Ikhtisar Putusan Nomor 7/PUU-VII/2009
Pemohon:
Rizal Ramli.
Jenis Perkara:
Pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pokok Perkara:
Permohonan pembatalan Pasal 160 KUHP tentang penghasutan karena bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
Tanggal Registrasi:
2 Februari 2009.
Tanggal Putusan:
22 Juli 2009.
Amar putusan:
Menyatakan permohonan Pemohon ditolak.
Ikhtisar Putusan
Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak permohonan yang diajukan oleh Rizal Ramli. Demikian amar putusan untuk perkara Nomor 7/PUU-VII/2009.
Pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia berpendapat bahwa pemberlakuan Pasal 160 KUHP tentang penghasutan, bertentangan dan/atau tidak sesuai dengan amanat konstitusi sebagaimana yang dimaksud Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
Menurut Pemohon, hak dan kewenangan konstitusional yang dimiliki oleh Pemohon selaku pribadi atau perorangan warga negara, sebagaimana dinyatakan dalam UUD 1945 meliputi hak-hak asasi manusia yang pada umumnya serta khususnya hak menyampaikan pendapat dan pikiran, baik lisan maupun tulisan, dengan masih berlakunya Pasal 160 KUHP hak konstitusional Pemohon telah dirugikan, karena pihak Penyidik Polri yang telah menjadikan Pemohon sebagai tersangka dengan dasar Pasal 160 KUHP tersebut berdasarkan kebebasan berpendapat dalam mengeluarkan pikiran baik lisan maupun tulisan yang dilakukan oleh Pemohon dalam kedudukannya sebagai Ketua Umum Komite Bangkit Indonesia (KBI). Di samping itu, tidak ada perintah langsung dari Pemohon dan/atau hasutan yang menggerakkan pihak lain untuk melakukan tindakan yang melanggar undang-undang
Oleh karenanya penerapan Pasal 160 KUHP sudah tidak tepat lagi dipergunakan dalam iklim demokrasi di Indonesia saat ini, sehingga telah memposisikan Pemohon sebagai korban dan dijadikan tersangka dalam suatu perkara pidana. Dengan diberlakukannya Pasal 160 KUHP sebagai aktivis dan politisi ruang gerak Pemohon dalam mengeluarkan pendapat, mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada rakyat serta mengembangkan kreativitas dalam rangka mencerdaskan bangsa dan berwawasan luas menjadi sangat terbatas.
Dengan diberlakukannya Pasal 160 KUHP kemudian diterapkan kepada Pemohon yang saat ini statusnya sebagai tersangka dan mungkin saja berkembang statusnya menjadi terdakwa, terlepas terbukti atau tidak terbukti di hadapan persidangan kelak, adalah nyata-nyata merupakan pembunuhan karakter terhadap diri Pemohon sekaligus pembunuhan karir politik Pemohon.
Pemberlakuan Pasal 160 KUHP memudahkan penguasa dalam hal ini pemerintahan SBY-JK untuk membungkam lawan-lawan politiknya, apalagi saat ini Pemohon sedang mempersiapkan diri untuk maju sebagai kandidat calon Presdien Republik Indonesia periode 2009-2014 yang didukung oleh beberapa partai politik peserta Pemilu 2009.
Penggunaan Pasal 160 KUHP terhadap diri Pemohon juga telah mengekang hak-hak Pemohon dalam menyampaikan pendapat, berserikat dan berkumpul yang jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28C ayat (2) Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945;
Selain bertentangan dengan amanat konstitusi sebagaimana yang telah diuraikan di atas, hak-hak konstitusional Pemohon juga dijamin dan ditegaskan dalam ketentuan Pasal 23, Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
Pasal 160 KUHP juga dapat mereduksi ketentuan-ketentuan yang mengatur adanya jaminan dan pengakuan kebebasan setiap orang atau warga negara dalam menyampaikan pendapat, baik secara lisan maupun tulisan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998, tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, yang pada pokoknya menyebutkan sebagai berikut: Pasal 2 ayat (1), “Setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Pasal 5, “Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berhak untuk: a. mengeluarkan pikiran secara bebas; b. memperoleh perlindungan hukum
Dapat Disalahgunakan Penguasa
Menurut Pemohon, Pasal 160 KUHP dapat disalahgunakan oleh penguasa karena pasal tersebut bersifat lentur, subjektif, dan sangat tergantung interpretasi penguasa. Sebagai akibat dari adanya interpretasi secara sewenang-wenang oleh penguasa dan aparat hukum maka perbuatan tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan dapat melanggar hak asasi Pemohon. Kualifikasi delik pidana yang dirumuskan dalam Pasal 160 KUHP adalah delik formal (Prof. dr. Wiryono Prodjodikoro,S.H. Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika, halaman: 51) yang hanya dipersyaratkan terpenuhinya unsur perbuatan yang dilarang (strafbare handeling) tanpa mengakibatkan akibat dari suatu perbuatan. Akibatnya rumusan pasal pidana tersebut menimbulkan kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan karena secara mudah dapat ditafsirkan menurut selera penguasa.
Seorang warga negara yang bermaksud menyampaikan kritik atau pendapat terhadap pemerintah, dimana hal itu merupakan hak konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945, akan mudah dikualifikasi oleh penguasa sebagai menghasut di muka umum untuk mendorong, mengajak, membangkitkan atau membakar semangat orang untuk melawan kekuasaan pemerintah, sebagai akibat tidak adanya kriteria yang jelas dalam rumusan Pasal 160 KUHP tentang apa yang dimaksud dengan menghasut;
Pasal 160 KUHP merupakan “pasal karet” (haatzai artikelen) yang masih berlaku, dimana pasal tersebut tidak secara pasti perbuatan apa yang dikualifikasikan sebagai pasal penghasut baik berupa lisan maupun tulisan yang mengkritisi kebijakan penguasa dalam hal ini kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan keinginan rakyat;
Seperti diketahui, KUHP Indonesia merupakan saduran dari Wetboek van Strafrecht Nederland (W.v.S./Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda) yang juga diberlakukan di negara jajahan yang bersifat kolonial dalam arti sangat menguntungkan kepentingan penjajah, oleh karena itulah sengaja dibuat rumusan yang sangat luas sehingga karena luasnya dapat membias kemana-mana dikenal sebagai salah satu pasal karet. Masih banyak pasal-pasal yang merupakan warisan Pemeirntah Kolonial yang dirumuskan dan diatur dalam KUHP tentunya sudah tidak sesuai lagi di alam kemerdekaan, era demokrasi dan era reformasi saat ini;
Rumusan Pasal 160 KUHP tersebut oleh banyak kalangan dianggap sebagai pasal karet yang dapat digunakan kapan saja oleh penguasa untuk membungkam lawan-lawan politiknya, untuk itu lebih baik pasal tersebut dicabut atau dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan diganti kelak dalam RUU KUHP dengan rumusan yang tegas, jelas dan lengkap agar ada kepastian hokum sehingga dapat menjamin hak-hak konstitusional setiap warga Negara dalam melakukan hak kebebasan berbicara, berpendapat, berkumpul dan berserikat yang bertujuan menciptakan keadilan dan kemakmuran sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945;
Pasal 160 KUHP dapat berdampak merusak nilai-nilai demokrasi dan HAM dengan mencederai kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat sehingga mengakibatkan kerugian terhadap masyarakat yang menuntut kesejahterannya;
Pasal 160 KUHP juga dapat menghambat setiap orang untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. Pasal 160 KUHP tidak sejalan dengan amanat reformasi saat ini yang digulirkan sejak 10 tahun yang lalu yang menuntut adanya kebebasan berpendapat di depan umum.
Penjelasan Pasal 160 KUHP yang mengartikan pasal penghasutan adalah baik perbuatan lisan atau tulisan yang dilakukan seorang terhadap penguasa sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat di alam demokrasi yang saat ini sedang berkembang, dengan kata lain pasal ini dianggap sudah tidak sesuai dengan iklim demokrasi dan perkembangan masyarakat Indonesia pada saat ini yang semakin maju dan kritis.
Oleh karena itu sudah selayaknya Pasal 160 KUHP dicabut dan/atau dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat karena bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia yang tidak sesuai dengan amanat konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, adalah sangat beralasan hukum bagi Pemohon untuk memohon kepada Majelis Hakim MK sebagai yang berwenang mengadili/menguji undang-undang terhadap UUD 1945 dan sebagai penafsir tunggal dan tertinggi terhadap penegakan UUD 1945 berdasarkan Pasal 24C UUD 1945 junctis Pasal 10 ayat (1), Pasal 45, Pasal 51 ayat (1) UU MK berkenan untuk memeriksa, mengadili dan memutus permohonan Pemohon yang amarnya mengabulkan permohonan uji materil yang diajukan Pemohon untuk, dan menyatakan bahwa ketentuan Pasal 160 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28E ayat (2) dan (3), Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
Di samping itu, Pemohon juga memohon agar Majelis Hakim MK menyatakan Pasal 160 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibatnya. Atau apabila Majelis Hakim berpendapat lain mohon putusan yang adil dan layak (ex aequo et bono).
Prinsip Negara Hukum
Terhadap permasalahan utama apakah Pasal 160 KUHP sesuai dengan kedudukan Indonesia sebagai negara merdeka berdasarkan UUD 1945 yang menjunjung hak asasi manusia sebagai salah satu prinsip dalam negara hukum, Mahkamah berpendapat meskipun pasal 160 KUHP lahir pada masa kolonial Belanda, tetapi substansi norma yang terkandung dalam pasal tersebut tetap sejalan dengan prinsip-prinsip negara berdasarkan hukum, karena norma dalam pasal yang diuji memuat prinsip universal yang tidak mungkin dinegasikan oleh negara-negara beradab yang menjunjung tinggi hukum.
Mengenai dalil Pemohon Pasal 160 KUHP lentur dan mudah ditafsirkan menurut selera penguasa, Mahkamah berpendapat itu adalah terkait dengan penerapan norma. Substansi pasal tersebut bersifat universal, yakni melarang orang menghasut untuk melakukan tindak pidana, masih tetap sesuai dengan kebutuhan hukum Indonesia saat ini. Meskipun demikian, Mahkamah berpendapat dalam penerapannya pasal tersebut harus ditafsirkan sebagai delik materiil dan bukan sebagai delik formil.
Dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 160 KUHP berdampak merusak nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia dengan mencederai kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Menurut Mahkamah, dalam negara demokrasi, semua warga negara mempunyai hak untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat baik dengan lisan atau tulisan. Dalam hal ini harus dibedakan antara pelaksanaan hak untuk mengeluarkan pendapat dengan lisan atau tulisan yang dapat berupa kritikan kepada pemerintah dan tindakan menghasut. Menyampaikan kritik kepada pemerintah secara lisan ataupun tulisan atau bahkan unjuk rasa tidak dilarang menurut ketentuan pasal a quo karena merupakan bagian dari hak setiap warga negara dan karenanya mendapat perlindungan hukum. Penyampaian pendapat di muka umum wajib menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain, wajib tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta wajib menghormati, menjaga keamanan dan ketertiban umum.
Sepanjang dalil Pemohon yang menyatakan penerapan Pasal 160 KUHP telah membatasi ruang gerak Pemohon sebagai aktivis dan politisi dalam mengeluarkan pendapat dan mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat dan terhadap diri Pemohon baik kelak terbukti maupun tidak terbukti, merupakan pembunuhan karakter terhadap diri Pemohon sekaligus pembunuhan karir politik Pemohon, menurut Mahkamah hal tersebut bukan berkaitan dengan konstitusionalitas norma, melainkan berkaitan dengan kerugian yang diderita sebagai akibat penerapan hukum yang tidak tepat.
Dalam konsklusi putusannya, Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 160 KUHP adalah conditionally constitutional atau konstitusional bersyarat. Artinya, pasal tersebut konstitusional sepanjang ditafsirkan sebagai delik materiil. Akhirnya, dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon ditolak. (Nur Rosihin Ana)