Senin, 19 Desember 2011

Permohonan Gusnar-Toni Dikabulkan, Tapi NKRI Tetap Pemenang Pemilukada Prov. Gorontalo

Permohonan sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Provinsi Gorontalo yang diajukan pasangan Gusnar Ismail-Tonni Uloli (GT) memasuki tahap final yaitu pengucapan putusan di Mahkamah Konstitusi (MK). Mahkamah dalam amar putusan perkara 120/PHPU.D-IX/2011 menyatakan mengabulkan sebagian permohonan GT. “Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Moh.Mahfud MD dalam persidangan yang digelar pada Senin (19/12/2011) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.
Mahkamah juga membatalkan perolehan suara Pasangan H. David Bobihoe Akib-H. Nelson Pomalingo sejumlah 105.148 suara yang didapatkan dari Kabupaten Gorontalo. Kemudian, menetapkan perolehan suara yang benar untuk masing-masing Pasangan calon peserta Pemilukada Provinsi Gorontalo Tahun 2011, yaitu: pasangan H. Rusli Habibie-H. Idris Rahim (nomor urut 1) sejumlah 264.011 suara; pasangan H. Gusnar Ismail-H. Tonny Uloli (nomor urut 2) sejumlah 183.060 suara; pasangan H. David Bobihoe Akib-H. Nelson Pomalingo (nomor urut 3) sejumlah 48.104 suara.
Kendati permohonan dikabulkan sebagian, namun tetap tak mampu mendongkrak perolehan pasangan GT sebagai pemenang Pemilukada Provinsi Gorontalo. Posisi peraih suara terbanyak tetap dipegang pasangan H. Rusli Habibie-H. Idris Rahim (NKRI).
Mahkamah berpendapat, Pemohon dapat membuktikan dalil-dalil mengenai terjadinya pelanggaran secara terstruktur, sistematis, masif di Kabupaten Gorontalo. Namun, Mahkamah tidak memerintahkan pemungutan suara ulang melainkan langsung membatalkan perolehan suara khususnya bagi pihak yang secara nyata telah melakukan pelanggaran tersebut, yaitu suara pasangan H. David Bobihoe Akib-H. Nelson Pomalingo.

Tak Penuhi Syarat Dukungan
Mahkamah selain membacakan putusan permohonan GT tersebut, beberapa saat sebelumnya juga membacakan putusan permohonan sengketa Pemilukada Provinsi Gorontalo yang diajukan oleh bakal pasangan calon Mohammad Ramdhan Pomanto-Sofyan Puhi. Mahkamah dalam amar putusan perkara Nomor 121/PHPU.D-IX/2011 menyatakan permohonan Mohammad Ramdhan Pomanto-Sofyan Puhi tidak dapat diterima. “Permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD.
Mahkamah berpendapat, gabungan partai yang mengusung pencalonan Pemohon sebagai Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, tidak memenuhi syarat 15% sebagaimana ditentukan dalam Pasal 59 ayat (2) UU Pemda yang menyatakan, “Partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.
(Nur Rosihin Ana)

Jumat, 16 Desember 2011

Terganjal Syarat Dukungan, Cabup Bangkalan Imam Buchori Ujikan UU Pemda

Persyaratan 15% bagi partai politik atau gabungan partai dalam hal usung-mengusung calon kepala daerah merupakan aral yang potensial mengganjal keinginan Imam Buchori untuk tampil sebagai calon Bupati Bangkalan, Jawa Timur. Demikian antara lain pokok permohonan yang disampaikan Muhammad Soleh, kuasa hukum Imam Buchori, dalam sidang panel pendahuluan perkara Nomor 83/PUU-IX/2011 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jum’at (16/12/2011).
H. Imam Buchori yang menjabat Wakil Ketua Pengurus Wilayah Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) Jawa Timur Periode 2010-2015 ini memohonkan judicial review terhadap Pasal 59 ayat (1) huruf a sepanjang frase “atau gabungan partai politik” dan Pasal 59 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda).
Pasal 59 ayat (1) huruf a: “Pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik”. Pasal 59 ayat (2): “Partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan”.
Di hadapan Panel Hakim Konstitusi, Imam melalui kuasa hukumnya, Muhammad Soleh, menganggap pasal UU Pemda yang diujikannya tersebut tidak memberikan penghormatan dan kebebasan kepada semua warga negara untuk bisa dicalonkan menjadi kepala daerah. Karena materi muatan ayatnya dibuat demi menyenangkan partai-partai besar. Pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Imam Buchori merasa dirugikan karena keinginannya mengajukan diri menjadi calon bupati Bangkalan, Jawa Timur Periode 2013-2018 terganjal. Sebab partai pengusungnya yaitu PKNU hanya mendapatkan perolehan 5 kursi di DPRD Kabupaten Bangkalan atau sama dengan 10% dari jumlah kursi yang ada di DPRD Kabupaten. “Kalau kita merujuk pada pasal 59 tadi, maka (perolehan PKNU di Bangkalan) tidak sampai 15 persen,” terang Soleh.
Syarat jumlah kursi 15% sesungguhnya merupakan syarat pembatasan agar calon peserta Pemilukada tidak terlalu banyak. Namun menurut Pemohon, syarat yang dibuat oleh pembentuk UU haruslah mencerminkan rasa keadilan. Misalnya semua partai yang mendapatkan kursi berhak mencalonkan kepala daerah. Gagasan ini sangat rasional, sebab partai yang mendapatkan kursi adalah representasi keterwakilan dan kepercayaan rakyat kepada partai politik. Pemohon menginginkan, hanya dengan perolehan 1 kursi di DPRD sudah bisa menjadi tiket bagi partai untuk mengusung calon kepala daerah. “Satu kursi itu derajat keterwakilan dari partai yang bisa mencalonkan,” pinta Soleh. 

Nur Rosihin Ana

Rabu, 07 Desember 2011

Pemilukada Provinsi Gorontalo Diwarnai Pelanggaran Terstruktur, Sistimatis, dan Masif

Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Provinsi Gorontalo yang digelar pada 16 November 2011 lalu, menyisakan sengketa. Pasangan Gusnar Ismail-Tonni Uloli dan pasangan Mohammad Ramdhan Pomanto-Sofyan Puhi mengajukan keberatan terhadap proses dan hasil Pemilukada Gorontalo ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menannggapi permohonan kedua pasangan tersebut, Mahkamah menggelar sidang pendahuluan, Selasa (6/12/2011), bertempat di ruang panel lt. 4 gedung MK.
Kuasa hukum pasangan Gusnar Ismail-Tonni Uloli (Pemohon perkara Nomor 120/PHPU.D-IX/2011), Utomo Karim, dalam summary pokok permohonan menuturkan terjadinya pelanggaran terstruktur, sistimatis dan masif yang terjadi di wilayah Provinsi Gorontalo, khususnya di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Gorontalo dan Gorontalo Utara.
“Pelanggaran secara terstruktur, sistimatis dan masif tersebut secara telanjang dapat dilihat di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Gorontalo, di mana Bupatinya, David (Bobihoe), dan Kabupaten Gorontalo Utara, di mana Bupatinya Rusli Habibie, ikut sebagai calon gubernur pada Pemilukada Provinsi Gorontalo,” kata Utomo Karim mendalilkan.
Lebih lanjut Utomo menyatakan, Bupati Gorontalo dan Bupati Gorontalo Utara menggunakan kewenangannya sebagai bupati secara terstruktur, sistimatis dan masif. Keduanya memerintahkan seluruh aparat Pemda, mulai dari SKPD, Camat, Kepala Desa, Kepala Dusun hingga warga masyarakat, untuk memilih kedua bupati tersebut. Memperkuat dalilnya, Utomo Karim mengajukan beberapa alat bukti dan saksi.
Utomo Karim juga menuding KPU dan Panwaslukada Gorontalo melakukan pembiaran terhadap terjadinya pelanggaran. “Termohon (KPU Gorontalo) mendisain sedemikian rupa sehingga kotak suara dengan mudah dapat dilepas dan dipasang kembali, yang mana menguntungkan pasangan calon tertentu” lanjut Utomo Karim.
Utomo memohon kepada Mahkamah agar menyatakan tidak sah Keputusan KPU Provinsi Gorontalo mengenai penetapan hasil rekapitulasi perolehan suara Pemilukada Provinsi Gorontalo Tahun 2011 tanggal 23 November 2011, yaitu Keputusan Nomor 22/Kpts/Pilgub/KPU-Prov-027/2011, dan Keputusan Nomor 23/Kpts/pilgub/KPU-Prov-027/2011 mengenai penetapan pasangan calon terpilih. Selain itu, memohon Mahkamah agar mendiskualifikasi pasangan Rusli Habibie-Idris Rahim dan pasangan David Bobihoe-Nelson Pomalingo karena melakukan pelanggaran bersifat terstruktur, sistimatis dan masif. Kemudian memohon pemungutan suara ulang di seluruh TPS di Kabupaten Gorontalo dan Gorontalo Utara.
Sementara itu, Syahrir, kuasa pasangan Mohammad Ramdhan Pomanto-Sofyan Puhi (perkara Nomor 120/PHPU.D-IX/2011) dalam summary pokok permohonan menyampaikan keberatan karena KPU Provinsi Gorontalo tidak meloloskan pasangan ini menjadi calon Gubernur/Wakil Gubernur. Padahal menurut Syahrir,  Ramdhan-Sofyan didukung oleh 11 partai. “Tetapi Termohon (KPU Gorontalo) tidak meloloskan Pemohon dengan berbagai alasan yang tidak beralasan hukum,” kata Syahrir.
Syahrir memohon Mahkamah agar menyatakan pasangan Mohammad Ramdhan Pomanto-Sofyan Puhi adalah pasangan bakal calon Gubernur/Wakil Gubernur Gorontalo yang sah karena didukung oleh sebelas partai politik. Kesebelas partai dimaksud yaitu Parta Karya Peduli Bangsa (PKPB), Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPI), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Matahari Bangsa (PMB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Patriot, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Peduli Rakyat Indonesia (PPRI), Partai Demokari Kebangsaan (PDK), dan Partai Bintang Reformasi (PBR).
Kemudian, membatalkan Keputusan KPU Provinsi Gorontalo Nomor 18/Kpts/Pilgub/KPU-Prov-027/2011 mengenai penetapan pasangan calon yang memenuhi syarat sebagai peserta Pemilukada. Memerintahkan KPU Provinsi Gorontalo untuk melakukan Pemilukada dengan terlebih dahulu melakukan verifikasi administrasi faktual terhadap seluruh bakal pasangan calon paling lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak putusan diucapkan. Selain itu, senada dengan Utomo Karim, Syahrir juga memohon Mahkamah membatalkan keputusan KPU Provinsi Gorontalo Nomor 22/Kpts/Pilgub/KPU-Prov-027/2011 dan Keputusan Nomor 23/Kpts/pilgub/KPU-Prov-027/2011.  
Sidang Panel dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan ini dilaksanakan oleh Hakim Konstitusi Achmad Sodiki sebagai Ketua Panel, diampingi dua Anggota Panel, Ahmad Fadlil Sumadi dan Harjono. Sidang berikutnya digelar pada Kamis, 8 Desember 2011. (Nur Rosihin Ana)

Jumat, 22 Juli 2011

Suka-Hamdi Resmi Menang Pilukada Kabupaten Tebo

Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilukada) Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi, diputus Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (21/7/2011) siang. Putusan ini merupakan putusan akhir sengketa pilukada Tebo. Dalam amar putusan, Mahkamah menetapkan hasil perolehan suara dari masing-masing pasangan calon dalam PSU Pilukada Tebo Tahun 2011. Mahkamah juga memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kab. Tebo untuk melaksanakan putusan ini.

Hasil perolehan suara dari masing-masing pasangan calon dalam PSU Pilukada Tebo Tahun 2011 yang ditetapkan oleh MK yaitu, pasangan nomor urut 1, Sukandar-Hamdi (Suka-Hamdi) meraih 78.754 suara; pasangan nomor urut 2, Ridham Priskap-Eko Putro (Riddham-Eko) sebanyak 5.836 suara; dan pasangan nomor urut 3, Yopi Muthalib-Sri Sapto Eddy (Yopi-Sapto sebanyak 72.656 suara.

Mahkamah selanjutnya memerintah KPU Tebo agar menetapkan pasangan peraih suara terbanyak yaitu pasangan Suka-Hamdi sebagai pasangan Bupati/Wakil Bupati Tebo terpilih pada Pemilukada Tebo Tahun 2011. Putusan MK ini menandai berakhirnya sengketa Pemilukada Tebo.

Mulanya Yopi-Sapto Menang

Pemungutan suara dalam Pilukada Tebo berlangsung dua kali. Pemungutan suara pertama digelar pada 10 Maret 2011. Kemudian, pasca putusan MK yang memerintahkan PSU, KPU Tebo menggelar PSU di seluruh TPS se-Kabupaten Tebo pada 5 Juni 2011.

Berdasarkan berita acara rekapitulasi hasil perhitungan suara pilukada Tebo Tahun 2011 Nomor 6/BA KPU-TB/2011 bertanggal 15 Maret 2011 beserta lampirannya, dan keputusan KPU Tebo Nomor 09 Tahun 2011, Yopi-Sapto meraih suara terbanyak, mengalahkan dua pasangan kandidiat lainnya. Yopi-Sapto unggul dengan perolehan 77.157 suara. Sedangkan Suka-Hamdi memperoleh 74.436 suara. Posisi terakhir diduduki Ridham-Eko dengan perolehan 12.982 suara.

Suka-Hamdi tidak menerima hasil pemungutan suara pertama dan kemudian mengajukan permohonan keberatan ke MK. Pada 18 Maret 2011 Suka-Hamdi mendaftarkan permohonan ke MK dan diregistrasi dengan Nomor 33/PHPU.D-IX/2011, tanggal 25 Maret 2011.

Suka-Hamdi mendalilkan sejumlah pelanggaran selama proses Pilukada Tebo. Mahkamah pun menggelar sidang sengketa Pilukada Tebo yang diajukan Suka-Hamdi sebanyak tujuh kali.

Pelanggaran Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM)

Di persidangan MK, tak tanggung-tanggung Suka-Hamdi menghadirkan sejumlah saksi dan bukti untuk memperkuat dalil terjadinya pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Sebenarnya, materi permohonan Suka-Hamdi tidak terkait dengan kesalahan hasil penghitungan suara yang dilakukan oleh Termohon (KPU Tebo) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah.

Kendati demikian, dalam menilai proses terhadap hasil Pemilu atau Pemilukada, Mahkamah membedakan berbagai pelanggaran ke dalam tiga kategori. Pertama, pelanggaran dalam proses yang tidak berpengaruh atau tidak dapat ditaksir pengaruhnya terhadap hasil suara Pemilu atau Pemilukada seperti pembuatan baliho, kertas simulasi yang menggunakan lambang, dan alat peraga yang tak sesuai dengan tata cara yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Untuk jenis pelanggaran yang seperti ini Mahkamah tidak dapat menjadikannya sebagai dasar pembatalan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU atau KPU Provinsi/Kabupaten/Kota. Hal ini sepenuhnya menjadi ranah peradilan umum dan/atau PTUN.

Kedua, pelanggaran dalam proses Pemilu atau Pemilukada yang berpengaruh terhadap hasil Pemilu atau Pemilukada seperti money politic, keterlibatan oknum pejabat atau PNS, dugaan pidana Pemilu, dan sebagainya. Pelanggaran yang seperti ini dapat membatalkan hasil Pemilu atau Pemilukada sepanjang berpengaruh secara signifikan, yakni karena terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif yang ukuran-ukurannya telah ditetapkan dalam berbagai putusan Mahkamah. Pelanggaran-pelanggaran yang sifatnya tidak signifikan memengaruhi hasil Pemilu atau Pemilukada seperti yang bersifat sporadis, parsial, perorangan, dan hadiah-hadiah yang tidak bias dibuktikan pengaruhnya terhadap pilihan pemilih tidak dijadikan dasar oleh Mahkamah untuk membatalkan hasil penghitungan suara oleh KPU/KPU Provinsi/Kabupaten/Kota.

Ketiga, pelanggaran tentang persyaratan menjadi calon yang bersifat prinsip dan dapat diukur (seperti syarat tidak pernah dijatuhi pidana penjara dan syarat keabsahan dukungan bagi calon independen) dapat dijadikan dasar untuk membatalkan hasil Pemilu atau Pemilukada karena ada pesertanya yang tidak memenuhi syarat sejak awal.

Berdasar pandangan dan paradigma tersebut, Mahkamah menegaskan bahwa pembatalan hasil Pemilu atau Pemilukada karena pelanggaran-pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif sama sekali tidak dimaksudkan oleh Mahkamah untuk mengambil alih kewenangan badan peradilan lain. Mahkamah tidak akan pernah mengadili pelanggaran pidana atau administrasi dalam Pemilu atau Pemilukada, melainkan hanya mengambil pelanggaran-pelanggaran yang terbukti di bidang itu yang berpengaruh terhadap hasil Pemilu atau Pemilukada sebagai dasar putusan tetapi tidak menjatuhkan sanksi pidana dan sanksi administrasi terhadap para pelakunya.

Sementara itu, pelanggaran TSM yang didalilkan Suka-Hamdi antara lain keterlibatan Gubernur Jambi, Hasan Basri Agus dalam pertemuan di rumah Yopi. Gubernur Jambi yang juga Ketua DPD Partai Demokrat ini memberikan arahan dan permintaan kepada seluruh jajaran kepala desa/lurah serta camat yang hadir untuk memenangkan Yopi-Sapto. Kemudian keterlibatan Bupati Tebo, H.A. Madjid Muaz yang mengarahkan PNS di Kantor Pemda Tebo agar memenangkan pasangan Yopi-Sapto.

Berdasarkan keterangan saksi dan bukti di persidangan, menurut Mahkamah, telah terjadi pelibatan PNS terutama camat dan kepala desa secara terstruktur, sistematis, dan masif dalam Pilukada Tebo untuk memenangkan Yopi-Sapto (Pihak Terkait). Tindakan tersebut menurut Mahkamah, adalah tindakan yang melanggar prinsip Pemilu yang Luber dan Jurdil.

Mahkamah menyatakan konsisten dengan putusan-putusan Mahkamah sebelumnya yang tidak member toleransi pelanggaran yang secara terstruktur dengan melibatkan pejabat dan PNS dalam Pemilukada untuk memenangkan salah satu pasangan calon. Putusan-putusan tersebut di antaranya Putusan Sengketa Pemilukada Kabupaten Gresik (Putusan Nomor 28/PHPU.D-VIII/2010), Kota Surabaya (Putusan Nomor 31 /PHPU.D-VIII/2010), Kota Manado (Putusan Nomor 144/PHPU.DVIII/2010), Kabupaten Pandeglang (Putusan Nomor 190/PHPU.D-VIII/2010), dan Putusan Sengketa Pemilukada Kota Tangerang Selatan (Putusan Nomor 209-210/PHPU.D-VIII/2010 tanggal 10 Desember 2010). Semua putusan-putusan tersebut berkaitan dengan pelibatan PNS yang menyebabkan Pemilukada harus diulang.

Mahkamah dalam persidangan dengan agenda pengucapan putusan di MK, Rabu (13/4/2011) memutus sengketa Pilukada Tebo yang diajukan pasangan Suka-Hamdi. Dalam amar putusan, Mahkamah membatalkan berlakunya berita acara rekapitulasi hasil penghitungan suara Nomor 6/BA KPUTB/2011, tanggal 15 Maret 2011 yang ditetapkan oleh KPU Tebo (Termohon). Selanjutnya, memerintahkan kepada KPU Tebo untuk melakukan pemungutan suara ulang di seluruh TPS se-Kabupaten Tebo.

Mahkamah dalam amar putusan juga memerintahkan KPU, Bawaslu, KPU Provinsi Jambi, dan Panwaslu Tebo untuk mengawasi PSU sesuai dengan kewenangannya. Terakhir, melaporkan hasil PSU kepada Mahkamah Konstitusi selambat-lambatnya 90 hari setelah putusan ini diucapkan.

Suka-Hamdi Menangi PSU

Kemenangan Yopi-Sapto pada pemungutan pertama, tak berlanjut pada pemungutan suara ulang (PSU). Pasca putusan MK untuk perkara Nomor 33/PHPU.D-IX/2011, pada 5 Juni 2011 KPU Tebo menggelar PSU se-Kabupaten Tebo. Kemudian KPU Tebo melaporkan hasil PSU ke MK. Hasil PSU menunjukkan, Pasangan nomor urut 1, Sukandar-Hamdi (Suka-Hamdi) memperoleh suara sah sejumlah 78.754 (50,08 %). Pasangan nomor urut 2, Ridham Priskap-Eko Putra (Ridham-Eko)  dengan perolehan suara sah 5.836 (3,71%). Kemudian pasangan nomor urut 3, Yopi Muthalib-Sri Sapto Eddy (Yopi-Sapto) memperoleh suara sah 72.656 (46,21%).

Terdapat perbedaan hasil perolehan suara antara pemungutan suara pertama tanggal 10 Maret 2011 dengan PSU tanggal 5 Juni 2011. Berbeda dengan Suka-Hamdi yang perolehan suaranya naik pada PSU, Ridham-Eko dan Yopi-Sapto justru mengalami penurunan suara. Suka-Hamdi pada pemungutan suara pertama (PSP) meraih 74.436 suara, pada PSU naik menjadi 78.756 suara. Ridham-Eko pada PSP mendapat 12.982 suara, saat PSU turun menjadi 5.836 suara. Sedangkan Yopi-Sapto PSP meraih 77.157 suara, pada PSU justru turun menjadi 72.656 suara.

Arah mata angin berubah haluan. Yopi-Sapto yang menang pada pemungutan suara pertama, pada PSU kalah dengan Suka-Hamdi. Yopi-Sapto kemudian mengajukan permohonan keberatan permohonan keberatan atas berita acara rekapitulasi hasil PSU ke MK pada Rabu, (15/4/2011).

Menindaklanjuti permohonan keberatan Yopi-Sapto, MK menggelar 7 (tujuh) kali persidangan. Persidangan pertama pasca PSU digelar pada 22 Juni 2011 dengan agenda mendengar laporan KPU Tebo dan KPU Provinsi Jambi. Di hadapan Panel Hakim MK yang diketuai M. Akil Mochtar, didampingi Muhammad Alim dan Hamdan Zoelva, KPU Provinsi Jambi dan KPU Tebo, menyatakan pelaksanaan PSU pada 5 Juni 2011 berjalan lancar, baik, tertib, dan tanpa kendala yang berarti.

Sementara itu, pasangan Yopi-Sapto membantah laporan KPU Jambi dan KPU Tebo. Melalui kuasanya, Utomo Karim Yopi-Sapto mensinyalir pelaksanaan PSU diwarnai kecurangan. Utomo mempermasalahkan pemutakhian DPT. Utomo beralasan, dalam amar putusan sela MK tidak ada perintah pemutakhiran salinan DPT. “Ternyata DPT ini dirubah,” kata Utomo menanggapi laporan KPU Tebo.

Pasangan Yopi-Sapto (Pihak Terkait) dalam permohonan mendalilkan terjadinya sejumlah pelanggaran terstruktur, sistematis dan masif yang dilakukan oleh KPU Tebo (Termohon) dan tim sukses Suka-Hamdi (Pemohon). Pelanggaran tersebut meliputi: penggelembungan suara dan perubahan DPT; money politic; intimidasi tim sukses Suka-Hamdi terhadap pendukung Yopi-Sapto; kampanye hitam; keberpihakan aparat kepolisian tingkat Polda Jambi, Polres Tebo, Polsek-Polsek hingga Babinsa; terakhir, ketidaknetralan PNS mulai dari perangkat desa hingga RT/RW.

Selain mendengar laporan KPU Tebo, Mahkamah juga mendengar keterangan Panitia Pengawas Pemilukada (Panwaslukada) Tebo dalam persidangan Mahkamah pada 30 Juni 2011. Mahkamah juga telah memanggil Kapolda Jambi dan Kapolres Tebo untuk memberikan laporan dan kesaksian dalam pelaksanaan PSU. Mahkamah juga mendengar penjelasan dari pasangan Suka-Hamdi dan memeriksa bukti-bukti yang diajukan para pihak berperkara.

Panwaslukada Tebo mengakui menerima dan menindaklanjuti beberapa temuan dan laporan dugaan pelanggaran yang terjadi. Namun tidak menemukan adanya pelanggaran TSM. Kapolda Jambi dan Kapolres Tebo dalam keterangannya membantah dalil Yopi-Sapto mengenai keterlibatan aparat kepolisian dalam mendukung Pasangan Suka-Hamdi. Sedangkan terhadap bukti-bukti yang diajukan Yopi-Sapto, menurut penilaian Mahkamah, tidak ada rangkaian fakta atau bukti yang membuktikan terjadinya pelanggaran TSM dalam proses PSU.

Walhasil, Mahkamah menjatuhkan putusan akhir sengketa pilukada Tebo yang diucapkan pada 21 Juli 2011. Dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan, menetapkan hasil perolehan suara dari masing-masing Pasangan Calon dalam PSU pilukada Tebo Tahun 2011. Selanjutnya, Mahkamah memerintahkan KPU Tebo untuk melaksanakan putusan ini. (Nur Rosihin Ana)

Rabu, 20 April 2011

Tidak Penuhi "Legal Standing" Permohonan Korban "Bailout" Bank Century Tidak Diterima

Ikhtisar Putusan Nomor 145/PUU-VII/2009.

Pemohon: Sri Gayatri, Adhie M. Massardi, Agus Wahid, Agus Joko Pramono, Halim Dat Kui, M. Hatta Taliwang. 

Pokok Perkara:
Pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang juncto Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (UU 6/2009) dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (Perpu 4/2008).
Norma yang diuji:
Pasal 11 ayat (4) dan ayat (5) UU 6/2009, serta Perpu 4/2008
Norma UUD 1945 sebagai penguji:
Pasal 1 Ayat (3), Pasal 23 Ayat (1), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28G Ayat (1), Pasal 28H Ayat (2), Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945.
Amar Putusan: Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima.
Tanggal Putusan: 20 April 2010



Ikthtisar Putusan:
Pemohon, terutama Sri Gayatri adalah nasabah Bank Century (BC) yang menyimpan uang di BC dalam bentuk deposito. Oleh pengelola dan/atau atas perintah dari pihak yang terafiliasi dengan BC, deposito tersebut dialihkan ke dalam bentuk Discretionary Fund PT Antaboga Delta Sekuritas Indonesia (ADS) yang nota bene adalah pemilik saham BC.
Pengalihan simpanan deposito tersebut dilakukan oleh pegawai dan/atau direksi BC, dan diproses di kantor BC. Mereka meyakinkan bahwa Discretionary Fund tersebut merupakan produk BC. Hal ini diperkuat dengan putusan Pengadilan Arbitrase Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Yogyakarta, yang menyatakan bahwa Bank Mutiara (semula Bank Century) bersalah dan harus mengembalikan uang konsumen nasabah BC dan/atau PT ADS.
Namun setelah BC diambil alih dan menerima bailout dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) berdasarkan Perpu 4/2008, BC tidak pernah memenuhi kewajibannya kepada nasabah, termasuk Sri Gayatri. Padahal BC sudah mendapat bailout sebesar Rp 6,7 triliun. Padahal, Pemohon sebagai nasabah pada Bank yang mengikuti program penjaminan simpanan nasabah bank oleh LPS, baik secara langsung maupun tidak langsung Pemohon ikut membayar premi penjaminan simpanan nasabah di LPS.
Implikasi dari Perpu 4/2008 yang diberlakukan terhadap BC, selanjutnya BC berganti pemegang saham, berganti direksi, dan berganti nama menjadi Bank Mutiara. Namun pergantian-pergantian tersebut justru mengaburkan dan menghilangkan hak-hak Sri Gayatri sebagai nasabah BC sehingga berpotensi menderita kerugian Rp. 69.000.000.000,- (enam puluh sembilan miliar rupiah).

Dalil Permohonan
Pemohon mendalilkan, berlakunya UU 6/2009 juncto UU 3/2004, khususnya Pasal 11 ayat (4) dan ayat (5), yang selanjutnya oleh Pemerintah (Presiden) digunakan sebagai dasar untuk menerbitkan Perpu 4/2008, menyebabkan hak-hak konstitusionalnya telah dilanggar dan dirugikan sebagaimana telah dijamin oleh UUD 1945, khususnya Pasal 28D ayat (1) Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2).
Pasal 11 ayat (4) dan ayat (5) UU 6/2009 juncto UU 3/2004, berbunyi: ayat (4) “Dalam hal suatu Bank mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan, Bank Indonesia dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi beban Pemerintah”.
Kemudian ayat (5) “Ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan mengenai kesulitan keuangan Bank yang berdampak sistemik, pemberian fasilitas pembiayaan darurat dan sumber pendanaan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diatur dalam Undang-Undang tersendiri”;
Pemerintah menerbitkan Perpu 4/2008 pada tanggal 15 Oktober 2008 yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengantisipasi kemungkinan situasi krisis keuangan yang berdampak sistemik dan mengantisipasi krisis keuangan global. Namun faktanya justru dengan keluarnya Perpu ini telah berdampak luas dan merugikan kepentingan para Pemohon, karena justru uang simpanan Sri Gayatri tidak dibayar oleh BC (Bank Mutiara).
Dalam Sidang Paripurna DPR RI pada tanggal 18 Desember 2008, DPR RI telah membuat keputusan bahwa Perpu 4/2008 tidak diterima. Dengan demikian, maka Perpu 4/2008 telah terbukti ditolak dan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat dan harus dicabut. Namun faktanya, Pemerintah tetap menganggap Perpu 4/2008 tidak atau belum pernah ditolak oleh DPR RI, dengan alasan bahwa DPR RI tidak secara nyata menyatakan menolak, karena sebagian fraksi ada yang menyatakan menolak, sebagian yang lain menyatakan menerima, bahkan ada fraksi yang menyatakan belum menerima.
Menurut Pemohon, norma Pasal 29 Perpu 4/2008 dapat mempersulit kontrol publik dan cenderung mengarah kepada penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan sempit, dan berpotensi merugikan para Pemohon, sehingga para perumus Perpu ini yakni Gubernur Bank Indonesia (BI), Menteri Keuangan, dan Presiden harus bertanggung jawab secara hukum.
Keberadaan Pasal 29 Perpu 4/2008 telah memberikan kewenangan berlebihan, karena akan melindungi para pembuat dan pengambil kebijakan (Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia) dari jeratan hukum, sehingga mengandung cacat konstitusional. Hal ini terbukti dengan telah dikucurkannya dana talangan (bailout) kepada BC yang semestinya tidak layak menerima. Hal mana kebijakan bailout tersebut telah merugikan hak-hak konstitusional dan kepentingan para Pemohon;
Selain itu, dalam Pasal 5 Perpu 4/2008 juga diatur mengenai pembentukan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang keanggotaannya terdiri dari Menteri Keuangan sebagai Ketua merangkap anggota dan Gubernur BI sebagai Anggota. Hal ini tentu dapat mengaburkan independensi BI, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU 3/2004 yang menyebutkan bahwa ”Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-undang ini”.

Legal Standing tidak Terpenuhi
Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 11 ayat (4) dan ayat (5) UU 6/2009 juncto UU 3/2004 dan Perpu 4/2008, khususnya dalam Pasal 29 yang memberikan kekebalan hukum (imunitas) terhadap KSSK yaitu Menteri Keuangan dan Gubernur BI atas tindakannya membuat keputusan atau kebijakan penyelamatan perbankan, sama sekali tidak berkaitan dengan hak konstitusional para Pemohon yang termaktub dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Selanjutnya, Mahkamah berpendapat, kerugian yang didalilkan oleh para Pemohon tidak bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, serta tidak ada hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan dengan berlakunya Pasal 11 ayat (4) dan ayat (5) UU 6/2009 juncto UU 3/2004 dan Pasal 29 Perpu 4/2008 yang dimohonkan pengujian.
Selain itu, menurut Mahkamah, tidak terdapat jaminan dengan dikabulkannya permohonan a quo, kerugian konstitusional seperti yang didalilkan oleh para Pemohon tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Sehingga Mahkamah berpendapat, para Pemohon tidak memenuhi syarat-syarat kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan MK Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007, untuk mengajukan permohonan, sehingga pokok permohonan para Pemohon tidak perlu dipertimbangkan.
Dalam putusannya Majelis Hakim Konstitusi menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima. Sidang Pleno Pengucapan Putusan perkara Nomor 145/PUU-VII/2009 ini dilakukan oleh Hakim Konstitusi yang terdiri Moh. Mahfud MD, selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, Maria Farida Indrati, Harjono, Muhammad Alim, M. Arsyad Sanusi, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Hamdan Zoelva, masing-masing sebagai Anggota. (Nur Rosihin Ana)

Kamis, 03 Maret 2011

PHPU Kab. Kutai Barat: Dalil Tak terbukti, Mahkamah Tolak Permohonan Raja

Jakarta, MKOnline - Dalil-dalil mengenai terjadinya pelanggaran sistematis, terstruktur dan masif yang diusung dalam permohonan pasangan cabup/cawabup Kutai Barat (Kubar) Rama Alexander Asia-H.Abdul Azizs (Raja) tidak terbukti menurut hukum. Demikian pendapat Mahkamah dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilukada Kubar Tahun 2011 yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (3/3/2011). Dalam amar putusan, Mahkamah menolak seluruh permohonan Raja.
Dalam permohonan, Raja mendalilkan terjadinya sejumlah pelanggaran yang dilakukan oleh Termohon KPU Kubar dan Pihak Terkait pasangan Ismail Thomas-H. Didik Effendi (THD). Raja menuduh THD yang merupakan pasangan incumbent, telah melakukan pelanggaran bersifat sistematis, struktural, dan masif.
Pelanggaran bersifat sistematis yang didalilkan Raja yaitu yang tertuang dalam buku berjudul “Dokumen Publik (Iklan, Media Massa) Bersama “THD” Warga Berdaya, Kubar Sejahtera!! Bupati-Wakil Bupati & Calon Bupati-Wakil Bupati Ismael Thomas, S.H., M.Si–H. Didik Effendi, S.Sos., M.Si. Membangun Kubar Untuk Semua!” bertanggal 23 Agustus 2009.
Dalil Raja tersebut dibantah THD yang menyatakan tidak pernah membuat atau menyuruh pihak lain untuk membuat dokumen yang berisikan strategi, taktik, dan siasat. THD dan Tim Suksesnya dalam pengakuan di persidangan mengakui hanya pernah membuat dokumen “Visi, Misi, Strategi, Kebijakan dan Program Pembangunan Daerah Kabupaten Kutai Barat (2011-2016)”.
Mahkamah menilai Raja tidak dapat membuktikan validitas Bukti P-14 benar-benar dokumen resmi yang dikeluarkan oleh THD. Oleh karenanya, Mahkamah menilai bukti tersebut tidak valid dan tidak dapat dipergunakan untuk menilai dalil-dalil Pemohon yang didasarkan pada Bukti P-14. Dengan demikian dalil-dalil Raja tidak terbukti menurut hukum.
Pelanggaran bersifat struktural yang didalilkan Raja yaitu mengenai pelibatan pegawai negeri sipil, camat, petinggi, dan Badan Perwakilan Kampung, serta KPPS sebagai Tim Sukses dan ikut terlibat aktif dalam rangka pemenangan THD. Dalil ini juga dibantah THD melalui bukti-bukti dan keterangan saksi.
Mahkamah menilai Pemohon tidak memiliki cukup bukti bahwa telah terjadi pelanggaran terstruktur yang melibatkan aparatur pemerintahan sebagaimana didalilkan Pemohon. Jikalaupun dalil Raja benar, Raja tetap tidak dapat meyakinkan Mahkamah bahwa keterlibatan aparatur tersebut dilakukan secara masif dan memberi pengaruh yang signifikan terhadap perolehan suara masing-masing pasangan calon, khususnya mengurangi perolehan suara Raja.
Terakhir, dalil Raja mengenai pelanggaran bersifat massif. Pelangggaran yang sistematis dan terstuktur tersebut di atas terjadi secara luas (masif) di wilayah Kubar yang dilakukan oleh Pihak Terkait THD dan Termohon KPU Kubar. Mahkamah juga menilai Raja tidak cukup bukti.
Sidang Pleno terbuka untuk umum dengan agenda pengucapan putusan perkara Nomor 20/PHPU.D-X/2011 ini dilaksanakan oleh delapan hakim konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD, selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Muhammad Alim, Harjono, Maria Farida Indrati, M. Akil Mochtar, Hamdan Zoelva, dan Ahmad Fadlil Sumadi, masing-masing sebagai Anggota, didampingi oleh Wiwik Budi Wasito sebagai Panitera Pengganti.
Dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. “Amar putusan,mengadili, menyatakan, dalam eksepsi, menolak eksepsi termohon dan eksepsi pihak terkait untuk seluruhnya. Dalam pokok permohonan, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Mahfud MD di ujung persidangan. (Nur Rosihin Ana/mh)