Monopoli merupakan suatu kondisi dimana pelaku usaha
berada di dalam pasar yang tidak memiliki pesaing berarti. Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, sama sekali tidak mengharamkan dilakukannya monopoli. Bahkan di dalam
Pasal 51 UU Nomor 5 Tahun 1999 ditegaskan bahwa untuk cabang-cabang produksi
yang penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak itu boleh dilakukan
monopoli oleh BUMN, badan atau lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah.
“Ini menggambarkan bahwa sesungguhnya monopoli
khususnya untuk cabang-cabang produksi yang penting bagi negara masih
diperbolehkan oleh Undang-Undang Persaingan Usaha.”
Pernyataan tersebut disampaikan Ditha Wiradiputra, dalam
kapasitasnya sebagai ahli pemohon dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi
(MK), Rabu (29/8/2012) siang. Sidang kali keempat untuk perkara 65/PUU-X/2012
ihwal pengujian Pasal 1 angka 19, angka 23, angka 24, Pasal 6, Pasal 9 ayat
(1), Pasal 10, Pasal 44, Pasal 46, dan Pasal 63 huruf c UU Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas), beragendakan mendengarkan Keterangan
Pemerintah, DPR dan Saksi/Ahli dari pemohon serta pemerintah.
Ditha melanjutkan, UU Persaingan Usaha adalah satu
produk hukum yang sangat mengedepankan persaingan. Sebisa mungkin di dalam
pasar harus dilakukan persaingan. Tetapi, untuk cabang-cabang produksi yang
penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, harus diberikan penegasan bahwa
boleh dilakukan monopoli. “Sehingga menjadi janggal, menjadi aneh apabila ada
suatu ketentuan yang lain khususnya yang mengatur mengenai cabang-cabang produksi
yang penting bagi negara kemudian hal tersebut boleh tidak dilakukan monopoli,”
tambah Ditha Wiradiputra yang juga merupakan staf pengajar di Fakultas Hukum
Universitas Indonesia.
Mengenai pemisahan hulu dan hilir dalam penyelenggaran migas menurut
Ditha, bagi posisi perusahaan pemisahan tersebut
sangat tidak menguntungkan. Karena
pemisahan hulu dan hilir menyebabkan terjadinya peningkatan biaya, dimana
masing-masing akan terjadi mark up
biaya dan meminta
keuntungan.
Di
negara maju khususnya di Amerika, perusahaan-perusahaan yang dianggap bermasalah harus
dipecah karena dianggap merugikan. Pemecahan hulu dan hilir, pemecahan badan usaha
merupakan suatu hukuman.
Pemisahan hulu dan hilir penyelenggaraan bisnis migas
di Indonesia jelas sangat merugikan. “Terjadinya pemisahan itu jelas sangat tidak menguntungkan dan jelas
juga akan menyebabkan tambahan biaya karena pihak yang menyelenggarakan sudah
otomatis akan mengenakan biaya yang berbeda.”
Lain halnya misalnya suatu perusahaan dalam suatu rantai produksi
dari perusahaan manufaktur, perusahan pengolahan, dan perusahaan distribusi. Jika
perusahaan itu merupakan suatu
bagian usaha, otomatis masing-masing bagian ini tidak akan mengambil keuntungan. Karena masing-masing
tidak mengambil keuntungan output
yang diperoleh konsumen, otomatis
biayanya jauh
lebih rendah dibandingkan misalnya penyelenggaraan tersebut dilakukan secara
terpisah.
“Sangat
disayangkan
sekali kalau misalkan untuk sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang
banyak yang kita sangat berkepentingan untuk itu dan dilakukan pemisahan antara
hulu dan hilir,” tandas Ditha.
Seperti diberitakan dalam persidangan sebelumnya, pengujian
Pasal 1 angka 19, angka 23, angka 24, Pasal 6, Pasal 9 ayat (1), Pasal 10,
Pasal 44, Pasal 46, dan Pasal 63 huruf c UU Migas UU Migas, ini diajukan oleh
Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) dan Konfederasi Serikat
Pekerja Migas Indonesia (KSPMI). Menurut FSPPB dan KSPMI, ketentuan dalam pasal
yang diujikan tersebut bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945.
Pasal 10 UU Migas menyatakan: “(1) Badan Usaha atau
Bentuk Usaha Tetap yang melakukan Kegiatan Usaha Hulu dilarang melakukan
Kegiatan Usaha Hilir. (2) Badan Usaha yang melakukan Kegiatan Usaha Hilir tidak
dapat melakukan Kegiatan Usaha Hulu.”
Menurut pemohon, berlakunya
Pasal 10 UU Migas telah memecah bentuk usaha sektor hulu dan hilir migas.
Akibat berlakunya Pasal 10 UU Migas, PT. Pertamina Persero selaku BUMN dalam
kegiatan usahanya harus membentuk anak perusahaan dengan spesifikasi kerja
berbeda untuk mengelola industri hulu dan hilir. Ada sekitar 21 (dua puluh
satu) anak perusahaan PT Pertamina Persero yang bergerak di bidang hulu dan
hilir. Pemisahan sektor hulu dan hilir serta pembentukan anak-anak perusahaan Pertamina
dalam praktek global justru sangat bertentangan dengan fenomena big is beautiful dalam menjalankan
industri perminyakan yang notabene high
capital, high technology dan high
risk. (Nur Rosihin Ana)
0 komentar:
Posting Komentar