Rabu, 30 Desember 2009

Cara Penetapan Kursi DPRD Provinsi Tidak Mengandung Diskriminasi

Ikhtisar Putusan Nomor 130/PUU-VII/2009
 
Pemohon:
Habel Rumbiak.
Pokok Perkara:
Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Norma yang diuji:
Pasal 205 dan Pasal 211 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008.
Norma UUD 1945 sebagai penguji:
Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1) dan Ayat (3) serta Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945
Amar Putusan:
Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
Tanggal Putusan:
30 Desember 2009

Ikthtisar:
Pemohon Habel Rumbiak adalah perseorangan warga negara Indonesia, calon anggota legislatif (caleg) DPRD Provinsi Papua, yang tercatat dalam daftar calon tetap (DCT) dengan nomor urutan 1 (satu) dari Partai Demokrat Provinsi Papua untuk daerah pemilihan (Dapil) 6 (enam) pada Pemilu Legislatif tanggal 9 April 2009.
Pemohon mendalilkan dan menganggap hak konstitusional yang diberikan oleh Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1) dan Ayat (3) serta Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya Pasal 205 dan Pasal 211 UU Nomor 10 Tahun 2008.
Menurut Pemohon, cara penetapan kursi DPRD Provinsi yang melalui 2 (dua) tahap sebagaimana dalam ketentuan Pasal 211 UU a quo bersifat dualisme, diskriminatif dan tidak adil, dibandingkan dengan cara pembagian kursi DPR yang dilakukan melalui 3 (tiga) tahap sebagaimana disebutkan dalam Pasal 205 UU a quo. Hal ini bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” dan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Mengenai suara terbanyak partai sebagai dasar penetapan calon terpilih, menurut Pemohon, hal ini mengabaikan suara terbanyak yang diraih Pemohon serta mengabaikan adagium vox Populi vox Dei ‘suara rakyat suara Tuhan’, yang dijamin pula oleh Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.
Kemudian mengenai alasan penetapan calon dilakukan dengan cara yang menimbulkan deviasi paling kecil sebagaimana Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008, penetapan calon bagi Pemohon tidak sejalan dengan Putusan MK a quo karena faktanya Pemohon sebagai peraih suara terbanyak tidak ditetapkan sebagai calon terpilih, sebaliknya calon dengan peraih suara minimal dapat ditetapkan sebagai calon terpilih.
Berdasarkan dalil-dalil Pemohon beserta alat bukti surat dan keterangan Pemohon, Mahkamah terlebih dahulu mengemukakan, sebelum dilakukannya penghitungan perolehan kursi partai-partai politik untuk DPR, terlebih dahulu dipastikan apakah partai yang bersangkutan memenuhi Pasal 202 UU 10/2008, yaitu memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima per seratus) dari jumlah suara sah secara nasional. Hal ini tidak dilakukan dalam penghitungan perolehan kursi bagi anggota DPRD Provinsi.
Mahkamah juga mengatakan, anggota DPR dipilih secara nasional artinya mewakili rakyat yang lingkupnya nasional, tidak sama dengan Anggota DPRD Provinsi yang mewakili rakyat daerah/provinsi yang bersangkutan.
Berdasarkan perbedaan tersebut di atas, maka berlaku asas keadilan yaitu hal yang sama diperlakukan sama, dan hal yang berbeda diperlakukan berbeda. Ketentuan hukum dalam Pasal 205 dan Pasal 211 UU 10/2008 untuk penetapan perolehan kursi Partai Politik, menurut Mahkamah tidak mengandung diskriminasi sebagaimana didalilkan Pemohon. Sebab ketentuan tersebut mengatur hal yang berbeda yang harus diperlakukan berbeda, yakni ketentuan tentang perolehan kursi bagi calon anggota DPR.
Pemohon tidak diperlakukan diskriminatif karena Pasal 205 dan Pasal 211 a quo berlaku untuk semua orang baik yang mencalonkan diri sebagai Anggota DPRD Provinsi maupun Anggota DPR. Sebab pengertian diskriminasi menurut Pasal 1 ayat (3) UU 39/1999 maupun Pasal 2 International Convenant on Civil and Political Rights, yaitu sepanjang pembedaan yang dilakukan tidak didasarkan atas agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik.
Oleh karena itu, cara penetapan calon terpilih menjadi anggota DPRD Provinsi maupun DPR demikian tidak dapat dipandang bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945, karena hal demikian merupakan kebijakan (legal policy) yang tidak dapat diuji (judicial review) kecuali dilakukan secara sewenang-wenang (willekeur) dan melampau kewenangan pembuat Undang-Undang (detournement de pouvoir). Dengan demikian dalil Pemohon tidak beralasan hukum.
Sesuai dengan Pasal 1 angka 23 UU 10/2008 yang menyatakan peserta Pemilu Anggota DPRD Provinsi adalah Partai Politik, dan bukannya perseorangan sebagaimana Pemilihan Anggota DPD atau Presiden dan Wakil Presiden. Di samping itu perolehan kursi setelah melalui penghitungan bilangan pembagi pemilih (BPP) adalah dengan mengumpulkan seluruh sisa suara dari partai masing-masing, untuk menentukan partai mana yang suaranya paling banyak sehingga dapat ditentukan kemudian siapa yang berhak terhadap sisa kursi setelah penghitungan tahap pertama. Anggota yang terpilih adalah anggota yang mewakili rakyat di provinsi yang bersangkutan, bukan hanya mewakili rakyat di dapil tertentu dalam provinsi tersebut.
Hal ini memungkinkan seseorang memperoleh suara lebih besar di dapil tertentu dibandingkan dengan calon daerah lain di daerah yang sama, tetapi secara keseluruhan (setelah dihitung jumlah sisa suara partai-partai dari seluruh daerah dalam satu provinsi) perolehan suara partainya lebih kecil dibandingkan dengan calon lain dari partai lain, ia terpaksa tidak terpilih. Dengan demikian, perolehan kursi yang diukur dari jumlah suara terbanyak partai secara berurutan dari seluruh dapil menentukan perolehan kursi seseorang calon legislatif DPR.
Mengenai Dalil Pemohon bahwa hal demikian bertentangan dengan adagium vox Populi vox Dei, menurut Mahkamah, dalil tersebut tidak relevan karena suara rakyat dari seluruh dapil lebih tercermin dalam perwakilan legislatif daripada suara rakyat hanya dari satu dapil. Pengaitan dalil Pemohon dengan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, juga tidak relevan, karena Pemohon tidak dikurangi haknya untuk berkumpul, berserikat dan menyatakan pendapat.
Kemudian dalil Pemohon mengenai penetapan calon sebagaimana Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008, juga tidak relevan, karena Pemohon melihatnya hanya dari daerah pemilihan Pemohon saja, bukan dari keseluruhan daerah pemilihan dari provinsi yang bersangkutan.
Mahkamah tidak berwenang untuk menyatakan bahwa antara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 211 UU 10/2008 ditambahkan satu sub ayat yang mengatur tentang penetapan kursi DPRD Provinsi tahap kedua, yakni cara 50% suara BPP dan selanjutnya sisa suara sebagai cara penetapan tahap ketiga (petitum nomor 6), sebagaimana permohonan Pemohon.
Mahkamah menganggap Pemohon tidak konsisten dan berlebihan karena dalam petitumnya Pemohon mohon agar Pasal 205 dan Pasal 211 UU 10/2008 dianggap bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (3) dan 28I Ayat (2) UUD 1945. Tetapi dalam positanya Pemohon sama sekali tidak menyinggung dan memberikan alasannya, oleh karenanya Mahkamah menilai tidak beralasan hukum.
Akhirnya, dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. (Nur Rosihin Ana)

Selasa, 24 November 2009

Uji UU Pembentukan Kab. Maybrat Tidak Dapat Diterima Karena Pemohon Tak Miliki Kedudukan Hukum

Ikhtisar Putusan Nomor 18/PUU-VII/2009

Pemohon:
1.     Sadrak Moso;
2.     Yerimias Nauw;
3.     Martinus Yumame;
4.     Izaskar Jitmau;
5.     Willem. NAA.
Pokok Perkara:
Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2009 tentang Pembentukan Kabupaten Maybrat di Provinsi Papua Barat.
Norma yang diuji:
Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2009.
Norma UUD 1945 sebagai penguji:
Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945.
Amar Putusan:
Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima.
Tanggal Putusan:
24 November 2009


Ikthtisar Putusan
Para Pemohon menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya Pasal 7 UU 13/2009 tentang Pembentukan Kabupaten Maybrat di Provinsi Papua Barat, yang menyatakan: “Ibukota Kabupaten Maybrat berkedudukan di Kumurkek Distrik Aifat”. Pemohon mendalilkan, berlakunya Pasal 7 UU aquo mengabaikan aspirasi masyarakat Maybrat dan tidak menghormati hukum adat masyarakat Maybrat beserta hak-hak tradisionalnya yang masih hidup dan sesuai dengan prinsip NKRI sebagaimana amanat Pasal 18B UUD 1945.
Menurut Pemohon, Kampung Kumurkek sebagai ibukota letaknya jauh dan sulit dijangkau oleh masyarakat, serta belum memiliki sarana dan prasarana yang menunjang kelancaran pemerintahan. Berlakunya pasal 7 UU aquo tidak memenuhi rasa keadilan, menciptakan kesenjangan pada hampir semua sektor kehidupan, terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, kebudayaan dan sosial politik, pelanggaran HAM. Hal ini bisa memicu berbagai bentuk kekecewaan dan ketidakpuasan dan berdampak terjadinya konflik kesukuan yang mengancam keamanan.
Di samping itu, Pemohon juga mendalilkan, berlakunya pasal 7 UU aquo bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 018/PUU-I/2003 tanggal 11 November 2004, dan bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
Dalam putusan, Mahkamah berpendapat, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas baik dalam proses pembentukan maupun substansi pada Pasal 7 UU 13/2009. Sedangkan mengenai dalil kerugian konstitusional para Pemohon setelah diberlakukannya Pasal 7 Undang-Undang a quo adalah letak Kumurkek yang sulit dijangkau sehingga pelayanan pemerintahan tidak efektif, tidak dipenuhinya rasa keadilan, terpecahnya ikatan persatuan, dan timbulnya konflik kesukuan, Mahkamah berpendapat bahwa hal demikian bukan merupakan kerugian konstitusional sebagaimana dimaksud oleh Pasal 51 ayat (1) UU MK dan juga bukan merupakan pelanggaran terhadap UUD 1945 khususnya Pasal 28H ayat (1).
Mengenai kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon, Mahkamah berpendapat, para Pemohon tidak memiliki legal standing untuk bertindak selaku Pemohon dalam permohonan a quo. Oleh karena itu,  terhadap pokok permohonan para Pemohon tidak perlu dipertimbangkan. Terlepas dari tidak terpenuhinya legal standing para Pemohon, Mahkamah menyarankan agar penentuan Ibukota Kabupaten Maybrat dimusyawarahkan kembali oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Maybrat, Bupati Kepala Daerah Kabupaten Maybrat, dan tokoh-tokoh masyarakat setempat.
Berdasarkan pertimbangan atas fakta dan hukum di atas, dalam amar putusan Mahkamah menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima. (Nur Rosihin Ana).

Senin, 14 September 2009

Capres Independen Kembali Ditolak

Ikhtisar Putusan Nomor 26/PUU-VII/2009

Pemohon: Sri Sudarjo.
Jenis Perkara:   Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pokok Perkara     : Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Pasal 1 angka (2), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), serta Pasal 14 ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Tanggal Registrasi: 13 April 2008.
Tanggal Putusan   : 14 September 2009.
Amar putusan      :
-  Menyatakan Permohonan Pemohon terhadap Pasal 8 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924) tidak dapat diterima.
-   Menolak Permohonan Pemohon selebihnya.


IKHTISAR
Mahkamah Konstitusi (MK) dalam amar putusannya menyatakan permohonan Pemohon terhadap Pasal 8 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diterima dan menolak permohonan Pemohon selebihnya. Demikian amar putusan untuk perkara Nomor 26/PUU-VII/2009 yang diajukan oleh Sri Sudarjo.
Pemohon (Sri Sudarjo) sebagai warga negara RI dirugikan hak konstitusionalnya dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (selanjutnya disebut UU 42/2008). Pemohon mendalilkan bahwa Ketentuan muatan UU 42/2008 Pasal 1 ayat (2), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2), ayat (4), ayat (5), Pasal 28J ayat (1), karena telah berakibat merugikan hak konstitusional Pemohon yang hendak mencalonkan diri sebagai Presiden Republik Indonesia melalui jalur independen yang dijamin oleh Pancasila dan UUD 1945.

Di samping itu, materi muatan pasal UU 42/2008 a quo mempunyai penafsiran ganda dalam penerapan hukum, tidak memberikan kepastian hukum, sehingga jelas bertentangan dengan maksud dan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Negara Indonesia adalah negara hukum. Oleh karena itu, Pasal 1 ayat (2), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan Pasal 14 ayat (2) secara tekstual dan kontekstual bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2), Pasal 1 ayat (2), ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), ayat (3), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan Pasal 28J ayat (1) UUD 1945, serta terbukti mengakibatkan kerugian hak konstitusional Pemohon yang disebut di atas.

Mengenai legal standing Pemohon, Mahkamah berpendapat Pemohon dalam permohonannya mengkualifikasikan dirinya sebagai warga negara RI yang dirugikan hak konstitusionalnya oleh berlakunya pasal-pasal dalam  UU 42/2008 a quo. Namun pada persidangan tanggal 7 Mei 2009, Pemohon telah merevisi kedudukan hukumnya tidak lagi sebagai warga negara Indonesia, melainkan sebagai Presiden Lembaga Dewan Nasional Komite Pemerintahan Rakyat Independen berdasarkan Akta Notaris Herman Eddy, S.H., tanggal 30 Desember 2008 Nomor 34. Pemohon melihat independen tidak dalam bentuk privat, tetapi melihat independen sebagai sikap politik wadah kolegial (sic).

Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 5 Akta Pendirian Lembaga Komite Pemerintahan Rakyat Independen Nomor 34 pada huruf d dan huruf e pada pokoknya menyatakan bahwa Maksud dan Tujuan Lembaga ini adalah untuk memperjuangkan hak politik rakyat yang berkeadilan menuju masyarakat adil dan makmur, dan membangun “independensi politikal rakyat” dan “politikal rakyat independen”. Lembaga Komite Pemerintahan Rakyat Independen yang dibentuk dengan akta Notaris tersebut dimaksudkan untuk memperoleh status sebagai satu badan hukum perdata. Akan tetapi dari alat-alat bukti yang diajukan, tidak ternyata bahwa badan hukum tersebut telah memperoleh pengesahan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, sehingga oleh karenanya menurut Mahkamah, Pemohon belum dapat dikualifikasikan sebagai badan hukum, akan tetapi dapat dikualifikasikan sebagai perorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama.

Berdasar Putusan MK Sebelumnya

Terhadap pasal-pasal dalam UU 42 Tahun 2008 yang dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon adalah menyangkut pasal-pasal yang telah diuji dan diputus oleh Mahkamah dalam putusan-putusan sebelumnya, yaitu, Putusan Nomor 054/PUU-II/2004 dan Nomor 057/PUU-II/2004 masing-masing bertanggal 6 Oktober 2004, Putusan Nomor 56/PUU-VI/2008 tanggal 17 Februari 2008, dan Putusan Nomor 51-52-59/PUU/2008 bertanggal 18 Februari 2009.

Terhadap Pasal 8 dan Pasal 9 UU 42/2008 a quo, yang dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon, dengan alasan-alasan yang tidak berbeda dengan alasan dan dasar konstitusionalitas yang diajukan dalam 6 (enam) perkara secara keseluruhan yang telah diperiksa dan diputus oleh Mahkamah sebelumnya, maka Mahkamah tidak dapat lagi menguji pasal-pasal tersebut.
Berdasarkan Pasal 60 UU MK dan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005, maka terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji oleh Mahkamah, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali, kecuali jika diajukan dengan alasanalasan konstitusionalitas yang berbeda. Mahkamah berpendapat bahwa alasan yang diajukan oleh Pemohon dalam pengujian materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian undang-undang yang diuji, terutama pengujian terhadap Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2), ayat (4), ayat (5) dan Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 yang dijadikan sebagai dasar pengujian tidak berbeda, sehingga oleh karenanya Mahkamah harus menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima;

Permohonan Ditolak

Khusus terhadap Pasal 1 angka 2 dan Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) serta Pasal 14 ayat (2) UU 42/2008, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
1. Pasal 1 angka 2 UU 42/2008, merupakan bagian dari ketentuan umum yang menguraikan pengertian atau definisi operasional, yang dimaksudkan agar batas pengertian atau definisi, singkatan atau akronim yang berfungsi menjelaskan makna suatu kata atau istilah yang harus dirumuskan sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda. Permohonan yang mempersoalkan batasan pengertian, singkatan atau hal-hal lain yang bersifat umum, yang dijadikan dasar bagi pasal-pasal berikutnya dalam Undang-Undang a quo, sangat tidak beralasan.
2.  Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU 42/2008 yang juga dimohonkan diuji mengatur tentang mekanisme internal Partai Politik dalam pemilihan dan pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum, sama sekali tidak memiliki masalah konstitusionalitas yang harus dipersoalkan dan alasan yang diajukan sepanjang mengenai pengujian Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU 42/2008 tersebut tidak berdasar hukum;
3.  Pasal 14 ayat (2) UU 42/2008 yang hanya menentukan tenggang waktu untuk pendaftaran Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden, merupakan pilihan pembentuk undang-undang yang menjadi kewenangannya sehingga materinya tidak dapat dimintakan pengujian. Berdasarkan ketiga alasan tersebut maka permohonan Pemohon sepanjang mengenai Pasal 1 angka 2, Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), serta Pasal 14 ayat (2) UU 42/2008 harus dinyatakan ditolak.
Selanjutnya Mahkamah berpendapat alasan-alasan permohonan tentang usul perubahan pasal-pasal, menurut Mahkamah tidak rasional sehingga tidak berdasar hukum untuk dipertimbangkan. (Nur Rosihin Ana).

Rabu, 22 Juli 2009

Pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Ikhtisar Putusan Nomor 7/PUU-VII/2009

Pemohon:
Rizal Ramli.
Jenis Perkara:
Pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pokok Perkara:
Permohonan pembatalan Pasal 160 KUHP tentang penghasutan karena bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
Tanggal Registrasi: 
2 Februari 2009.
Tanggal Putusan:
22 Juli 2009.
Amar putusan:
Menyatakan permohonan Pemohon ditolak.


Ikhtisar Putusan
Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak permohonan yang diajukan oleh Rizal Ramli. Demikian amar putusan untuk perkara Nomor 7/PUU-VII/2009.
Pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia berpendapat bahwa pemberlakuan Pasal 160 KUHP tentang penghasutan, bertentangan dan/atau tidak sesuai dengan amanat konstitusi sebagaimana yang dimaksud Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.

Menurut Pemohon, hak dan kewenangan konstitusional yang dimiliki oleh Pemohon selaku pribadi atau perorangan warga negara, sebagaimana dinyatakan dalam UUD 1945 meliputi hak-hak asasi manusia yang pada umumnya serta khususnya hak menyampaikan pendapat dan pikiran, baik lisan maupun tulisan, dengan masih berlakunya Pasal 160 KUHP hak konstitusional Pemohon telah dirugikan, karena pihak Penyidik Polri yang telah menjadikan Pemohon sebagai tersangka dengan dasar Pasal 160 KUHP tersebut berdasarkan kebebasan berpendapat dalam mengeluarkan pikiran baik lisan maupun tulisan yang dilakukan oleh Pemohon dalam kedudukannya sebagai Ketua Umum Komite Bangkit Indonesia (KBI). Di samping itu, tidak ada perintah langsung dari Pemohon dan/atau hasutan yang menggerakkan pihak lain untuk melakukan tindakan yang melanggar undang-undang

Oleh karenanya penerapan Pasal 160 KUHP sudah tidak tepat lagi dipergunakan dalam iklim demokrasi di Indonesia saat ini, sehingga telah memposisikan Pemohon sebagai korban dan dijadikan tersangka dalam suatu perkara pidana. Dengan diberlakukannya Pasal 160 KUHP sebagai aktivis dan politisi ruang gerak Pemohon dalam mengeluarkan pendapat, mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada rakyat serta mengembangkan kreativitas dalam rangka mencerdaskan bangsa dan berwawasan luas menjadi sangat terbatas.

Dengan diberlakukannya Pasal 160 KUHP kemudian diterapkan kepada Pemohon yang saat ini statusnya sebagai tersangka dan mungkin saja berkembang statusnya menjadi terdakwa, terlepas terbukti atau tidak terbukti di hadapan persidangan kelak, adalah nyata-nyata merupakan pembunuhan karakter terhadap diri Pemohon sekaligus pembunuhan karir politik Pemohon.

Pemberlakuan Pasal 160 KUHP memudahkan penguasa dalam hal ini pemerintahan SBY-JK untuk membungkam lawan-lawan politiknya, apalagi saat ini Pemohon sedang mempersiapkan diri untuk maju sebagai kandidat calon Presdien Republik Indonesia periode 2009-2014 yang didukung oleh beberapa partai politik peserta Pemilu 2009.

Penggunaan Pasal 160 KUHP terhadap diri Pemohon juga telah mengekang hak-hak Pemohon dalam menyampaikan pendapat, berserikat dan berkumpul yang jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28C ayat (2) Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945;

Selain bertentangan dengan amanat konstitusi sebagaimana yang telah diuraikan di atas, hak-hak konstitusional Pemohon juga dijamin dan ditegaskan dalam ketentuan Pasal 23, Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).

Pasal 160 KUHP juga dapat mereduksi ketentuan-ketentuan yang mengatur adanya jaminan dan pengakuan kebebasan setiap orang atau warga negara dalam menyampaikan pendapat, baik secara lisan maupun tulisan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998, tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, yang pada pokoknya menyebutkan sebagai berikut: Pasal 2 ayat (1), “Setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Pasal 5, “Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berhak untuk: a. mengeluarkan pikiran secara bebas; b. memperoleh perlindungan hukum

Dapat Disalahgunakan Penguasa
Menurut Pemohon, Pasal 160 KUHP dapat disalahgunakan oleh penguasa karena pasal tersebut bersifat lentur, subjektif, dan sangat tergantung interpretasi penguasa. Sebagai akibat dari adanya interpretasi secara sewenang-wenang oleh penguasa dan aparat hukum maka perbuatan tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan dapat melanggar hak asasi Pemohon. Kualifikasi delik pidana yang dirumuskan dalam Pasal 160 KUHP adalah delik formal (Prof. dr. Wiryono Prodjodikoro,S.H. Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika, halaman: 51) yang hanya dipersyaratkan terpenuhinya unsur perbuatan yang dilarang (strafbare handeling) tanpa mengakibatkan akibat dari suatu perbuatan. Akibatnya rumusan pasal pidana tersebut menimbulkan kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan karena secara mudah dapat ditafsirkan menurut selera penguasa.

Seorang warga negara yang bermaksud menyampaikan kritik atau pendapat terhadap pemerintah, dimana hal itu merupakan hak konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945, akan mudah dikualifikasi oleh penguasa sebagai menghasut di muka umum untuk mendorong, mengajak, membangkitkan atau membakar semangat orang untuk melawan kekuasaan pemerintah, sebagai akibat tidak adanya kriteria yang jelas dalam rumusan Pasal 160 KUHP tentang apa yang dimaksud dengan menghasut;

Pasal 160 KUHP merupakan “pasal karet” (haatzai artikelen) yang masih berlaku, dimana pasal tersebut tidak secara pasti perbuatan apa yang dikualifikasikan sebagai pasal penghasut baik berupa lisan maupun tulisan yang mengkritisi kebijakan penguasa dalam hal ini kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan keinginan rakyat;

Seperti diketahui, KUHP Indonesia merupakan saduran dari Wetboek van Strafrecht Nederland (W.v.S./Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda) yang juga diberlakukan di negara jajahan yang bersifat kolonial dalam arti sangat menguntungkan kepentingan penjajah, oleh karena itulah sengaja dibuat rumusan yang sangat luas sehingga karena luasnya dapat membias kemana-mana dikenal sebagai salah satu pasal karet. Masih banyak pasal-pasal yang merupakan warisan Pemeirntah Kolonial yang dirumuskan dan diatur dalam KUHP tentunya sudah tidak sesuai lagi di alam kemerdekaan, era demokrasi dan era reformasi saat ini;

Rumusan Pasal 160 KUHP tersebut oleh banyak kalangan dianggap sebagai pasal karet yang dapat digunakan kapan saja oleh penguasa untuk membungkam lawan-lawan politiknya, untuk itu lebih baik pasal tersebut dicabut atau dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan diganti kelak dalam RUU KUHP dengan rumusan yang tegas, jelas dan lengkap agar ada kepastian hokum sehingga dapat menjamin hak-hak konstitusional setiap warga Negara dalam melakukan hak kebebasan berbicara, berpendapat, berkumpul dan berserikat yang bertujuan menciptakan keadilan dan kemakmuran sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945;

Pasal 160 KUHP dapat berdampak merusak nilai-nilai demokrasi dan HAM dengan mencederai kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat sehingga mengakibatkan kerugian terhadap masyarakat yang menuntut kesejahterannya;

Pasal 160 KUHP juga dapat menghambat setiap orang untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. Pasal 160 KUHP tidak sejalan dengan amanat reformasi saat ini yang digulirkan sejak 10 tahun yang lalu yang menuntut adanya kebebasan berpendapat di depan umum.

Penjelasan Pasal 160 KUHP yang mengartikan pasal penghasutan adalah baik perbuatan lisan atau tulisan yang dilakukan seorang terhadap penguasa sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat di alam demokrasi yang saat ini sedang berkembang, dengan kata lain pasal ini dianggap sudah tidak sesuai dengan iklim demokrasi dan perkembangan masyarakat Indonesia pada saat ini yang semakin maju dan kritis.

Oleh karena itu sudah selayaknya Pasal 160 KUHP dicabut dan/atau dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat karena bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia yang tidak sesuai dengan amanat konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, adalah sangat beralasan hukum bagi Pemohon untuk memohon kepada Majelis Hakim MK sebagai yang berwenang mengadili/menguji undang-undang terhadap UUD 1945 dan sebagai penafsir tunggal dan tertinggi terhadap penegakan UUD 1945 berdasarkan Pasal 24C UUD 1945 junctis Pasal 10 ayat (1), Pasal 45, Pasal 51 ayat (1) UU MK berkenan untuk memeriksa, mengadili dan memutus permohonan Pemohon yang amarnya mengabulkan permohonan uji materil yang diajukan Pemohon untuk, dan menyatakan bahwa ketentuan Pasal 160 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28E ayat (2) dan (3), Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.

Di samping itu, Pemohon juga memohon agar Majelis Hakim MK menyatakan Pasal 160 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibatnya. Atau apabila Majelis Hakim berpendapat lain mohon putusan yang adil dan layak (ex aequo et bono).


Prinsip Negara Hukum
Terhadap permasalahan utama apakah Pasal 160 KUHP sesuai dengan kedudukan Indonesia sebagai negara merdeka berdasarkan UUD 1945 yang menjunjung hak asasi manusia sebagai salah satu prinsip dalam negara hukum, Mahkamah berpendapat meskipun pasal 160 KUHP lahir pada masa kolonial Belanda, tetapi substansi norma yang terkandung dalam pasal tersebut tetap sejalan dengan prinsip-prinsip negara berdasarkan hukum, karena norma dalam pasal yang diuji memuat prinsip universal yang tidak mungkin dinegasikan oleh negara-negara beradab yang menjunjung tinggi hukum.
Mengenai dalil Pemohon Pasal 160 KUHP lentur dan mudah ditafsirkan menurut selera penguasa, Mahkamah berpendapat itu adalah terkait dengan penerapan norma. Substansi pasal tersebut bersifat universal, yakni melarang orang menghasut untuk melakukan tindak pidana, masih tetap sesuai dengan kebutuhan hukum Indonesia saat ini. Meskipun demikian, Mahkamah berpendapat dalam penerapannya pasal tersebut harus ditafsirkan sebagai delik materiil dan bukan sebagai delik formil.
Dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 160 KUHP berdampak merusak nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia dengan mencederai kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Menurut Mahkamah, dalam negara demokrasi, semua warga negara mempunyai hak untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat baik dengan lisan atau tulisan. Dalam hal ini harus dibedakan antara pelaksanaan hak untuk mengeluarkan pendapat dengan lisan atau tulisan yang dapat berupa kritikan kepada pemerintah dan tindakan menghasut. Menyampaikan kritik kepada pemerintah secara lisan ataupun tulisan atau bahkan unjuk rasa tidak dilarang menurut ketentuan pasal a quo karena merupakan bagian dari hak setiap warga negara dan karenanya mendapat perlindungan hukum. Penyampaian pendapat di muka umum wajib menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain, wajib tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta wajib menghormati, menjaga keamanan dan ketertiban umum.

Sepanjang dalil Pemohon yang menyatakan penerapan Pasal 160 KUHP telah membatasi ruang gerak Pemohon sebagai aktivis dan politisi dalam mengeluarkan pendapat dan mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat dan terhadap diri Pemohon baik kelak terbukti maupun tidak terbukti, merupakan pembunuhan karakter terhadap diri Pemohon sekaligus pembunuhan karir politik Pemohon, menurut Mahkamah hal tersebut bukan berkaitan dengan konstitusionalitas norma, melainkan berkaitan dengan kerugian yang diderita sebagai akibat penerapan hukum yang tidak tepat.
Dalam konsklusi putusannya, Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 160 KUHP adalah conditionally constitutional atau konstitusional bersyarat. Artinya, pasal tersebut konstitusional sepanjang ditafsirkan sebagai delik materiil. Akhirnya, dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon ditolak. (Nur Rosihin Ana)

Rabu, 17 Juni 2009

Sengketa Pemilu 2009: Sebagian Permohonan PKNU Dikabulkan


Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU). MK menyatakan penghitungan perolehan suara Pemohon di Dapil Lumajang 1 Kecamatan Lumajang Desa Blukon yang benar adalah 360 suara, sehingga secara keseluruhan perolehan suara Pemohon yang benar di Dapil Lumajang 1 adalah 1.947 dan membatalkan Keputusan KPU Nomor 255/Kpts/KPU/Tahun 2009 sepanjang mengenai perolehan suara Pemohon di Dapil Lumajang 1 Kabupaten Lumajang.Selain itu, MK juga menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk selebihnya,
Demikian sidang pleno dengan agenda pengucapan putusan permohonan PKNU perkara Nomor 58/PHPU.C-VII/2009 tentang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) tahun 2009 yang digelar di ruang pleno lt. 2 gedung MK Jl. Medan Merdeka Barat No. 6 Jakarta, pada Rabo (17/6). Persidangan yang terbuka untuk umum ini dilakukan sembilan Hakim Konstitusi, yakni Moh. Mahfud MD, sebagai Ketua merangkap Anggota, Mukthie Fadjar, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, Maruarar Siahaan, M. Arsyad Sanusi, Harjono, M. Akil Mochtar dan Achmad Sodiki masing-masing sebagai Anggota.
Kabulkan Lumajang 1
Mahkamah mengabulkan dalil Pemohon mengenai terjadinya kesalahan dalam rekapitulasihasil penghitungan suara pada formulir DA-1 dan formulir C-1 Caleg Pemohon Nomor Urut 2 atas nama A. Lukman Hakim yang terjadi di TPS 1 Desa Blukon. Dalam formulir model DA-1 dengan formulir model C-1 di lima TPS di desa Blukon hanya tertulis 287 suara, padahal seharusnya berdasarkan Formulir C-1, Pemohon memperoleh 360 suara. Berdasarkan rekapitulasi suara di Kabupaten, Pemohon seharusnya memperoleh 869 suara bukan 796 suara, sehingga total rekapitulasi suara Pemohon di Kabupaten Lumajang  sebesar 1.947 suara, bukan 1.874 suara.
Berdasarkan bukti P-1 (Model C1 DPRD Kabupaten/Kota) dan bukti TT-3A (Model C1 DPRDKabupaten/Kota) Caleg Pemohon Nomor Urut 2 atas nama A. Lukman Hakim di Desa Blukon memperoleh sebagai berikut: TPS 1 = 73 suara, TPS 2 = 126 suara,TPS 3 = 79 suara, TPS 4= 45 suara, TPS 5 = 37 suara. Sehingga seluruhnya berjumlah 360 suara. Berdasarkan bukti P-2/Model DA-1, Caleg A. Lukman Hakim hanya memperoleh 287 suara di Desa Blukon, sehingga perolehan suaranya berkurang sebanyak 73 suara, karena perolehan suara Caleg tersebut di TPS 1 sebanyak 73 suara tidak dihitung dalam Model DA-1. Bahwa berdasarkan bukti P-3/model DB dan bukti TT-1A/Model DB, Caleg Pemohon Nomor Urut 2 atas nama A. Lukman Hakim memperoleh 796 suara. Setelah perolehan suara Pemohon di TPS 1 Desa Blukon sebanyak 73 suara dimasukkan ke dalam penghitungan, Caleg Pemohon Nomor Urut 2 tersebut seharusnya memperoleh 796 + 73 = 869 suara.
Kesimpulan Mahkamah tersebut berkesesuaian dengan Bukti P-4 berupa kesaksian Ketua PPS Desa Blukon Nomor 10/PPS.BLK/IV/2009, ditandatangani Ketua KPPS 1 sampai dengan Ketua KPPS 5 serta Ketua PPS dan anggota PPS, yang ditujukan kepada Ketua PPK Lumajang perihal kesaksian perolehan suara pemilu di Model C-1 atas nama A. Lukman Hakim, caleg Nomor Urut 2 dari PKNU di Desa Blukon dan diperkuat dengan surat keterangan Panwaslu (Bukti P-5) Nomor 72/PANWASLU/IV/2008 yang menerangkan bahwa dokumen dari Ketua KPPS yang telah diserahkan Caleg Pemohon adalah benar bahwa di TPS 1 Desa Blukon A. Lukman Hakim memperoleh 73 suara, Mahkamah berkesimpulan, permohonan Pemohon telah terbukti secara sah dan meyakinkan, sehingga permohonan harus dikabulkan.
Tidak Lengkap
Selain mengabulkan permohonan Pemohon, Mahkamah juga menyatakan menolak permohonan mengenai kecurangan yang terjadi di Dapil Jawa Timur XI. Mahkamah menilai bahwa alat bukti yang diajukan Pemohon tidak lengkap dan diragukan validitasnya apabila dibandingkan dengan bukti-bukti yang diajukan oleh Turut Termohon.
Begitu juga untuk Dapil Lumajang 5, Mahkamah menolak permohonan Pemohon karena Pemohon tidak berhasil secara sah dan meyakinkan untuk membuktikan dalil-dalilnya.Mahkamah juga menolak dalil pemohon untuk Dapil Kediri 1, Dapil Bojonegoro 2, Dapil 3 Kabuaten Mamasa, Dapil 4 Maluku Kabupaten Seram Bagian Timur, dan Dapil 4 Provinsi Maluku Kabupaten Seram Bagian Timur. (Nur Rosihin Ana)