuka perihal jadwal pembacaan putusan,” papar Zainal mendalilkan.

Peradilan Transparan
Persidangan yang dilakukan secara terbuka untuk umum, terang Zainal, merupakan bentuk tradisional dari transparasi di lingkungan peradilan. Prinsip persidangan terbuka telah menjadi salah satu prinsip pokok dalam sistim peradilan di dunia. “Keterbukaan ini merupakan kunci lahirnya akuntabilitas hakim dan pegawai pengadilan akan lebih bersungguh-sungguh dan berhati-hati dalam menjalankan tugasnya karena publik bisa mengakses hasil kerjanya. Dalam konteks putusan pengadilan, prinsip keterbukaan ini akan mendorong lahirnya putusan yang berkualitas dan mencerminkan rasa keadilan,” papar Zainal.
Oleh karena itu menurut Zainal, supaya frasa “diucapkan di sidang terbuka untuk umum” dalam Pasal 195 KUHAP dan Pasal 13 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman sesuai dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28F UUD 1945, maka frasa tersebut harus dimaknai: “Sebelum pembacaan putusan dalam sidang terbuka untuk umum tersebut, pengadilan berkewajiban untuk memberitahukan  secara terbuka kepada masyarakat umum dan pihak-pihak yang berpekara.” Pemberitahuan jadwal pembacaan putusan dimaksudkan supaya masyarakat umum yang ingin mengetahui putusan pengadilan secara aktual dapat menghadiri pembacaan putusan tersebut.
Kelima, Zainal kembali memperkuat legal standing. Zainal bermaksud menitikberatkan makna “putusan batal demi hukum” sebagai dasar untuk mengajukan upaya hukum praperadilan terhadap Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) yang akan diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. “Sebagai seorang tax payer, Pemohon mempunyai legal standing untuk mengajukan praperadilan terhadap SP3 kasus-kasus korupsi karena pajak-pajak yang telah dibayarkan oleh Pemohon akan digunakan untuk menutupi kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi, di mana kasus tersebut sudah di-SP3 oleh pihak Kejaksaan Agung,” jelas Zainal.
Untuk diketahui materi KUHAP yang diujikan yaitu Pasal 195 KUHAP menyatakan: “Semua putusan pengadilan hanya sah, dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum.” Pasal 197 ayat (2): “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum. Terakhir, Pasal 199 ayat (2): “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga bagi pasal ini.” (Nur Rosihin Ana)

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More