Peristiwa luapan lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur pada
2006 meninggalkan derita berkepanjangan hingga kini. Data Badan
Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) BPLS tahun 2010 menyatakan, luapan lumpur menelan korban sekitar
40.000 jiwa yang mendiami 12 desa. BPLS mengategorikan korban dalam delapan
jenis. Pertama, warga yang kehilangan harta benda. Kedua, buruh yang kehilangan
pekerjaan karena daerah situ juga tempat pabrik. Ketiga, warga yang sawahnya
tidak dapat berproduksi, baik sementara maupun tetap. Keempat, warga yang tidak
dapat melanjutkan usaha, yaitu pengusaha mikro dan kecil. Kelima, penduduk
musiman yang kehilangan tempat kontrak atau sewa. Keenam, pabrik yang tidak
dapat melanjutkan operasi. Ketujuh, fasilitas umum yang hilang atau tidak dapat
berfungsi secara normal. Kedelapan, tenggelamnya sarana dan prasarana
pendidikan.
Namun demikian, tidak semua masuk dalam kategori
korban yang dibangun oleh BPLS, misalnya warga yang bekerja di sektor informal:
pedagang keliling, tukang becak. “Kemudian yang juga tidak masuk kategori yang
dibangun oleh BPLS adalah warga yang mengalami trauma, stres, atau meninggal
dalam stres karena penantian cukup lama. Atau yang mengalami kekerasan psikis
itu juga tidak masuk dan cukup banyak datanya walaupun tidak komprehensif
karena tidak dianggap sebagai korban.”
Demikian dikatakan Arimbi Heroepoetri, S.H., L.Lm
dalam kapasitasnya sebagai ahli yang dihadirkan oleh pemohon dalam persidangan
di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (28/8/2012) siang. Sidang kali kelima untuk
perkara nomor 53/PUU-X/2012 ihwal pengujian Pasal 19 Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012
(UU APBN 2012) dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara Tahun Anggaran 2012 (UU APBN-P 2012), ini beragendakan mendengar
keterangan ahli pemohon.
Arimbi Heroepoetri yang akrab dipanggil Bimbi menyitir
data Kompas tahun 2007 yang menyebutkan perekonomian Jawa Timur merugi. Sebab
area yang terkena luapan lumpur adalah area industri, transportasi antarkota. Industri
pariwisata, distribusi produk ekspor di Jawa Timur juga bermasalah. “Itu juga
tidak masuk dalam kategori korban,” lanjut Bimbi.
Lebih lanjut di hadapan pleno hakim konstitusi Moh.
Mahfud MD (ketua pleno), Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, Maria Farida Indrati,
Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Hamdan Zoelva dan Anwar Usman, Bimbi memaparkan
lima permasalahan yang harus diselesaikan dalam penganggaran APBN untuk
semburan lumpur. Pertama, dalam konteks kewajiban untuk melindungi, pemerintah
selaku representasi negara melakukan pendekatan diskriminatif karena menerbitkan
Kepres yang membedakan peta terdampak dan peta di luar dampak. “Padahal korban
sama, masalahnya sama, tapi melakukan pembedaan tanpa alasan yang jelas. Ini
dalam peta terdampak itu adalah tanggung jawab Lapindo, di luarnya tanggung
jawab pemerintah, tapi tanggung jawab pemerintah di luar itu pun tidak jelas
kapan, apa saja,” paparnya.
Kedua, lanjut Bimbi, fokus alokasi APBN di luar
terdampak, misalnya lebih fokus pada pembelian lahan ganti rugi para korban,
yang menurut bahasa Bimbi yaitu kerugian-kerugian korban yang intangible.
Misalnya korban yang trauma, meninggal karena putus asa, hidupnya rusak,
sumber-sumber kehidupannya hancur, dan juga sumber-sumber keluarga sebagai
ketahanan keluarga. Ketiga, kerugian tidak langsung yang dialami oleh pelaku
usaha di sekitar wilayah luapan lumpur Lapindo, seperti bisnis transportasi,
wisata, dan kehidupan perekonomian lainnya juga tidak masuk dalam alokasi APBN.
Keempat, pemerintah tidak pernah memberikan peringatan atas bencana yang
terjadi, terlepas ini perdebatan bencana alam atau tidak. Kelima, dalam konteks
perlindungan HAM yang penting adalah adanya jaminan bahwa kejadian seperti ini
tidak terulang lagi di masa mendatang. “Kami tidak melihat misalnya dalam
alokasi APBN ada langkah-langkah untuk mencegah kejadian luapan lumpur Lapindo
ini tidak terulang di masa mendatang, karena alokasinya sekedar ganti rugi,
biaya relokasi, dan segala macam,” tandas Arimbi Heroepoetri, S.H., L.Lm, ahli
hukum lingkungan dari Environmental Law Alliance WorldWide (E-LAW).
Untuk diketahui, pengujian Pasal 19 UU APBN 2012 dan
Pasal 18 UU APBN-P 2012, diajukan oleh Letnan Jendral Mar. (Purn) Suharto, DR.
H. Tjuk Kasturi Sukiadi, dan Ali Azhar Akbar. Para pemohon keberatan dengan
penanggulangan lumpur Sidoarjo yang dibebankan kepada APBN. Pasal 18
menyatakan: “Untuk kelancaran upaya penanggulangan lumpur Sidoarjo, alokasi
dana pada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Tahun Anggaran 2012,
dapat digunakan untuk; (a) Pelunasan pembayaran pembelian tanah dan bangunan
diluar peta area terdampak pada tiga desa (Desa Besuki, Desa Kedungcangkring,
dan Desa Pajarakan); (b) Bantuan kontrak rumah, bantuan tunjangan biaya hidup,
biaya evakuasi serta pelunasan kekurangan pembayaran pembelian tanah dan
bangunan di luar peta area terdampak pada sembilan rukun tetangga di tiga
kelurahan (Kelurahan Siring, Kelurahan Jatirejo, dan Kelurahan Mindi); (c)
Bantuan kontrak rumah, bantuan tunjangan hidup, biaya evakuasi dan pembayaran
pembelian tanah dan bangunan pada wilayah di luar peta area terdampak lainnya
yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden.” (Nur Rosihin Ana)
0 komentar:
Posting Komentar