Jumat, 30 November 2012

Ancaman Kriminalisasi Hakim dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak


Oleh: Nur Rosihin Ana

Pemerintah bersama-sama dengan DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) pada tanggal 30 Juli 2012. Sebelum UU ini terbentuk, peradilan anak diatur oleh UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Seiring perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat, perlindungan kepada anak yang  berhadapan dengan hukum belum secara komprehensif diatur oleh UU Nomor 3 Tahun 1997 sehingga perlu diganti dengan UU baru. Maka dibentuklah UU 11/2012. Pasal 1 angka 1 UU 11/2012 menyatakan: “Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.”

Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) bertujuan untuk menjaga harkat dan martabat anak. Anak berhak mendapatkan pelindungan khusus, terutama pelindungan hukum dalam sistem peradilan. Oleh karena itu, SPPA tidak hanya ditekankan pada penjatuhan sanksi pidana bagi anak pelaku tindak pidana, melainkan juga difokuskan pada pemikiran bahwa penjatuhan sanksi dimaksudkan sebagai sarana mewujudkan kesejahteraan anak pelaku tindak pidana tersebut. Hal demikian sejalan dengan tujuan penyelenggaraan SPPA yang dikehendaki oleh dunia internasional, sebagaimana terlihat dalam Peraturan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (SMRJJ) atau The Beijing Rules, yang menyatakan: “The juvenile justice system shall emphasize well-being of the juvenile and shall ensure that any reaction to juvenile offenders shall always be in proportion to the circumstances of both the offenders an offence.”

UU SPPA memiliki tiga aspek penegakan hukum, yaitu aspek hukum pidana materiel, aspek hukum pidana formal dan aspek hukum pelaksanaan pidana. Aspek hukum pidana materiel dalam UU SPPA, terlihat dari diaturnya ketentuan tentang Diversi, Batas Umur Pertanggungjawaban Pidana Anak, Pidana dan Tindakan. Sedangkan aspek hukum pidana formalnya terlihat dari diaturnya ketentuan tentang prosedur beracara pada tahap Penyidikan, Penuntutan, Pemeriksaan Sidang di Pengadilan, Penjatuhan Putusan serta Pemberian Petikan dan Salinan Putusan.


Pasal Kriminalisasi

Selain hal tersebut di atas, UU SPPA juga mengatur ketentuan pidana bagi Polisi, Jaksa, Hakim, Pejabat Pengadilan dan Penyebar Informasi, yang terdapat ketentuan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101. Pasal 96 UU SPPA menyatakan: “Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat  (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).” Sedangkan Pasal 7 ayat (1) UU SPPA, menyatakan: “Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi.”

Pasal 100 UU SPPA menyatakan: “Hakim  yang  dengan  sengaja  tidak  melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3), Pasal 37 ayat (3), dan Pasal 38 ayat  (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun.” Sedangkan Pasal 35 ayat (3) menyatakan: “Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah berakhir dan Hakim belum memberikan putusan, Anak wajib dikeluarkan demi hukum.” Pasal 37 ayat (3): “Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) telah berakhir  dan  Hakim Banding  belum  memberikan  putusan, Anak  wajib dikeluarkan demi hukum.” Pasal  38  ayat (3): “Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) telah berakhir dan Hakim Kasasi belum memberikan putusan, Anak wajib dikeluarkan demi hukum.”

Pasal 101 SPPA menyatakan: “Pejabat pengadilan yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun.” Sedangkan Pasal 62 berbunyi: “(1) Pengadilan wajib memberikan petikan putusan pada hari putusan diucapkan kepada Anak atau Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Penuntut Umum. (2) Pengadilan wajib memberikan salinan putusan paling lama 5 (lima) hari sejak putusan diucapkan kepada Anak atau Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Penuntut Umum.”

Ketentuan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU SPPA tersebut mengurangi derajat independensi hakim dalam melaksanakan tugas justicialnya. Ancaman sanksi pidana dalam ketentuan pasa-pasal tersebut telah membuka penafsiran bahwa pelanggaran terhadap hukum pidana formal anak (prosedur hukum acara) merupakan suatu tindak pidana dan harus diancam dengan sanksi pidana. Padahal hukum pidana formal anak adalah instrumen bagi hakim untuk menegakkan, mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum pidana materiil anak. Konsekuensi dari pelanggaran hukum pidana formal Anak (prosedur hukum acara) ini adalah sanksi administratif, karena dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Pengawasan terhadap pelanggaran ini pun telah dilakukan oleh lembaga yang masih berada dalam cabang kekuasaan yang sama yaitu Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.

Ancaman sanksi pidana dalam ketentuan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU SPPA tersebut mengundang keberatan sembilan hakim, yaitu: Dr. H. Mohammad Saleh, S.H., M.H., Dr. Drs. Habiburrahman M.Hum,  Dr. Imam Subechi, S.H., M.H., Imron Anwari, SH., Spn., M.H., Suhadi, SH., M.H., H. Kadar Slamet, SH., M.Hum, I Gusti Agung Sumanatha, S.H., M.H., Drs. Abdul Goni, S.H., M.H., Mien Trisnawati, S.H., M.H. Selanjutnya, mereka mengajukan pengujian Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU SPPA ke Mahkamah Konstitusi (MK), yang kemudian diregistrasi oleh Kepaniteraan MK dengan Nomor 110/PUU-X/2012.

Para Pemohon yang mengambil kedudukan hukum (legal standing) sebagai perorangan warga negara Indonesia, ini juga menduduki jabatan sebagai Hakim Agung pada Mahkamah Agung RI dan Hakim pada Badan Peradilan di bawah Mahkamah Agung. Para Pemohon juga menjadi Pengurus Pusat Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI). IKAHI adalah organisasi profesi yang anggotanya terdiri atas warga negara yang memiliki profesi sebagai Hakim pada Mahkamah Agung dan pada Badan Peradilan di bawah Mahkamah Agung.

Menurut para Pemohon, kriminalisasi hakim, pejabat pengadilan, dalam ketentuan Pasal 96, 100 dan 101 UU SPPA lebih ditekankan pada penilaian emosional (the emosionally laden value judgment approach) para pembentuk UU. Penilaian emosional ini tidak memiliki tujuan yang jelas dan tidak disertai pertimbangan seimbang antara upaya kriminalisasi dengan tujuan yang ingin dicapai. Kebijakan yang dibuat oleh para pembentuk UU lebih berorientasi pada perlindungan pelaku (anak). Seharusnya para pembentuk UU menganut ide keseimbangan, di mana perlindungan hukum tidak hanya diberikan kepada pelaku (anak) saja, melainkan juga kepada hakim dan penegak hukum lainnya (Penyidik dan Penuntut Umum) ketika menjalankan tugas dan wewenangnya, tanpa harus ada intervensi berupa kriminalisasi ketika terjadi pelanggaran terhadap hukum pidana formal saat ingin menegakkan hukum pidana materil.

Politik kriminalisasi dalam menetapkan perbuatan sebagai suatu tindak pidana dalam ketentuan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU SPPA tidak lagi diorientasikan pada kebijakan (policy oriented approach) maupun pada nilai (value judgment approach). Ketentuan tersebut tidak memuat asas-asas kriminalisasi, dan tujuan dari pemidanaan/keberadaan/fungsi hukum pidana, sehingga rumusan dalam ketentuan tersebut tidak mencerminkan asas keadilan secara proporsional bagi Hakim, oleh karenanya rumusan dalam ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Upaya kriminalisasi ketentuan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU SPPA pada prinsipnya tidak memenuhi syarat/kriteria kriminalisasi, karena lebih bersifat administrasi. Penggunaan hukum pidana dalam mengkriminalisasi hakim, pejabat pengadilan, merupakan kesesatan atau kekeliruan para pembentuk UU, karena kriminalisasi tersebut digunakan secara sembarangan tanpa tujuan yang jelas. Dalam kerangka yang lebih luas, keberadaan dari pemidanaan itu akan menimbulkan dampak negatif SPPA.

Upaya kriminalisasi ketentuan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU SPPA merupakan bentuk kelampauan batas dari hukum pidana (the crisis of overreach of the criminal law), karena penggunaan hukum pidana dalam ketentuan tersebut sudah melewati batas kewenangannya. Hukum pidana seharusnya digunakan untuk mengurusi perihal kejahatan atau pelanggaran yang memang patut dipidana. Namun ketentuan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU SPPA justru turut mengkriminalisasikan pula perihal pelanggaran terhadap prosedur hukum acara.

Dalam praktek peradilan, pengawasan terhadap pelanggaran prosedur hukum dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, karena pelanggaran tersebut dikategorisasikan sebagai pelanggaran terhadap Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Konsekuensi logis dari pelanggaran ini adalah Sanksi Administratif.

Kriminalisasi Hakim dapat dipandang sebagai upaya untuk membatasi kekuasaan Hakim dalam menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 Jo. Pasal 1 angka (1) dan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Oleh karena itu, ketentuan pidana bagi hakim pada dasarnya dapat berdampak pada pengurangan derajat independensi hakim dalam melaksanakan tugas justicialnya. Dilihat dari konteks hubungan antar lembaga negara berdasarkan sistem cheks and balances, keputusan pembentuk UU tersebut bertentangan dengan konsep pembagian kekuasaan dalam Negara hukum Indonesia, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.

Ketentuan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU SPPA potensial dikualifikasi melanggar prinsip ”Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka (di bidang hukum pidana).” Pasal-pasal tersebut tidak proporsional dan berlebihan dan dengan sendirinya bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.

Para Pemohon dalam petitium meminta Mahkamah mengabulkan permohonan. Menyatakan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.

SIOS WISATA.com
SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES

Kamis, 29 November 2012

DPR: UU Guru dan Dosen Tak Halangi Hak Lulusan LPTK Menjadi Guru


Filosofi dasar pembentukan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) adalah sebagai pelaksanaan amanat Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.” Kemudian pendidikan yang dikehendaki Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 dijabarkan dengan UU Sisdiknas yaitu pendidikan yang bermutu dan tidak diskriminatif yang tercermin dalam Pasal 3 dan Pasal 4 ayat (1) UU Sisdiknas.
Ketentuan Pasal 8 UUGD merupakan ketentuan yang mengatur persyaratan kualifikasi akademik yang harus dimiliki oleh semua guru tanpa diskriminasi. Kemudian rumusan norma Pasal 9 UUGD sangat jelas dan tidak menimbulkan penafsiran lain. Pasal 9 UUGD sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengatur mengenai jalur pengadaan guru dengan latar belakang sarjana (S1) atau diploma empat (D4) kependidikan dan S1 atau D4 non-kependidikan, melainkan hanya mengatur mengenai kualifikasi akademik yang harus dipenuhi oleh calon guru, yaitu berpendidikan S1 atau D4.

“Norma ketentuan Pasal 9 a quo juga tidak akan menghalang-halangi atau berpotensi menghalangi atau mengurangi hak para pemohon yang saat ini berstatus mahasiswa Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) untuk berprofesi sebagai guru.”

Demikian dikatakan Anggota Komisi III DPR Sarifuddin Sudding saat menyampaikan keterangan DPR atas uji materi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) di persidangan Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (29/11/2012) siang. Persidangan kali ketiga untuk perkara Nomor 95/PUU-X/2012 beragendakan mendengar keterangan DPR, Pemerintah, serta keterangan ahli.

Lebih lanjut Sarifuddin Sudding di hadapan pleno hakim konstitusi Achmad Sodiki (ketua pleno), Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, Muhammad Alim, M. Akil Mochtar dan Anwar Usman, menyatakan, di samping wajib memenuhi persyaratan kualifikasi akademik sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UUGD, guru juga wajib memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi keprofesionalan yang diperoleh melalui pendidikan profesi.

Menurut Sudding, pendidikan profesi guru dapat diikuti oleh lulusan S1 atau D4 kependidikan maupun S1 atau D4 non-kependidikan. Adapun alasan membuka kesempatan bagi S1 atau D4 non-kependidikan mengikuti pendidikan profesi guru, yaitu memberikan kesempatan yang sama pada setiap warga negara yang memiliki kualifikasi akademik untuk dapat mengikuti pendidikan profesi guru dan memberika kesempatan yang sama untuk memilih profesi sebagai guru.

Dengan demikian, terbukanya jalan bagi lulusan S1 atau D4 IV non-kependidikan untuk mengikuti pendidikan profesi guru, tidak menutup atau menghambat peluang bagi lulusan S1 atau D4 kependidikan untuk mengikuti pendidikan profesi guru. “Hal tersebut tentunya sejalan dengan nilai konstitusi sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” tandas Sudding.

Sementara itu, Pemerintah dalam keterangannya yang disampaikan Lydia Freyani  Hawadi menyatakan, anggapan adanya kerugian konstitusional akibat berlakunya Pasal 9 UUG, merupakan kekhawatiran para pemohon yang berlebihan. Para Pemohon dapat mengikuti program pendidikan profesi guru pada perguruan tinggi yang memiliki lembaga pendidikan tenaga kependidikan tanpa hambatan setelah menyelesaikan pendidikan S1 atau D4.  “Tidak ada satu kata atau kalimat di dalam Pasal 9 Undang-Undang Guru dan Dosen yang menghalangi, mengurangi, atau meniadakan hak para pemohon untuk mengiktui pendidikan profesi guru, sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2), Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945,” tandas Direktur Jenderal PAUDNI  Kemdikbud, Freyani  Hawadi.

Menurut Pemerintah, pendidikan profesi guru dapat diikuti baik oleh lulusan S1 atau D4 kependidikan, lulusan lembaga pendidikan, tenaga pendidikan, maupun S1 atau D4 non-kependidikan. Terdapat alasan kuat untuk membuka kesempatan bagi S1 atau D4 non-kependidikan mengikuti pendidikan profesi guru yaitu untuk memenuhi kebutuhan kurikulum satuan pendidikan yang tidak mungkin dipenuhi hanya oleh sarjana lulusan LPTK. “Dengan demikian, pemberian kesempatan bagi sarjana atau diploma IV non-kependidikan untuk mengikuti pendidikan profesi guru, tidak menutup atau menghambat peluang bagi sarjana atau diploma IV kependidikan untuk mengikuti pendidikan profesi guru,” tandas Lydia.

Pada kesempatan ini, para pemohon menghadirkan Gempur Santoso yang didaulat sebagai ahli. Gempur menyatakan, Guru dalam pengertian sebagai pendidik, berbeda dengan tutor atau pelatih. Profesi guru sebagai pendidik membutuhkan pendidikan dan latihan yang tidak sekadar berkaitan dengan hard skill, tetapi lebih banyak berkaitan dengan soft skill atau karakter. “Inilah yang membedakan profesi guru dengan profesi lainnya,” kata Gempur.
Sebagai seorang profesional, lanjutnya, profesi guru sebagai pendidik harus menguasai berbagai metode dan model pembelajaran, dan mampu melaksanakan pembelajaran yang aktif, efektif, inovatif, dan menyenangkan. “Oleh karena itu, guru tidak cukup dengan lulusan sarjana S1 atau D4, tetapi harus lulusan sarjana pendidikan S1 atau D4 pendidikan, dan setelah itu mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG),” dalil Gempur.

Untuk diketahui, permohonan pengujian Pasal 9 UUGD ini dimohonkan oleh 7 orang mahasiswa Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), yakni Aris Winarto, Achmad Hawanto, Heryono, Mulyadi, Angga Damayanto, M. Khoirur Rosyid, dan Siswanto. Pasal 9 UUGD menyatakan: “Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui pendidikan sarjana atau program diploma empat.”

Para pemohon merasa hak konstitusional mereka dirugikan oleh berlakunya ketentuan Pasal 9 UUGD. Kerugian konstitusional yang dimaksud yaitu para pemohon harus bersaing dengan para sarjana non-kependidikan yang tidak menempuh kuliah di LPTK dimana terdapat beberapa mata kuliah belum pernah diajarkan di universitas non-kependidikan. Para pemohon mendalilkan profesi guru merupakan bidang khusus sehingga dibutuhkan keahlian khusus. Keahlian khusus ini tidak mungkin didapatkan di perkuliahan non-LPTK. Pasal 9 UUGD tidak memberikan perlindungan serta kepastian hukum kepada para pemohon sebab tidak memberikan jaminan bagi lulusan LPTK sebagai satu-satunya sarjana yang bisa masuk dalam pendidikan profesi guru. Menurut para pemohon, ketentuan Pasal 9 UUGD bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. (Nur Rosihin Ana)

SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES

Rabu, 28 November 2012

Minta Perluasan Wilayah, Bupati dan DPRD Bengkulu Selatan Ujikan UU Nomor 3 Tahun 2003


Kabupaten Bengkulu Selatan telah dibentuk sejak 56 tahun lalu melalui Undang-Undang Darurat Nomor 4 Tahun 1956 dengan luas wilayah 5.955,59 km². Namun setelah pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003,  luas wilayah Kabupaten Bengkulu Selatan sebagai Kabupaten Induk berkurang menjadi 1.186,10 km². Sementara dua kabupaten pemekaran dari Kabupaten Bengkulu selatan, yaitu Kabupaten Seluma mempunyai luas wilayah 2.400,44 km², dan Kabupaten Kaur mempunyai luas wilayah 2.369,05 km².

“Menurut kami, pembagian luas wilayah ini tidaklah profesional karena pembagian wilayah Bengkulu Selatan sebagai kabupaten induk tidak sampai setengah dari masing-masing wilayah yang dibentuknya atau sekitar 19,93% saja luas yang tersisa atau sekitar 80,07% wilayah yang terlepas dari kabupaten induk sebelumnya.”

Demikian disampaikan Zainuddin Paru selaku kuasa hukum para pemohon, saat memaparkan pokok permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003 di persidangan Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (28/11/2012) siang. Sidang pemeriksaan pendahuluan untuk perkara 112/PUU-X/2012 ihwal pengujian Pasal 4 huruf d dan e, Pasal 5 huruf g, Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Mukomuko, Kabupaten Seluma dan Kabupaten Kaur di Provinsi Bengkulu, ini dilaksanakan oleh panel hakim konstitusi Achmad Sodiki (ketua panel), Muhammad Alim, dan Anwar Usman. Uji materi UU Nomor 3 Tahun 2003 ini dimohonkan oleh Bupati Bengkulu Selatan H. Reskan E. Awaluddin, Ketua DPRD Kabupaten Bengkulu Selatan Susman Hadi, Aguslianto, dan Muksan.  

Tujuan pemekaran daerah, lanjut Zainuddin, adalah untuk memperpendek rentang kendali pemerintahan, mendekatkan, memudahkan, dan mengefisienkan pelayanan pemerintahan dalam rangka menyejahterakan, meningkatkan peran serta masyarakat, dan efisiensi pelaksanaan pembangunan dalam wilayah yang dimekarkan. Akan tetapi, setelah lahirnya UU Nomor 3 Tahun 2003, justru menimbulkan banyak masalah pada warga setempat, khususnya yang berdomisili di wilayah Kecamatan Semidang Alas dan Kecamatan Semidang Alas Maras Kabupaten Seluma, serta warga Kecamatan Tanjung Kemuning Kabupaten Kaur.

“Pembagian luas wilayah yang tidak profesional di atas dilatarbelakangi oleh adanya prosedur atau legal formal yang tidak benar berakibat adanya cacat hukum pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003 dan pembagian wilayah yang tidak proporsianal di atas juga melewati proses yang tidak wajar, yaitu adanya kepentingan politik dari sekelompok orang,” lanjut Zainuddin.

Cacat Bawaan

Di samping adanya kepentingan politik sebagaimana dijelaskan di atas, sejak awal terbitnya UU Nomor 3 Tahun 2003 melanggar prosedur dan mengandung cacat hukum atau cacat bawaan karena belum pernah dibahas dalam rapat-rapat paripurna. Hal ini bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib DPRD Kabupaten Bengkulu Selatan Nomor 01 Tahun 2002.

“Maka adalah wajar apabila pada tataran implementasinya terkait dengan batas wilayah di lapangan, antar kabupaten yang dibentuknya hingga kini belum ada ketetapan dari Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, meskipun telah diamanatkan sejak 9 tahun yang lalu di dalam Pasal 7 ayat (5) Undang-Undang a quo beserta penjelasannya,” jelas Zainuddin.

Tambah Wilayah

Upaya hukum yang ditempuh oleh Bupati Bengkulu Selatan ke MK adalah dengan maksud untuk mendapatkan penambahan luas wilayah. “Dengan harapan bahwa melalui proses persidangan di Mahkamah ini dapat pula mendapatkan hak sebagaimana yang diinginkan untuk memberikan pelayanan masyarakat Kabupaten Bengkulu Selatan menjadi lebih baik,” pinta Zainuddin Paru.

Dalam petitum, para pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 4 huruf d dan e, Pasal 5 huruf g, Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (2) dan (3) UU Nomor 3 Tahun 2003 menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang berakibat tidak dapat diperolehnya hak-hak konstitusional para pemohon yang dijamin UUD 1945. Para Pemohon juga meminta Mahkamah mengubah bunyi Pasal 4, Pasal 5, Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3), serta paragraf 3 bagian penjelasan UU Nomor 3 Tahun 2003.

Pasal 4 menyatakan: “Kabupaten Seluma berasal dari sebagian wilayah Kabupaten Bengkulu Selatan yang terdiri atas: a. Kecamatan Sukaraja; b. Kecamatan Seluma; c. Kecamatan Talo; d. Kecamatan Semidang Alas; dan e. Kecamatan Semidang Alas Maras.

Para pemohon meminta Pasal 4 diubah menjadi: “Kabupaten Seluma berasal dari sebagian wilayah Kabupaten Bengkulu Selatan yang terdiri atas: a. Kecamatan Sukaraja; b. Kecamatan Seluma; c. Kecamatan Talo.

Pasal 5 menyatakan: “Kabupaten Kaur berasal dari sebagian wilayah Kabupaten Bengkulu Selatan yang terdiri atas: a. Kecamatan Kaur Utara; b. Kecamatan Kinal; c. Kecamatan Kaur Tengah; d. Kecamatan Kaur Selatan; e. Kecamatan Maje; f. Kecamatan Nasal; dan g. Kecamatan Tanjung Kemuning.”

Perubahan yang diinginkan para pemohon, Pasal 5: “Kabupaten Kaur berasal dari sebagian wilayah Kabupaten Bengkulu Selatan yang terdiri atas: a. Kecamatan Kaur Utara; b. Kecamatan Kinal; c. Kecamatan Kaur Tengah; d. Kecamatan Kaur Selatan; e. Kecamatan Maje; dan f. Kecamatan Nasal.”

Pasal 7 ayat (2): “Kabupaten Seluma mempunyai batas wilayah: a. sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Selebar Kota Bengkulu dan Kecamatan Talang empat Kabupaten Bengkulu Utara; b. sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Lahat Provinsi Sumatera Selatan; c. sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pino Raya Kabupaten Bengkulu Selatan; dan d. sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia.

Perubahan yang diminta, Pasal 7 ayat (2): “Kabupaten Seluma mempunyai batas wilayah: a. sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Selebar Kota Bengkulu dan Kecamatan Talang empat Kabupaten Bengkulu Utara; b. sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Lahat Provinsi Sumatera Selatan; c. sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Kecamatan Semidang Alas dan Kecamatan Semidang Alas Maras Kabupaten Bengkulu Selatan, dan d.
sebelah barat berbatasan dengan Samudrea Hindia.

Pasal 7 ayat (3): “Kabupaten Kaur mempunyai batas wilayah: a. sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Kedurang Kabupaten Bengkulu Selatan dan Kabupaten Lahat Provinsi Sumatera Selatan; b. sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Ogan Komering Ulu Provinsi Sumatera Selatan; c. sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Lampung Barat Provinsi Lampung; dan d. sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia.

Perubahan yang diminta, Pasal 7 ayat (3): “Kabupaten Kaur mempunyai batas wilayah: a. sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Tanjung Kemuning Kabupaten Bengkulu Selatan dan Kabupaten Lahat Provinsi Sumatera Selatan; b. sebelah timur berbatasan dengan Ogan Komering Ulu Provinsi Sumatera Selatan; c. sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Lampung Barat Provinsi Lampung, dan d. Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia-Belanda. (Nur Rosihin Ana)

SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES

Selasa, 27 November 2012

Pemohon Perbaiki Uji Konstitusionalitas Pembentukan Dapil dalam UU Pileg


Ketentuan mengenai pembentukan Daerah Pemilihan (Dapil) calon anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pileg) yang dimohonkan oleh Hadi Setiadi, kembali diuji di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (27/11/2012) siang. Persidangan kali kedua untuk perkara 109/PUU-X/2012 beragendakan perbaikan permohonan.

Di hadapan panel hakim konstitusi M. Akil Mochtar (ketua panel), Ahmad Fadlil Sumadi, dan Maria Farida Indrati, Hadi Setiadi menyatakan telah memperbaiki permohonan berdasarkan nasihat panel hakim pada persidangan pendahuluan yang digelar dua pekan yang lalu. Saat itu, ketua panel M. Akil Mochtar menasihati Hadi Setiadi agar memperbaiki struktur permohonan sebagaimana lazimnya berperkara di MK. Akil juga menyarankan Hadi memperbaiki kedudukan hukum (legal standing) beserta uraiannya. Kemudian, saran menyangkut pokok permohonan dan petitum.

Hadi menyatakan telah merombak total permohonan, termasuk mengubah pokok permohonan dan petitum. “Dalam sidang perbaikan permohonan dua ini, perbaikan permohonannya saya rombak total,” kata Hadi.

Mendengar pernyataan Hadi, Sebelum mengakhiri persidangan, panel hakim mengesahkan alat bukti. Hadi mengusung alat bukti P-1 sampai P-4 yang berisi berkas surat dan tanda terimanya, serta makalah.  

Untuk diketahui, Hadi yang pernah mencalonkan diri menjadi anggota DPRD Kabupaten Cianjur dari Partai Bintang Reformasi pada pemilu legislatif tahun 2004 lalu, merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 24 dan Pasal 27 UU Pileg. Hadi dan para calon anggota DPRD dirugikan atau berpotensi dirugikan dari proses pembentukan Daerah Pemilihan.

Pasal 24 UU Pileg menyatakan: “(1) Daerah pemilihan anggota DPRD provinsi adalah kabupaten/kota, atau gabungan kabupaten/kota. (2) Jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD provinsi paling sedikit 3 (tiga) kursi dan paling banyak 12 (dua belas) kursi. (3) Dalam hal penentuan daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diberlakukan, penentuan daerah pemilihan menggunakan bagian kabupaten/kota. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai daerah pemilihan dan alokasi kursi anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam peraturan KPU.”

Pasal 27 UU Pileg menyatakan: “(1) Daerah pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota adalah
kecamatan, atau gabungan kecamatan. (2) Jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD
kabupaten/kota paling sedikit 3 (tiga) kursi dan paling banyak 12 (dua belas) kursi. (3) Dalam hal penentuan daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diberlakukan, penentuan daerah pemilihan menggunakan bagian kecamatan atau nama lain. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai daerah pemilihan dan alokasi kursi anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam peraturan KPU.”

Hadi menyatakan ketentuan pembentukan Dapil dalam UU Pileg bersifat multi tafsir. Oleh karena itu menurutnya, ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal Pasal 28D ayat (1) UUD 1945: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” (Nur Rosihin Ana)

SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES

Senin, 26 November 2012

Uji UU Pemda: Eggi Sudjana Minta Diikutsertakan sebagai Cagub Jabar Jalur Independen


Calon Gubernur Jawa Barat dari jalur independen, Dr. Eggi Sudjana, SH.,M.Si, melalui kuasanya menyampaikan perbaikan permohonan pengujian Pasal 59 ayat (2a) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), di persidangan Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (26/11/2012) siang. Kuasa pemohon, Syamsul Bahri menyatakan aspirasi masyarakat Jawa Barat meminta kliennya maju menjadi calon gubernur. Namun untuk memenuhi aspirasi tersebut, kliennya terjegal oleh ketentuan Pasal 59 ayat 2a huruf d UU Pemda yang menyatakan: Pasangan calon perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat mendaftarkan diri sebagai pasangan calon gubernur/wakil gubernur apabila memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan: (d) provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 3% (tiga persen).”

“Pada intinya, kami menyatakan bahwa pasal ini secara jelas masih perlu didrop atau dihilangkan sama sekali, karena kami berfikir bahwa adanya pasal ini, maka Pemohon tidak dapat menjadi gubernur. Atau ada sebagian rakyat di Indonesia ini yang bercita-cita untuk menjadi pemimpin di daerahnya tidak dapat menjadi pemimpin atau diusulkan oleh rakyat karena adanya Pasal 59 ini,” kata Syamsul Bahri.

Berbicara mengenai kerugian yang dialami pemohon, Syamsul Bahri menyatakan secara materi pemohon sebagai calon independen mengalami kerugian lebih besar dibandingkan kerugian yang dialami oleh partai politik (parpol). Karena partai politik cukup melampirkan selembar bukti dukungan. Sedangkan kami (Pemohon) harus melampirkan 1.000.474 fotokopi KTP yang biayanya sangat mahal dan setiap 20 ada bermaterai. Kalau dari partai politik, tidak perlu seluruh pengurus kabupaten/kota melampirkan dukungan, cukup dewan pimpinan provinsi yang melampirkan itu dengan selembar kertas,” dalil Syamsul.

Menurut Syamsul, hal tersebut merupakan perlakuan yang diskriminatif bagi pemohon yang hendak maju menjadi Cagub Jabar dari jalur independen. Oleh karenanya, pemohon dalam petitum meminta Mahkamah menyatakan Pasal 59 ayat (2a) huruf d UU Pemda bertentangan Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. “Sehingga harus dinyatakan dihapus dan tidak perlu lagi,” pinta pemohon melalui kuasa hukum lainnya, Zulfikar M. Rio.

Selanjutnya meminta agar Eggi Sudjana diperkenankan mencalonkan diri sebagai gubernur Jabar. “Mempersilakan atau memperbolehkan Pemohon Saudara Dr. Eggi Sudjana, S.H., M.Si. untuk dapat ikut serta dalam pemilukada,” lanjut Zulfikar.

Menanggapi perbaikan permohonan, panel hakim konstitusi menilai petitum pemohon tidak lazim. “Kalau bertentangan (dengan UUD 1945), itu dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, bukan dihapus,” terang anggota panel hakim Hamdan Zoelva seraya menyatakan MK tidak berwenang menghapus pasal.

Mengenai permintaan agar Eggi Sudjana dipersilakan menjadi Cagub Jabar, menurut Hamdan, dalam perkara judicial review tidak ada kasus yang konkret. “Ini judicial review, pengujian norma, enggak ada kasus konkret dalam kasus judicial review. Jadi pengujian norma, lebih abstrak. Ini berlaku untuk seluruh orang, seluruh  rakyat Indonesia, tidak berlaku hanya untuk Eggi Sudjana,” lanjut Hamdan.

Sidang kali kedua untuk perkara 107/PUU-X/2012 beragendakan perbaikan permohonan. Namun demikian, ternyata masih terdapat hal-hal yang perlu diperbaiki dalam permohonan. Hamdan menyarankan pemohon agar me-renvoi bagian-bagian yang diperbaiki. “Direnvoi saja, tidak ada waktu lagi, dicoret yang tidak perlu, karena ini batas akhir perbaikan,” Nasihat Hamdan. (Nur Rosihin Ana)

SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES

Kamis, 22 November 2012

Irman Putra Sidin: Produk UU Cacat Formil tanpa Kehadiran DPD


Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mempunyai hak subjektif untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) sebagai representasi daerah. RUU yang diajukan DPD layak menjadi acuan utama bagi Presiden dan DPR dalam mengajukan usulan RUU yang sama.

Setelah perubahan konstitusi RI, pusat gravitasi, denyut nadi kenegaraan yang dulu berada pada pusat, kini beralih pada daerah. Dengan dasar ini maka wajar ketika DPD mengatakan bahwa keikutsertaan DPD membahas sebuah RUU itu bukan berdasarkan kemurahan hati Presiden dan DPR, tapi ikut membahas syarat formil sahnya sebuah RUU menjadi UU.

“Dengan kata lain, misalnya DPD tidak ikut membahas, maka produk undang-undang tanpa dihadiri tiga pihak ini bisa dinyatakan sebagai undang-undang yang cacat secara formil, batal secara keseluruhan meski syarat persetujuan itu sudah terpenuhi oleh presiden bersama DPR.”

Demikian dikatakan Dr. Irman Putra Sidin saat didaulat sebagai ahli yang dihadirkan oleh DPD dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK) Kamis (22/11/2012). Sidang dilaksanakan oleh Pleno Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD (ketua pleno), didampingi delapan Anggota Hakim Konstitusi yaitu Achmad Sodiki, Harjono, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Anwar Usman. Moh. Mahfud MD menyatakan persidangan perkara 92/PUU-X/2012 dan 104/PUU-X/2012 yang sebelumnya diperiksa terpisah, pada persidangan kali ini digabung. Mahfud beralasan, objek dan dalil-dalil dalam dua perkara tersebut substansinya sama. “Karena objeknya sama, dalil-dalil yang diajukan juga substansinya sama, maka  perkara ini disatukan,” kata Mahfud berargumen.

Irman Putra Sidin lebih lanjut menyatakan, dalam konstitusi, wilayah atau daerah memiliki organ-organ hidup yang memiliki kemandirian gerak, sehingga wilayah atau daerah harus menjadi aktor utama yang tidak sekedar figuran dalam proses pengambilan kebijakan nasional. Sejarah menunjukkan, daerah memiliki peran historisnya sendiri guna membentuk NKRI. Hal ini menjadi dasar bahwa DPD mempunyai kedudukan yang sederajat dengan Presiden dan DPR meskipun kewenangannya berbeda.

“Dari uraian ini, wajar ketika DPD dikonstruksikan bahwa kata ‘dapat’ dalam mengajukan RUU dalam Undang-Undang Dasar 1945 itu tidak semata dapat dalam arti semantik, tapi dimaknakan bahwa dapat mengajukan rancangan undang-undang adalah sebuah hak subjektif DPD sebagai representasi wilayah,” papar Irman.

Irman menilai permohonan judicial review ini bukan dimaksudkan untuk mereduksi kewenangan DPR atau ingin mengurangi kewenangan Presiden. “Tapi, permohonan ini sesungguhnya terbaca bahwa DPD ingin menjadi kawan bagi DPR dan ingin menjadi kawan bagi Presiden dalam mengatur negara ini, agar negara ini bisa terurus secara tepat dalam rangka terakselerasinya pencapaian tujuan negara seperti termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” pungkas Irman.

Pada persidangan dengan agenda mendengarkan keterangan Saksi/Ahli ini, DPD selaku pemohon untuk Perkara Nomor 92/PUU-X/2012, sedianya menghadirkan Forum Konstitusi (FK) sebagai ahli. Namun, FK dalam suratnya yang ditandatangi oleh Harun Kamil dan Ahmad Zacky Siradj, menyatakan di internal FK terjadi perbedaan pandangan dalam hal ini, sehingga FK tidak mengirimkan salah satu anggotanya untuk menjadi ahli dengan mengatasnamakan forum (FK).

Untuk diketahui, permohonan uji materi UU MD3 dan UU P3 Perkara Nomor 92/PUU-X/2012 diajukan DPD. Sedangkan untuk  Perkara Nomor 104/PUU-X/2012 diajukan oleh Prof Syamsuddin Haris (LIPI), Dr. Yudi Latif (Direktur Eksekutif Reform Institute), Sukardi Rinakit (Yayasan Soegeng Sarjadi), Titi Anggraini (Perludem) Toto Sugiarto (Peneliti Soegeng Sarjadi Syndicate), Yurist Oloan (FORMAPPI), sebagai Pemohon VI, Dr. Hemawan Estu Bagijo, SH, MH (Ketua Asosiasi Pengajar HTN), Refly Harun (CORRECT), Yuda Kusumaningsih (Pokja Keterwakilan Perempuan), Sulastio, (IPC), Sulastio (KIPP), Pipit Apriani (KIPP), Yusfitriadi (JPPR), Abdullah (ICW), Feri Amsari, SH, MH (Dosen HTN Fakultas Hukum Universitas Andalas), dan King Faisal Sulaiman SH, LLM (Direktur LBH Imparsial).

Materi UU MD3 yang diujikan yaitu Pasal 71 huruf a, huruf d, huruf e, Pasal 102 ayat (1), Pasal 147 ayat (3), ayat (4), ayat (7), Pasal 150 ayat (3), ayat (4) huruf a, Pasal 151 ayat (1) huruf a, huruf b, dan Pasal 154 ayat (5).

Sedangan materi UU P3 yang diujikan yaitu Pasal 18 huruf g, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), ayat (3), Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 43 ayat (1), ayat (2), Pasal 46 ayat (1), Pasal 48 ayat (2), ayat (4), ayat (5), Pasal 65 ayat (3), Pasal 68 ayat (2) huruf c, huruf d, ayat (3), ayat (4), ayat (5), Pasal 69 ayat (1) huruf a, huruf b, Pasal 70 ayat (1), dan ayat (2).

DPD mendalilkan, Pasal 102 ayat (1) huruf (d) dan (e) UU MD3, Pasal 48 ayat (2) dan (4) UU P3 telah mereduksi kewenangan legislasi DPD yang seharusnya setara dengan kewenangan legislasi Anggota, Komisi, dan Gabungan Komisi DPR. Pasal 18 huruf g, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21, Pasal 22 ayat (1), dan Pasal 23 ayat (2)  UU P3  telah meniadakan kewenangan DPD untuk dapat mengajukan RUU baik di dalam maupun di luar Program Legislasi Nasional. Pasal 143 ayat (5) dan Pasal 144 UU MD3 secara sistematis tidak mengikutsertakan DPD sejak awal proses pengajuan RUU. Pasal 147 ayat (1), ayat (3), dan (4) UU MD3 telah mendistorsi RUU usul DPD menjadi RUU usul DPR. Pasal 43 ayat  (1) dan  (2)  serta  Pasal 46 ayat (1) UU P3 telah merendahkan kedudukan DPD menjadi lembaga yang sub-ordinat di Bawah DPR. Pasal 65 ayat (3) dan (4) UU P3 tidak melibatkan DPD dalam seluruh proses pembahasan RUU. (Nur Rosihin Ana)

SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES

Selasa, 20 November 2012

Uji UU Dikti: Otonomi Perguruan Tinggi Bibit Awal Liberalisasi Pendidikan


Pendidikan merupakan kebutuhan setiap orang untuk meningkatkan kapasitas dirinya dan juga menjadi bagian dari indikator kemajuan suatu bangsa sehingga Negara harus berperan dalam penyediaan sarana dan prasarana pendidikan. Pengelolaan perguruan tinggi secara otonom berarti pengelolaan oleh lembaga yang bersangkutan secara mandiri, dan bukan oleh pemerintah. “Dapat diartikan pula sebagai bibit awal dari liberalisasi pendidikan.”

Demikian dikatakan Presiden Keluarga Mahasiswa Universitas Andalas, Azmy Uzandy, dalam persidangan uji materi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti), Selasa (21/11/2012) siang. Persidangan dengan agenda pemeriksaan pendahuluan untuk perkara Nomor 111/PUU-X/2012 dilaksanakan di dua tempat yang berbeda dengan menggunakan teknologi video conference yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Panel Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva (ketua panel), Harjono dan Ahmad Fadlil Sumadi yang berada di ruang sidang pleno lt. 2 gedung MK memeriksa para pemohon yang berada di Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat.

Permohonan uji materi UU Dikti diajukan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Andalas (BEM KM UNAND). Sedangkan materi UU Dikti yang diujikan yaitu Pasal 50, Pasal 65, Pasal 74, Pasal 76, dan Pasal 90.

Azmy melanjutkan, liberalisasi pendidikan merupakan akar masalah dari UU DIkti. Liberalisasi pendidikan berimplikasi pada biaya yang ditanggung oleh mahasiswa selama proses pembelajaran di universitas dan juga status kepegawaian dari para pekerja yang ada di lingkungan universitas yang bersangkutan.

Ketentuan Pasal 65 UU Dikti menyatakan bahwa penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh menteri kepada PTN dengan menerapkan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum atau dengan membentuk badan hukum. Pada Pasal 65 ayat (3) dinyatakan, perguruan tinggi diberi wewenang mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi.

“Apa parameter untuk menyeleksi perguruan tinggi tersebut dan bagaimana sistem pengawasan setelah menjadi Badan Layanan Umum atau berbadan hukum?” tanya Azmy.

Menurut Azmy yang tercatat sebagai mahasiswa semester VII Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Andalas, Pasal 74 dan Pasal 76 UU Dikti bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 31 ayat (134) UUD 1945. Pasal 76 ayat (1), menjelaskan tentang pemenuhan hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi. Pemenuhan dimaksud dilaksanakan oleh Pemerintah dengan memberikan pinjaman dana pendidikan tanpa bunga.

Sistem pinjaman seperti ini merupakan bentuk lepas tangan, lepas tanggung jawab negara atau pemerintah untuk menjamin akses terhadap pendidikan tinggi. Sistem ini merupakan adopsi sistem pembiayaan pendidikan yang digunakan oleh negara seperti Amerika Serikat atau negara liberal yang terbukti telah gagal untuk menegakkan hak atas pendidikan warga negaranya.

“Kredit bagi mahasiswa seharusnya hanyalah digunakan untuk membangkitkan jiwa wirausaha mahasiswa, tapi tidak untuk membiayai operasional pendidikan,” dalil Azmy.

Kemudian, Pasal 90 UU Dikti bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 31 ayat (3) UUD 1945. Sebab, Pasal 90 UU Dikti mengizinkan perguruan tinggi asing atas persetujuan menteri, membuka cabangnya di Indonesia. Hal yang dikritisi BEM KM Unand adalah motif yang ada di baliknya. Jika hanya pelaksanaan kerja sama dengan pihak luar, maka tidak mengharuskan adanya entitas perguruan tinggi asing yang dibangun dalam negeri, mengingat kondisi pendidikan dalam negeri masih jauh dari kata setara dan tanpa ada visi nasional yang jelas. “Hal ini dapat menyebabkan pendidikan tinggi terseret mekanisme pasar dan hanya menghasilkan kuli-kuli terdidik,” papar Azmy.

Selain itu, pembukaan perguruan tinggi asing di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari akulturasi ideologi tertentu. Upaya kerja sama perguruan tinggi dengan dunia usaha dan dunia industri dalam bidang penelitian tercantum dalam Pasal 47 dan kerja sama internasional dalam Pasal 50 juga menjadi hal yang harus mendapatkan perhatian. “Kerja sama yang dibangun haruslah kerja sama  yang sesuai dengan kepentingan nasional,” tambanya.

Dampak UU Dikti, terang Azmy, yaitu pertama, kenaikan biaya pendidikan  karena otonomi tanpa pengawasan  dana regulasi yang jelas. Kedua, terancamnya nilai-nilai luhur Indonesia akibat pencampuran budaya asing yang masuk ke Indonesia oleh perguruan tinggi asing. Ketiga, Indonesia akan menjadi tamu di wilayah sendiri karena kalah bersaing dengan perguruan tinggi asing. Keempat, berubahnya fokus perguruan tinggi dari mencerdaskan bangsa menjadi perguruan tinggi yang fokus mencari profit untuk pemenuhan biaya operasional semata.

Berdasarkan dalil-dalil tersebut, BEM KM Unand dalam petitum meminta Mahkamah menyatakan Pasal 50, Pasal 65, Pasal 74, Pasal 76, dan Pasal 90 UU Dikti bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 31 ayat (1), (3), (4). “Oleh karenanya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” pinta Azmi.

Menanggapi permohonan, Hakim Konstitusi Harjono menyarankan pemohon memperjelas argumentasi pasal-pasal yang diujikan. Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi menyarankan pemohon memperjelas kedudukan hukum (legal standing). Sebab, uji materi UU Dikti dimohonkan oleh perorangan WNI yaitu: Azmy Uzandy, Khairizvan Edwar, Ilham Kasuma, Mida Yulia Murni, Ramzanjani, dan Ari Wirya Dinata. Tapi belakangan muncul BEM KM Unand sebagai pemohon. “Saudara mengajukan ini sebagai perorangan? Kalau sebagai perorangan warga negara Indonesia, mengapa BEM KM (Unand) ditulis? Apa kaitannya perorangan dengan BEM itu?” tanya Fadlil.

Oleh karena itu, Ketua Panel Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva menasihati pemohon agar menyusun ulang permohonan. “Ini permohonannya bisa merupakan permohonan yang kabur. Kalau permohonan kabur, di Mahkamah Konstitusi tidak akan diperiksa dan dinyatakan permohonannya kabur,” terang Hamdan. (Nur Rosihin Ana)

SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES

Senin, 19 November 2012

Sengketa Pilwalkot Padangsidimpuan: Camat Psp Tenggara Bantah Terlibat Pemenangan Andar-Isnan


Camat Padangsidimpuan (Psp) Tenggara Ahmad Bestari Lubis membantah keterlibatannya dalam pemenangan pasangan calon walikota/wakil walikota Padangsidimpuan nomor 3 Andar Amin Harahap dan Muhammad Isnandar (Andar-Isnan). Bestari dengan tegas menyatakan tidak pernah membagikan sejumlah uang untuk pemenangan Andar-Isnan. Sebaliknya Bestari yang bersaksi untuk pasangan Andar-Isnan ini menyatakan apa yang dituduhkan kepadanya merupakan fitnah.

Bantahan Bestari tersebut menanggapi keterangan Kepala Desa Huta Limbong Kecamatan Psp Tenggara, Nelson Gultom, saat bersaksi untuk pasangan calon walikota/wakil walikota Padangsidimpuan Dedi Jaminsyah Putra dan Affan Siregar (Dedi-Affan) selaku pemohon perselisihan hasil Pemilukada Padangsidimpuan. Pada persidangan senin kemarin, Nelson mengaku menerima uang 30 juta rupiah dari Camat Psp Tenggara untuk diberikan kepada warga desa Huta Limbong agar memilih pasangan Andar-Isnan.  

“Dia (Nelson Gultom) sebut-sebut nama saya bahwa saya memberikan uang Rp30 juta terhadap beliau. Itu tidak benar,” bantah Bestari dalam persidangan perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) Kota Padangsidimpuan yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (20/11/2012) siang. Sidang kali kelima untuk perkara 85/PHPU-D/2012 dengan agenda pembuktian ini dilaksanakan oleh panel Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar (ketua panel), Hamdan Zoelva dan Muhammad Alim.

Bestari menegaskan kedatangannya ke Jakarta dan bersaksi di persidangan MK adalah untuk membantah tuduhan-tuduhan terhadap dirinya. “Saudara lapor saja ke polisi kalau itu fitnah,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar. “Memfitnah nama baik itu. Sampai Sidimpuan nanti saya tuntut ini,” sambung Bestari.

Pasangan Andar-Isnan selaku pihak terkait dalam sidang perselisihan hasil Pemilukada Kota Padangsidimpuan, juga menghadirkan saksi Marataman Siregar. Marataman adalah Anggota DPRD Kota Padangsidimpuan dari Partai Buruh, salah satu partai pengusung pasangan Andar-Isnan. Marataman yang juga merupakan penasehat tim sukses pasangan Andar-Isnan, menerangkan keterlibatan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kota Padangsidimpuan untuk pemenangan pasangan nomor 4 Dedi-Affan. Marataman menyebutkan peran Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Padangsidimpuan yang sangat potensial memengaruhi beberapa SKPD. “Dia (Sekda Kota Padangsidimpuan) sangat berpengaruh, sangat potensial untuk bisa mempengaruhi beberapa SKPD untuk mengusung Nomor 4,” terang Marataman.

Sidang kali kelima perkara perselisihan hasil Pemilukada Padangsidimpuan ini merupakan sidang pemeriksaan terakhir. Sebelum menutup persidangan, Ketua Panel Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar menyarankan kepada pasangan Dedi-Affan (pemohon), KPU Kota Padangsidimpuan (termohon) dan pasangan Andar-Isnan (pihak terkait) untuk membuat kesimpulan akhir. Akil memberi kesempatan penyampaian kesimpulan akhir paling lambat diserahkan ke Kepaniteraan MK pada Rabu (21/11/2012) pukul 12.00 WIB.

“Baiklah dengan demikian sidang dalam Perkara Nomor 85/PHPU.D-X/2012 saya nyatakan selesai, dan nanti menunggu panggilan dari Mahkamah untuk pengucapan putusan,” pungkas Akil Mochtar sembari mengetukkan palu sidang tiga kali pertanda persidangan ditutup. (Nur Rosihin Ana)

SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES

Permohonan Uji Kewenangan DPD dalam UU P3 dan UU MD3 Diperbaiki


Uji materi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan (UU MD3) kembali disidangkan Mahkamah Konstitusi, Senin (19/11/2012) siang. Sidang kali kedua untuk perkara 104/PUU-X/2012 beragendakan perbaikan permohonan.

Veri Junaidi, selaku kuasa hukum para pemohon, menyampaikan perbaikan permohonan. Inti perbaikan berkaitan dengan kedudukan hukum pemohon (legal standing) dan petitum.

Selanjutnya, Panel Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar (ketua panel), Muhammad Alim, dan Maria Farida Indrati memeriksa surat kuasa para pemohon. “Ini Surat Kuasa Saudara, baru?” tanya M. Akil Mochtar sembari memperlihatkan surat kuasa dimaksud ke arah Veri Junaidi. Itu Surat Kuasa untuk yang Pemohon yang 17 sampai 56,” jawab Veri.

“Kok enggak ada nama?” lanjut Akil menanyakan. “           Ya, Yang Mulia, mohon maaf, yang bagian depan itu sudah ada nama, tapi memang yang pada saat mereka tanda tangan, pemberi kuasanya tidak mencantumkan nama,” jawab Veri beralasan.

Mendengar jawaban tersebut, Akil menyarankan agar permohonan kembali diperbaiki segera setelah persidangan. “Saudara perbaiki selesai sidang ini karena itu adalah dokumen-dokumen yang berkaitan dengan keabsahan permohonan,” saran Akil.

Sebelum menutup persidangan, panel hakim mengesahkan alat bukti pemohon. Para Pemohon mengajukan bukti P-1 sampai P-4.

Seperti diketahui, uji materi UU P3 dan UU MD3 diajukan oleh Prof Syamsuddin Haris (LIPI), Dr. Yudi Latif (Direktur Eksekutif Reform Institute), Sukardi Rinakit (Yayasan Soegeng Sarjadi), Titi Anggraini (Perludem) Toto Sugiarto (Peneliti Soegeng Sarjadi Syndicate), Yurist Oloan (FORMAPPI), sebagai Pemohon VI, Dr. Hemawan Estu Bagijo, SH, MH (Ketua Asosiasi Pengajar HTN), Refly Harun (CORRECT), Yuda Kusumaningsih (Pokja Keterwakilan Perempuan), Sulastio, (IPC), Sulastio (KIPP), Pipit Apriani (KIPP), Yusfitriadi (JPPR), Abdullah (ICW), Feri Amsari, SH, MH (Dosen HTN Fakultas Hukum Universitas Andalas), dan King Faisal Sulaiman SH, LLM (Direktur LBH Imparsial).

Materi UU P3 yang diujikan yaitu Pasal 18 huruf g, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), ayat (3), Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 43 ayat (1), ayat (2), Pasal 46 ayat (1), Pasal 48 ayat (2), ayat (4), ayat (5), Pasal 65 ayat (3), Pasal 68 ayat (2) huruf c, huruf d, ayat (3), ayat (4), ayat (5), Pasal 69 ayat (1) huruf a, huruf b, Pasal 70 ayat (1), dan ayat (2)

Kemudian materi UU MD3 yang diujikan yaitu Pasal 71 huruf a, huruf d, huruf e, Pasal 102 ayat (1), Pasal 147 ayat (3), ayat (4), ayat (7), Pasal 150 ayat (3), ayat (4) huruf a, Pasal 151 ayat (1) huruf a, huruf b, dan Pasal 154 ayat (5).
Para Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan direduksinya kewenangan DPD. Akibatnya, DPD umumnya dan anggota DPD khususnya, termasuk anggota DPD yang berasal dari daerah pemilihan Para Pemohon, tidak dapat dan tidak akan dapat secara maksimal memperjuangkan hak konstitusional Para Pemohon. (Nur Rosihin Ana)

SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES

Saksi Pasangan Dedi-Affan Beberkan Keterlibatan Camat dalam Pemilukada Padang Sidimpuan


Pasangan calon walikota/wakil walikota Padang Sidimpuan Dedi Jaminsyah Putra dan Affan Siregar (Dedi-Affan) selaku pemohon perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) Kota Padang Sidimpuan, menghadirkan beberapa saksi untuk memberikan keterangan dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (19/11/2012). Sidang kali kelima untuk perkara 85/PHPU-D/2012 dengan agenda pembuktian ini dilaksanakan oleh panel Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar (ketua panel), Muhammad Alim, dan Hamdan Zoelva.

Saksi pasangan Dedi-Affan bernama Junaidi Siregar menerangkan mengenai banyaknya warga Psp Angkola Julu tidak  terdaftar dalam DPT karena data DPS dan DPT tidak berdasar validasi faktual. Junaidi yang juga merupakan Anggota PPK Psp Angkola Julu ini juga membeberkan keterlibatan Camat Psp Angkola Julu dalam pemenangan pasangan Andar Amin Harahap dan Muhammad Isnandar (Andar-Isnan).

Junaidi sebelumnya menjabat Ketua PPK Psp Angkola Julu. Jabatannya bergeser menjadi anggota karena dia tidak mau berpihak kepada pemerintah setempat (Camat Psp Angkola Julu) yang merupakan pendukung pasangan Andar-Isnan. “Apakah ada permintaan secara lisan atau tertulis kepada Saudara agar berpihak kepada pemerintah daerah?” tanya Ketua Panel Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar. “Ada, camat, Yang Mulia,” jawab Junaidi.

Saksi lainnya, Kepala Desa (Kades) Huta Limbong Kecamatan Psp Tenggara, Nelson Gultom, menerangkan tentang instruksi Camat Psp Tenggara untuk memenangkan pasangan Andar-Isnan. Nelson bahkan mengaku mendapat intimidasi dan teror agar mengikuti arahan camat. “Akibat penekanan itu, apa yang Saudara lakukan?” tanya Akil Mochtar. “Saya harus mengikuti arahan camat,” jawab Nelson.

Selanjutnya Nelson dalam keterangannya mengaku menerima uang 30 juta rupiah dari Camat Psp Tenggara untuk diberikan kepada warga desa Huta Limbong agar memilih pasangan Andar-Isnan. “Untuk apa katanya duit itu?” tanya M. Akil Mochtar. “Untuk dibagikan kepada masyarakat untuk memenangkan Pasangan Nomor 3 (Andar Isnan),” jawab Nelson.

Keterlibatan camat dalam pemenangan pasangan Andar-Isnan juga diungkap oleh Kepala Desa Simasom Kecamatan Psp Angkola Julu, Umar Hanapi Siregar. “Saya diperintahkan Camat Padang Sidimpuan Angkola Julu untuk memenangkan Pasangan Nomor 3,” ungkap Umar. (Nur Rosihin Ana)

SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES

Selasa, 13 November 2012

Saksi Termohon: Pelaksanaan Pemilukada Kota Padang Sidempuan Sudah Maksimal


Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Padang Sidempuan selaku termohon dan pasangan Andar Amin Harahap dan Muhammad Isnandar (Andar-Isnan) selaku pihak terkait dalam perkara perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) Kota Padang Sidempuan, menghadirkan sejumlah saksi untuk didengar keterangannya di persidangan Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (13/11/2012) sore. Sidang kali ketiga untuk perkara 85/PHPU-D/2012 dengan agenda pembuktian ini dilaksanakan oleh panel hakim konstitusi M. Akil Mochtar (ketua panel), Muhammad Alim, dan Hamdan Zoelva.

Jonathan Siregar, salah seorang saksi yang dihadirkan KPU Kota Padang Sidempuan, menerangkan KPU Kota Padang Sidempuan sudah melaksanakan tahapan Pemilukada secara maksimal. Bahkan pemilih yang sudah terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), tapi tidak mendapatkan undangan, dia tetap bisa menggunakan hak pilihnya dengan menunjukkan identitas diri. “Seandainya di dalam daftar pemilih tetap undangan tidak sampai kepada yang bersangkutan, itu bisa memilih asalkan menunjukkan identitas diri,” terang Jonathan yang juga Ketua Umum Naposo Nauli Bulung Salumpat Saindege Kota Padang Sidempuan.

Saksi KPU Kota Padang Sidempuan lainnya Bangur Muda Ritonga (PPK Kecamatan Padang Sidempuan Angkola Julu). Bangur menerangkan proses rekapitulasi di Kecamatan Padang Sidempuan Angkola Julu yang terdiri dari 19 TPS dengan jumlah pemilih dalam DPT sebanyak 5.275. Rekap dilaksanakan pada 22 Oktober 2012 pukul 10.00 hingga pukul 14.00. “Berapa yang menggunakan hak pilih?” tanya Ketua Panel Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar. “4.125, Pak Hakim,” jawab Bangur. Sedangkan suara sah sejumlah 4.063 dan suara tidak sah 62. Ada yang mutasi enggak pemilihnya dari TPS lain?” tanya Akil. “Ada, empat orang, Pak Hakim,” jawab Bangur.

Selanjutnya Akil menanyakan mengenai kehadiran saksi pasangan calon dalam rekapitulasi di tingkat Kecamatan Padang Sidempuan Angkola Julu. Bangur menjelaskan rekapitulasi dihadiri oleh saksi pasangan calon nomor 3, nomor 4, nomor 6, dan Panwas Kecamatan. Sedangkan saksi pasangan calon nomor nomor 1 dan nomor 2 tidak hadir. Sedangkan saksi yang menandatangani formulir DA-1 hanya saksi pasangan nomor 3. Menurut keterangan Bangur, ketika proses rekap baru dimulai, para saksi yang tidak tanda tangan tersebut keluar meninggalkan ruang rapat.

Sedangkan hasil rekapitulasi di Kecamatan Padang Sidempuan Angkola Julu, pasangan nomor 4 meraih suara terbanyak sejumlah 1.882 suara. Peringkat kedua diraih pasangan nomor urut 3 dengan 1.629 suara. Peringkat ketiga ditempati pasangan nomor 6 dengan 402 suara.

Sementara itu, Endar Sakti Tanjung, anggota DPRD Kota Padang Sidempuan yang juga merupakan ketua tim sukses pemenangan pasangan Andar-Isnan dalam keterangannya menyatakan tidak pernah melibatkan PNS. “Pasangan Nomor 3, Yang Mulia, tidak pernah melibatkan pegawai negeri sipil ataupun struktural Pemerintah Kota Padang Sidempuan,” terang Endar seraya menambahkan, tim pemenangan pasangan Andar-Isnan, lanjut Endar, tidak pernah menginstruksikan koordinator di lapangan untuk melakukan money politics.

Sidang perselisihan hasil Pemilukada Kota Padang Sidempuan akan dibuka kembali pada Senin, 19 November 2012, jam 11.00 WIB. Namun sebelumnya, Ketua Pleno Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar berpesan agar para pihak menyerahkan bukti-bukti ke MK.

Untuk diketahui, perselisihan hasil Pemilukada Kota Padang Sidempuan ini diajukan oleh pasangan Dedi Jaminsyah Putra dan Affan Siregar (Dedi-Affan). Dedi-Affan mendalilkan Pemilukada Kota Padang Sidempuan diwarnai pelanggaran pelanggaran secara terstruktur, sistematis dan masif serta terjadi kecurangan dalam memenangkan pasangan Andar-Isnan. (Nur Rosihin Ana)

Putusan MK: BP Migas Bertentangan dengan UUD 1945



Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas). “Amar putusan, mengadili, menyatakan mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD saat sidang pengucapan putusan nomor 36/PUU-X/2012, Selasa (13/11/2012) pagi.  

Sebagian permohonan yang dikabulkan Mahkamah yaitu, Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Menyatakan frasa “dengan Badan Pelaksana” dalam Pasal 11 ayat (1), frasa “melalui Badan Pelaksana” dalam Pasal 20 ayat (3), frasa “berdasarkan pertimbangan dari Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 21 ayat (1), frasa “Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 49 UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Mahkamah lebih lanjut dalam amar putusan menyatakan seluruh hal yang berkait dengan Badan Pelaksana dalam Penjelasan UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kemudian fungsi dan tugas BP Migas dilaksanakan oleh Pemerintah, c.q. Kementerian terkait, sampai diundangkannya UU yang baru yang mengatur hal tersebut.

Eksistensi BP Migas

BP Migas adalah badan hukum milik negara yang secara khusus berdasarkan UU dibentuk oleh Pemerintah selaku pemegang Kuasa Pertambangan untuk melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi [vide Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3) UU Migas]. Kegiatan Usaha Hulu yang mencakup eksplorasi dan eksploitasi, dilaksanakan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap berdasarkan Kontrak Kerja Sama dengan Badan Pelaksana [vide Pasal 11 ayat (1) UU Migas].  BP Migas berfungsi melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap pelaksanaan Kontrak Kerja Sama Kegiatan Usaha Hulu agar pengambilan sumber daya alam Minyak dan Gas Bumi milik negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat [vide Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) UU Migas].

Untuk melaksanakan fungsi tersebut BP Migas bertugas: a) memberikan pertimbangan kepada Menteri atas kebijaksanaannya dalam hal penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerja Sama; b) melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama; c). mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan; d). Memberikan persetujuan rencana pengembangan lapangan selain sebagaimana dimaksud dalam huruf c; e) memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran; f). melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri mengenai pelaksanaan Kontrak Kerja Sama;  g).  menunjuk penjual Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi bagian negara yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara. [vide Pasal 44 ayat (3) UU Migas].

BP Migas merupakan organ pemerintah yang khusus, berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN) memiliki posisi strategis bertindak atas nama Pemerintah melakukan fungsi penguasaan negara atas Migas khususnya kegiatan hulu (ekplorasi dan eksploitasi), yaitu fungsi pengendalian dan pengawasan yang dimulai dari perencanaan, penandatangan kontrak dengan badan usaha, pengembangan wilayah kerja, persetujuan atas rencana kerja dan anggaran badan usaha, monitoring pelaksanaan kontrak kerja serta menunjuk penjual Migas bagian negara kepada badan hukum lain.

Konstruksi hubungan antara negara dan sumber daya alam Migas menurut UU Migas dilakukan oleh Pemerintah selaku pemegang Kuasa Pertambangan yang dilaksanakan oleh BP Migas. BP Migas melakukan fungsi penguasaan negara berupa tindakan pengendalian dan pengawasan atas pengelolaan Migas yang dilakukan oleh Badan Hukum yang dapat berupa BUMN, BUMD, Koperasi, usaha kecil atau badan hukum swasta maupun Bentuk Usaha Tetap. Hubungan antara BP Migas dan Badan Hukum atau Bentuk Usaha Tetap yang mengelola Migas dilakukan dalam bentuk Kontrak Kerja Sama (KKS) atau kontrak kerja sama lainnya dengan syarat minimal, yaitu: i) kepemilikan sumber daya alam di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan, ii) pengendalian manajemen operasi berada pada BP Migas, dan iii) modal dan resiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap (vide Pasal 6 UU Migas). Dari konstruksi hubungan yang demikian terdapat dua aspek penting yang harus diperhatikan. Pertama, Penguasaan negara atas Migas diselenggarakan oleh Pemerintah melalui BP Migas. Kedua, bentuk penguasaan negara terhadap Migas oleh BP Migas hanya sebatas tindakan pengendalian dan pengawasan.

Mahkamah lebih lanjut dalam pendapatnya menyatakan, pembentukan BP Migas dilatarbelakangi oleh kehendak untuk memisahkan antara badan yang melakukan regulasi atau badan yang membuat kebijakan dengan badan yang melakukan bisnis Migas yang kedua fungsi tersebut sebelumnya dilaksanakan oleh Pertamina. BP Migas diharapkan dapat fokus melaksanakan tujuan pengendalian kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi tanpa dibebani kewajiban untuk mencari keuntungan untuk diri sendiri, tetapi lebih fokus untuk kepentingan negara serta menghindari terjadinya pembebanan terhadap keuangan negara melalui APBN. Oleh karena itu, fungsi pengendalian dan pengawasan dalam kegiatan hulu Migas yang sebelumnya dilakukan oleh Pertamina dialihkan menjadi fungsi BP Migas selaku representasi Pemerintah sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan yang menyelenggarakan penguasaan negara atas sumber daya alam Migas. BP Migas adalah BHMN yang tidak merupakan institusi bisnis, melainkan institusi yang mengendalikan dan mengawasi bisnis Migas di sektor hulu. BP Migas oleh Pemerintah dimaksudkan sebagai ujung tombak bagi pemerintah agar secara langsung tidak terlibat bisnis Migas, sehingga Pemerintah tidak dihadapkan secara langsung dengan pelaku usaha.

Bentuk penguasaan tingkat pertama dan utama yang harus dilakukan oleh negara adalah Pemerintah melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam dalam hal ini Migas. BP Migas hanya melakukan fungsi pengendalian dan pengawasan atas pengelolaan Migas, dan tidak melakukan pengelolaan secara langsung, karena pengelolaan Migas pada sektor hulu baik eksplorasi maupun eksploitasi dilakukan oleh BUMN maupun badan usaha bukan milik negara berdasarkan prinsip persaingan usaha yang sehat, efisien, dan transparan.

Menurut Mahkamah, model hubungan antara BP Migas sebagai representasi negara dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dalam pengelolaan Migas mendegradasi makna penguasaan negara atas sumber daya alam Migas yang bertentangan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945. Walaupun UU Migas menentukan tiga syarat minimal dalam KKS, yakni i) kepemilikan sumber daya alam di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan, ii) pengendalian manajemen operasi berada pada BP Migas, dan iii) modal dan resiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, tetapi ketiga syarat minimal tersebut tidak serta merta berarti bahwa penguasaan negara dapat dilakukan dengan efektif untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Paling tidak hal itu terjadi, karena tiga hal, yaitu: Pertama, Pemerintah tidak dapat secara langsung melakukan pengelolaan atau menunjuk secara langsung badan usaha milik negara untuk mengelola seluruh wilayah kerja Migas dalam kegiatan usaha hulu; Kedua, setelah BP Migas menandatangani KKS, maka seketika itu pula negara terikat pada seluruh isi KKS, yang berarti, negara kehilangan kebebasannya untuk melakukan regulasi atau kebijakan yang bertentangan dengan isi KKS; Ketiga, tidak maksimalnya keuntungan negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, karena adanya potensi penguasaan Migas keuntungan besar oleh Bentuk Hukum Tetap atau Badan Hukum Swasta yang dilakukan berdasarkan prinsip persaingan usaha yang sehat, wajar dan transparan.

Konstruksi yang Inkonstitusional

Konstruksi penguasaan Migas melalui BP Migas dalam UU Migas menyebabkan negara kehilangan kewenangannya untuk melakukan pengelolaan atau menunjuk secara langsung BUMN untuk mengelola sumber daya alam Migas. Padahal fungsi pengelolaan adalah bentuk penguasaan negara pada peringkat pertama dan paling utama untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Konstruksi keberadaan BP Migas menurut UU Migas menurut Mahkamah, bertentangan dengan konstitusi yang menghendaki penguasaan negara yang membawa manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat, yang seharusnya mengutamakan penguasaan negara pada peringkat pertama yaitu melakukan pengelolaan terhadap sumber daya alam Migas yang membawa kuntungan lebih besar bagi rakyat. Menurut Mahkamah, pengelolaan secara langsung oleh negara atau oleh badan usaha yang dimiliki oleh negara adalah yang dikehendaki oleh Pasal 33 UUD 1945. Hanya dalam batas-batas negara tidak memiliki kemampuan atau kekurangan kemampuan baik dalam modal, teknologi dan manajemen untuk mengelola sumber daya alam Migas, maka pengelolaan sumber daya alam dapat diserahkan kepada badan swasta.

Untuk mengembalikan posisi negara dalam hubungannya dengan sumber daya alam Migas, negara/pemerintah tidak dapat dibatasi tugas dan kewenangannya pada fungsi pengendalian dan pengawasan semata tetapi juga mempunyai fungsi pengelolaan. Menurut Mahkamah, pemisahan antara badan yang melakukan fungsi regulasi dan pembuatan kebijakan dengan lembaga yang melakukan pengelolaan dan bisnis Migas secara langsung, mengakibatkan terdegradasinya penguasaan negara atas sumber daya alam Migas. Walaupun terdapat prioritas pengelolaan Migas diserahkan kepada BUMN sebagaimana telah menjadi pendirian Mahkamah dalam putusan Nomor 002/PUU-I/2003 tanggal 21 Desember 2004, efektivitas penguasaan negara justru menjadi nyata apabila Pemerintah secara langsung memegang fungsi regulasi dan kebijakan (policy) tanpa ditambahi dengan birokrasi dengan pembentukan BP Migas.

Dalam posisi demikian, Pemerintah memiliki keleluasaan membuat regulasi, kebijakan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan atas sumber daya alam Migas. Dalam menjalankan penguasan negara atas sumber daya alam Migas, Pemerintah melakukan tindakan pengurusan atas sumber daya alam Migas dengan memberikan konsesi kepada satu atau beberapa BUMN untuk mengelola kegiatan usaha Migas pada sektor hulu. BUMN itulah yang akan melakukan KKS dengan BUMD, Koperasi, Usaha Kecil, badan hukum swasta, atau Bentuk Usaha Tetap. Dengan model seperti itu, seluruh aspek penguasaan negara yang menjadi amanat Pasal 33 UUD 1945 terlaksana dengan nyata.

Potensi Inefisiensi

Setiap pembentukan organisasi negara dan semua unitnya harus disusun berdasar rasionalitas birokrasi yang efisien dan tidak menimbulkan peluang inefisiensi dan penyalahgunaan kekuasaan. Keberadaan BP Migas sangat berpotensi untuk terjadinya inefisiensi dan diduga, dalam praktiknya, telah membuka peluang bagi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan maka menurut Mahkamah keberadaan BP Migas tersebut tidak konstitusional, bertentangan dengan tujuan negara tentang pengelolaan sumber daya alam dalam pengorganisasian pemerintahan.

Sekiranya pun dikatakan bahwa belum ada bukti bahwa BP Migas telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan, maka cukuplah alasan untuk menyatakan bahwa keberadaan BP Migas inkonstitusional karena berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007, sesuatu  yang berpotensi melanggar konstitusi pun bisa diputus oleh Mahkamah sebagai perkara konstitusionalitas.

Jika diasumsikan kewenangan BP Migas dikembalikan ke unit pemerintahan atau kementerian yang terkait tetapi juga masih potensial terjadi inefisiensi, maka hal itu tidak mengurangi keyakinan Mahkamah untuk memutuskan pengembalian pengelolaan sumber daya alam ke Pemerintah karena dengan adanya putusan Mahkamah ini, justru harus menjadi momentum bagi pembentuk UU untuk melakukan penataan kembali dengan mengedepankan efisiensi yang berkeadilan dan mengurangi proliferasi organisasi pemerintahan. Dengan putusan Mahkamah yang demikian maka Pemerintah dapat segera memulai penataan ulang pengelolaan sumber daya alam berupa Migas dengan berpijak pada “penguasaan oleh negara” yang berorientasi penuh pada upaya “manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat” dengan organisasi yang efisien dan di bawah kendali langsung Pemerintah. Berdasarkan hal-hal tersebut maka dalil para Pemohon sepanjang mengenai BP Migas beralasan hukum.

Meskipun para Pemohon hanya mengujikan Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), dan Pasal 44 UU Migas tetapi oleh karena putusan Mahkamah ini menyangkut eksistensi BP Migas yang dalam UU Migas diatur juga dalam berbagai pasal yang lain, maka Mahkamah tidak bisa lain kecuali harus juga menyatakan pasal-pasal yang mengatur tentang “Badan Pelaksana” dalam pasal-pasal, yaitu frasa “dengan Badan Pelaksana” dalam Pasal 11 ayat (1), frasa “melalui Badan Pelaksana” dalam Pasal 20 ayat (3), frasa “berdasarkan pertimbangan dari Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 21 ayat (1), Pasal 41 ayat (2), Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), frasa “Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 49, Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63, serta seluruh frasa Badan Pelaksana dalam Penjelasan adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Akibat Hukum

Putusan Mahkamah menyangkut status hukum BP Migas dalam UU Migas menimbulkan akibat hukum. Mahkamah perlu menentukan akibat hukum yang timbul setelah putusan ini diucapkan dengan pertimbangan bahwa putusan yang diambil oleh Mahkamah jangan sampai menimbulkan ketidakpastian hukum yang dapat mengakibatkan kekacauan dalam kegiatan usaha Migas.

Apabila keberadaan BP Migas secara serta merta dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan pada saat yang sama juga dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka pelaksanaan kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang sedang berjalan menjadi terganggu atau terhambat karena kehilangan dasar hukum. Hal demikian dapat menyebabkan kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang tidak dikehendaki oleh UUD 1945. Oleh karena itu, Mahkamah harus mempertimbangkan perlunya kepastian hukum organ negara yang melaksanakan fungsi dan tugas BP Migas sampai terbentuknya aturan yang baru;

Mahkamah memandang perlu untuk menegaskan akibat hukum dari putusan ini. Bahwa berdasar Pasal 47 UU MK yang menyatakan, “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum” maka putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan berlaku secara prospektif. Dengan demikian segala KKS yang telah ditandatangani antara BP Migas dan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, harus tetap berlaku sampai masa berlakunya berakhir atau pada masa yang lain sesuai dengan kesepakatan.

Untuk mengisi kekosongan hukum karena tidak adanya lagi BP Migas maka Mahkamah perlu menegaskan organ negara yang akan melaksanakan fungsi dan tugas BP Migas sampai terbentuknya aturan yang baru. Menurut Mahkamah, fungsi dan tugas tersebut harus dilaksanakan oleh Pemerintah selaku pemegang kuasa pertambangan dalam hal ini Kementerian yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam bidang Migas. Segala hak serta kewenangan BP Migas dalam KKS setelah putusan ini, dilaksanakan oleh Pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Sidang pengucapan putusan digelar oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD (Ketua Pleno), Achmad Sodiki, Harjono, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, dan Ahmad Fadlil Sumadi. Hakim Konstitusi Harjono dalam putusan ini mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion).

Pengujian materi UU Migas dimohonkan oleh sejumlah organisasi massa (Ormas) dan sejumlah tokoh nasional (perorangan). Ormas dimaksud yaitu Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Lajnah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia, Pimpinan Pusat Persatuan Ummat Islam, Pimpinan Pusat Syarikat Islam Indonesia, Pimpinan Pusat/Lajnah Tanfidziyah Syarikat Islam, Pimpinan Pusat Persaudaraan Muslimin Indonesia, Pimpinan Pusat Al-Irsyad Al-Islamiyah, Pimpinan Besar Pemuda Muslimin Indonesia, Al Jami’yatul Washliyah, Solidaritas Juru Parkir, Pedagang Kaki Lima, Pengusaha, dan Karyawan (SOJUPEK). Kemudian pemohon perorangan yaitu K.H. Achmad Hasyim Muzadi, H. Amidhan, Komaruddin Hidayat, Eggi Sudjana, Marwan Batubara, Fahmi Idris, Moch. Iqbal Sullam, H. Ichwan Sam, H. Salahuddin Wahid, Nirmala Chandra Dewi M, HM. Ali Karim OEI, Adhie M. Massardi, Ali Mochtar Ngabalin, Hendri Yosodiningrat, Laode Ida, Sruni Handayani, Juniwati T. Maschun S, Nuraiman, Sultana Saleh, Marlis, Fauziah Silvia Thalib, King Faisal Sulaiman, Soerasa, Mohammad Hatta, M. Sabil Raun, Edy Kuscahyanto, Yudha Ilham, Joko Wahono, Dwi Saputro Nugroho, A.M Fatwa, Hj. Elly Zanibar Madjid, dan Jamilah. (Nur Rosihin Ana)

Putusan inkonstitusionalitas BP Migas bisa diunduh di sini 


SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES


Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More