Selasa, 28 Februari 2012

Jalan Panjang Meraih “Berkah” Pemekaran Wilayah


Tujuan pemekaran daerah adalah dalam rangka mewujudkan kepastian hukum, kemudahan, non-diskriminasi, dan keadilan, yaitu, untuk memperpendek bentang kendali pemerintahan, mendekatkan, memudahkan, dan mengefisiensi  pelayanan pemerintah dalam rangka mensejahterakan, meningkatkan peran-serta masyarakat, dan efiseiensi pelaksanaan pembangunan dalam wilayah yang dimekarkan sehingga tidak menimbulkan masalah-masalah baru.

Demikian disampaikan Minhad Ryad di hadapan Sidang Panel Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (28/2/2012) siang. Minhad menjalani sidang uji materi UU Nomor 10 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Bengkayang dan UU Nomor 12 tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Singkawang yang diajukannya ke MK beberapa waktu yang lalu. Materi UU Nomor 10 Tahun 1999 yang dijukannya yaitu Pasal 3, Pasal, 5 ayat (1) dan Penjelasan Umum alinea kelima. Sedangkan materi UU Nomor 12 tahun 2001 yang diujikannya yaitu Pasal 3, Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (1), Penjelasan Umum alinea kesatu, kedua dan keempat.

Di hadapan Panel Hakim Konstitusi yang terdiri Anwar Usman (ketua panel) didampingi dua anggota, Muhammad Alim dan Maria Farida Indrati, warga Pangkalan Darat, Kecamatan Sungai Raya, Kab. Bengkayang, Kalimantan Barat ini mengungkapkan perjuangannya selama 13 tahun mencari keadilan untuk mendapatkan berkah pemekaran wilayah.

Pemekaran Kab. Sambas menjadi tiga kabupaten otonom, yaitu Kab. Sambas, Kab. Bengkayang, dan Kab. Singkawang potensial merugikan hak-hak konstitusional Minhad yang dijamin UUD 1945. Ketiga daerah otonom tersebut yaitu Kab. Sambas yang meliputi delapan kecamatan. Kemudian, Kabupaten Bengkayang yang meliputi delapan kecamatan. Terakhir, Kota Singkawang yang meliputi tiga kecamatan (Pasiran, Roban dan Tujuhbelas).

Menurut Minhad, UU Nomor 10 Tahun 1999 tidak sesuai dengan tujuan pemekaran daerah, karena tidak menjamin kepastian hukum. Selain itu, lanjut Minhad, keputusan membentuk tiga daerah otonom menjadi batal karena hanya dua daerah otonom saja yang terjadi, yaitu Kab. Sambas dan Kab. Bengkayang. Sementara nasib Kota Administratif (Kotif) Singkawang menjadi tidak jelas, karena wilayahnya yaitu Kec. Roban dan Kec. Pasiran digabungkan ke Kabupaten Bengkayang.

“Padahal secara konstitusional, berdasarkan PP 9 Tahun 1981, Kotif Singkawang berada dan bertanggung jawab kepada Kab. Sambas. Begitu pula dengan Kec. Tujuhbelas dan Kec. Sungai Raya, yang berorientasi ke Singkawang, malah digabungkan ke Kab. Bengkayang, yang seharusnya tetap berada di Kab. Sambas,” dalil Minhad.

Berlakunya UU Nomor 10 Tahun 1999 menyebabkan Minhad harus menempuh jarak lebih jauh. Jarak tempuh dari Kec. Sungai Raya ke Singkawang yang merupakan ibukota Kabupaten Sambas, hanya 50 km, yang ditempuh selama satu jam perjalanan menggunakan bis umum. Waktu itu Kec. Sungai Raya masih tergabung dalam wilayah Kab. Sambas.

Namun, setelah Kec. Sungai Raya digabungkan ke dalam wilayah Kab. Bengkayang, untuk menuju ibukota kabupaten menjadi jauh yaitu 125 km, yang ditempuh selama 3-4 jam perjalanan menggunakan bis umum. “Padahal ke Singkawang hanya 50 km,” lanjutnya.

Di persidangan terungkap, Minhad pada tahun 2005 pernah mengajukan keberatan mengenai digabungkannya Kec. Sungai Raya ke dalam wilayah Kab. Bengkayang. Saat itu, Mahkamah dalam amar putusan perkara 016/PUU-III/2005, yang dibacakan pada 19 Oktober 2005, menyatakan permohonan Minhad tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). (Nur Rosihin Ana/mh)

Kamis, 23 Februari 2012

KPU Kab. Jepara Bantah Surat Suara Melebihi Ketentuan Pemilukada

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Jepara selaku Termohon, melalui kuasa hukumnya, Abhan, menyatakan Pemilukada Kabupaten Jepara 2012 telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan berpegang pada prinsip-prinsip dan asas-asas penyelenggaraan Pemilu yang jujur, adil dan demokratis. Pelaksanaan Pemilukada Jepara berlangsung aman dan tertib dengan partisipasi pemilih yang meningkat yaitu sebesar 65,27%, jika dibandingkan Pemilukada sebelumnya pada 2007 yaitu sebesar 55,07%.
Abhan membantah dalil permohonan pasangan Nur Yahman-Aris Isnandar (Nuranis), mengenai selisih perolehan suara. Abhan juga menilai permohonan kabur (obscuur libel), karena Nuranis tidak menunjukkan dengan jelas mengenai tempat terjadinya pelanggaran, siapa pelakunya, dan kapan terjadinya pelanggaran.
Sedangkan dalam pokok perkara, KPU Jepara membantah dalil Pemohon mengenai pencetakan surat suara yang melebihi kebutuhan. KPU Jepara mengakui bahwa pihak rekanan berinisiatif mencetak surat suara melebihi pesanan KPU Jepara. Untuk menghindari terjadinya fitnah, KPU Jepara menggelar dua kali pertemuan koordinasi. Pada pertemuan yang digelar 19 Januari 2012, bertempat di Kantor KPU Jepara, dilakukan penyegelan surat suara. Acara ini dihadiri berbagai pihak, antara lain, tiga tim kampanye pasangan calon, DPRD Jepara, Pemda, Panwaslukada, Polres, Kodim, Kajati. Sementara tim pasangan Nuranis tidak hadir karena sedang melakukan kampanye.
“Dengan demikian, dapat dipastikan, tidak ada kelebihan surat suara di luar ketentuan. Keberadaan sisa surat suara yang dicetak sebagai antisipasi rekanan terhadap kemungikan permintaan pengganti surat suara yang rusak atau cacat, telah diamankan dengan baik dan tidak mempengaruhi proses pemungutan dan penghitungan suara.”   
Demikian dikatakan Abhan selaku kuasa hukum KPU Jepara dalam Sidang perkara Nomor 5/PHPU.D-X/2012 mengenai perselisihan hasil Pemilukada Kab. Jepara, yang digelar di Mahkamah Konstitusi, Kamis, (23/2/20012). Persidangan dengan agenda mendengarkan Jawaban KPU Jepara (Termohon), keterangan pasangan Ahmad Marzuqi-Subroto selaku Pihak Terkait, serta mendengar keterangan saksi, dilaksanakan oleh panel hakim konstitusi Achmad Sodiki sebagai ketua panel, didampingi dua anggota panel, Harjono dan Anwar Usman. Sidang dihadiri Nur Yahman (Pemohon) didampingi kuasanya, Heru widodo dkk. Pihak Termohon hadir Ketua KPU Jepara, Muslim Aisha dan jajarannya, seorang anggota KPU Provinsi Jawa Tengah serta didampingi kuasanya, Abhan. Sedangkan Pihak Terkait hadir pasangan Ahmad Marzuqi-Subroto (Mabrur) didampingi kuasanya, Umar Ma’ruf dkk.
Lebih lanjut umar juga membantah dalil pasangan Nuranis mengenai kurangnya surat suara di beberapa kecamatan. Memperkuat bantahan, Umar memaparkan data surat suara di seluruh TPS se-Kabupaten Jepara yaitu sejumlah 821.555 suara. “Sedangkan pemilih yang menggunakan hak pilihnya sejumlah 538.739,” papar Umar.
Sementara itu, pasangan Mabrur melalui kuasa hukumnya, Umar Ma’ruf, menepis dalil-dalil Pemohon dan menganggapnya sebagai isu belaka. Misalnya isu mengenai adanya pengajian di Pendopo Kabupaten Jepara, Kampanye di halaman SD Ngetuk, surat undangan yang tidak dibagikan secara sengaja, dan isu pembagian sembako di dua Kecamatan yaitu Kalinyamatan dan Mayong. “Isu tersebut nyata-nyata tidak terjadi dan dengan sendirinya tidak terbukti,” terang Umar.
Umar juga menganggap dalil Pemohon mengenai acara silaturrahim Paguyuban Pamong Desa (PPD) yang dihadiri pasangan Mabrur, merupakan penggambaran yang berlebihan. Pasangan Mabrur, kata Umar, hanya menyikapi secara wajar undangan dari para petinggi desa (kepala desa) untuk berbicara mengenai visi-misi pasangan calon. Selain itu, Mabrur tidak pernah memerintahkan koordinator PPD untuk membuat dan membagi undangan kepada para petinggi dan perangkat desa. “Dengan demikian, tidak benar Pihak Terkait yang memerintahkan PPD untuk membagi undangan dan mengatur pertemuan para petinggi. Yang terjadi adalah, para petinggi sendiri yang memiliki kegiatan, Pihak Terkait hanya mencoba menghormati undangan yang diberikan,” papar Umar.
Menganggapi dalil Pemohon yang menyatakan petugas KPPS pada saat pembukaan TPS memberikan pengarahan mengenai tata cara pencoblosan kepada pemilih dengan instruksi dengan bahasa Jawa Nek nyoblos, siji wae ojo loro, telu, opo papat, mangkeh batal” (Kalau nyoblos satu saja, jangan dua, tiga atau empat, nanti batal), pihak Mabrur menyatakan tidak pernah mendapatkan informasi tentang hal tersebut. “Ucapan yang didalilkan Pemohon tersebut seakan-akan ingin menggambarkan petugas KPPS memihak kepada Pihak Terkait. Bahwa hal tersebut tidak benar, dan lebih dari itu, Pihak Terkait tidak mempunyai hubungan struktural dengan penyelenggara Pemilu dalam hal ini KPPS, sehingga tidak mungkin memerintahkan untuk melakukan hal sedemikian,” tandas Umar Ma’ruf.  
Persidangan kali ini juga mendengar keterangan saksi yang dihadirkan Pemohon. Salah seorang saksi bernama Junaidi, Kepala Desa Purwogondo Kecamatan Kalinyamatan, mengaku mendapat surat undangan dari koordinator PPD untuk mengumpulkan petinggi dan perangkatnya dalam acara silaturrahim dan sosialisasi Pemilukada Jepara. Acara diselenggarakan di Waterboom Tiara Park, Desa Purwogondo dan dihadiri calon wakil bupati Subroto menyampaikan materi mengenai perekonomian di Jepara. Di tengah acara, saksi mengaku menyiapkan amplop untuk petinggi dan perangkat yang hadir. “Pada waktu itu saya dipanggil oleh koordinator untuk mempersiapkan amplop nanti yang akan diberikan kepada para petinggi dan perangkat yang hadir,” terang Junaidi.
Untuk diketahui, pasangan Nur Yahman-Aris Isnandar mengajukan keberatan terhadap Berita Acara yang diterbitkan oleh Termohon yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Jepara Nomor 6/BA/II/2012 tentang Rekapitulasi Hasil Perhitungan Suara Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Tahun 2012 tertanggal 4 Februari 2012. Dalam lampiran berita acara tersebut, KPU Jepara menetapkan perolehan suara untuk masing-masing calon: Pasangan Ahmad Marzuqi-Subroto (nomor urut 1) memperoleh 222.213 suara; pasangan Kaeron Syariefudin-Ahmad Ja’far (nomor urut 2) 15.926 suara; pasangan Nur Yahman-Aris Isnandar (nomor urut 3) 189.150 suara, dan pasangan Yuli Nugroho-Nuruddin Amin (nomor urut 4) 95.699 suara.
Menurut Heru Widodo, kuasa hukum Nur Yahman-Aris Isnandar, penetapan rekapitulasi tersebut tidak sah menurut hukum. Sebab perolehan suara pasangan Ahmad Marzuqi-Subroto (Mabrur) diperoleh melalui cara-cara yang melawan hukum atau setidak-tidaknya dengan disertai tindakan penyalahgunaan kewenangan oleh KPU Jepara  baik sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama dengan pasangan Mabrur. Heru menengarai terjadinya kecurangan dan pelanggaran serius yang bersifat terstruktur, sistematis dan massif, sehingga menguntungkan perolehan suara pasangan Mabrur. Sebaliknya, pasangan Nuranis menjadi pihak yang sangat dirugikan oleh tindakan kecurangan dan pelanggaran tersebut. (Nur Rosihin Ana).

Selasa, 21 Februari 2012

Nuranis Minta Pemungutan Suara Pemilukada Jepara Diulang

Pasangan Nur Yahman-Aris Isnandar (Nuranis), calon bupati/wakil dalam pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah, meminta Mahkamah memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jepara melaksanakan pemungutan suara ulang di seluruh TPS se-Kabupaten Jepara.
“Memerintahkan kepada Termohon melaksanakan pemungutan suara ulang di seluruh TPS se-Kabupaten Jepara,” kata Heru Widodo, kuasa hukum pasangan Nuranis saat membacakan pokok permohonan (petitum) dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa, (21/02/2012) siang.
Sidang dengan agenda pemeriksaan pendahuluan perkara Nomor 5/PHPU.D-X/2012 mengenai perselisihan hasil Pemilukada Kab. Jepara ini dilaksanakan oleh panel hakim konstitusi yang terdiri Achmad Sodiki (ketua panel) didampingi dua anggota panel, Harjono dan Anwar Usman. Sidang dihadiri kuasa Pemohon pasangan Nuranis, Heru widodo dkk. Pihak Termohon hadir Ketua KPU Jepara, Muslim Aisha dan jajarannya serta seorang anggota KPU Provinsi Jawa Tengah. Sedangkan Pihak Terkait pasangan Marzuqi-Subroto (Mabrur) diwakili kuasa hukumnya, Umar Ma’ruf dkk.
Nuranis mengajukan keberatan terhadap Berita Acara yang diterbitkan oleh Termohon Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Jepara Nomor 6/BA/II/2012 tentang Rekapitulasi Hasil Perhitungan Suara Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Tahun 2012 tertanggal 4 Februari 2012. Dalam lampiran berita acara tersebut, KPU Jepara menetapkan perolehan suara untuk masing-masing calon: Pasangan Ahmad Marzuqi-Subroto (nomor urut 1) memperoleh 222.213 suara; pasangan Kaeron Syariefudin-Ahmad Ja’far (nomor urut 2) 15.926 suara; pasangan Nur Yahman-Aris Isnandar (nomor urut 3) 189.150 suara, dan pasangan Yuli Nugroho-Nuruddin Amin (nomor urut 4) 95.699 suara.
Menurut Heru Widodo, penetapan rekapitulasi tersebut tidak sah menurut hukum. Sebab perolehan suara pasangan Ahmad Marzuqi-Subroto (Mabrur) diperoleh melalui cara-cara yang melawan hukum atau setidak-tidaknya dengan disertai tindakan penyalahgunaan kewenangan oleh KPU Jepara  baik sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama dengan pasangan Mabrur. Heru menengarai terjadinya kecurangan dan pelanggaran serius yang bersifat terstruktur, sistematis dan massif, sehingga menguntungkan perolehan suara pasangan Mabrur. Sebaliknya, pasangan Nuranis menjadi pihak yang sangat dirugikan oleh tindakan kecurangan dan pelanggaran tersebut. “Proses Pemilukada yang dilaksanakan oleh Termohon itu diawali dengan berbagai pelanggaran, baik yang dilakukan oleh Pihak Terkait selaku pasangan calon incumbent maupun Termohon selaku penyelenggara,” terang Heru.
Heru mendalilkan, pelanggaran yang dilakukan oleh calon incumbent dengan melibatkan Paguyuban Pamong Desa (PPD) Jepara. Wakil Bupati Jepara, Ahmad Marzuqi, bekerjasama dengan PPD menyelenggarakan kegiatan silaturrahim. “Tetapi di dalamnya, mengumpulkan para kepala desa di masing-masing kecamatan. Mereka diarahkan untuk memenangkan pasangan calon incumbent,” lanjut Heru.
Selesai acara, para kepala desa (petinggi) dibagi uang Rp. 100.000, dan untuk aparat desa Rp. 50.000. Melalui PPD dan aparat desa, pasangan Mabrur membagikan stiker kepada warga desa. “Untuk petinggi (kepala desa) diberikan uang operasional sebanyak 1 juta per desa,” kata Heru melanjutkan dalil permohonan pasangan Nuranis.
Sementara itu, pelanggaran yang dilakukan KPU Jepara, dalil Heru, antara lain adanya perubahan daftar pemilih tetap (DPT) yaitu perubahan sebelum dan pada saat menjelang pemungutan suara. “DPT yang ditetapkan Termohon, semula adalah tertanggal 13 Desember 2011. Kemudian, dengan dalih adanya penambahan daftar pemilih yang belum masuk, kemudian dibuat surat keputusan pada tanggal 28 Januari 2012, dan hari H tanggal 29 Januari, Termohon masih membuat ketetapan tentang DPT tambahan yang tidak diketahui oleh kami sebagai pasangan calon peserta pemilukada,” terang Heru mendalilkan.
Selain itu, pasangan Nurani juga mendalilkan pelanggaran yang dilakukan oleh KPU Jepara berupa pencetakan surat suara melebihi kebutuhan. Di sisi lain, terdapat 11 kecamatan justru terjadi kekurangan surat suara.
Kemudian, pelanggaran yang dilakukan oleh petugas KPPS. Pada saat pembukaan TPS, petugas memberikan pengarahan mengenai tata cara pencoblosan kepada pemilih dengan instruksi dengan bahasa Jawa: “Nek nyoblos, siji wae ojo loro, telu, opo papat, mangkeh batal” (Kalau nyoblos satu saja, jangan dua, tiga atau empat, nanti batal).
Sebelum mengakhiri persidangan, panel hakim menasehati pemohon agar menyiapkan bukti-bukti pendukung permohonan. Sidang berikutnya akan digelar pada Kamis depan. (NurRosihin Ana).

Jumat, 17 Februari 2012

MK: Anak di Luar Perkawinan Tetap Memiliki Hubungan Perdata dengan Ayah Biologisnya

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan anak di luar perkawinan tetap memiliki hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya. Putusan MK dengan Nomor 46/PUU-IX/2011 tersebut dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya pada Jumat (17/2) di Ruang Sidang Pleno MK.

“Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, ‘Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya’,” ucap Mahfud membacakan amar putusan.

Dalam pendapat mahkamah yang dibacakan oleh hakim konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi, pokok permasalahan hukum mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah mengenai makna hukum (legal meaning) frasa “yang dilahirkan di luar perkawinan”. Secara alamiah, lanjut Fadlil, tidaklah mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh karena itu, papar Fadlil, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya.
“Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya. Lebih-lebih manakala berdasarkan perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat dibuktikan bahwa seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki tertentu. Akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan, yang didahului dengan hubungan seksual antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki, adalah hubungan hukum yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban secara bertimbal balik, yang subjek hukumnya meliputi anak, ibu, dan bapak.,” papar Fadlil.
Berdasarkan uraian di atas, Fadlil menjelaskan hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/ administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum. “Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan,”terangnya.
Fadlil menjelaskan berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, maka dalil para Pemohon sepanjang menyangkut Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 tidak beralasan menurut hukum. “Adapun Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, ‘Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya’ adalah bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) yakni inkonstitusional sepanjang ayat tersebut dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya,” jelasnya.
Dalam putusan tersebut, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati mengemukakan alasan berbeda (concuring opinion). Dalam pendapatnya, Maria mengungkapkan potensi kerugian tersebut dipertegas dengan ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Keberadaan Pasal tersebut menutup kemungkinan bagi anak untuk memiliki hubungan keperdataan dengan bapak kandungnya. Hal tersebut adalah risiko dari perkawinan yang tidak dicatatkan atau perkawinan yang tidak dilaksanakan menurut UU 1/1974, tetapi tidaklah pada tempatnya jika anak harus ikut menanggung kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan (perkawinan) kedua orang tuanya.

”Jika dianggap sebagai sebuah sanksi, hukum negara maupun hukum agama (dalam hal ini agama Islam) tidak mengenal konsep anak harus ikut menanggung sanksi akibat tindakan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya, atau yang dikenal dengan istilah “dosa turunan”. Dengan kata lain, potensi kerugian akibat perkawinan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan UU 1/1974 merupakan risiko bagi laki-laki dan wanita yang melakukan perkawinan, tetapi bukan risiko yang harus ditanggung oleh anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut. Dengan demikian, menurut saya, pemenuhan hak-hak anak yang terlahir dari suatu perkawinan, terlepas dari sah atau tidaknya perkawinan tersebut menurut hukum negara, tetap menjadi kewajiban kedua orang tua kandung atau kedua orang tua biologisnya,” tandasnya. (Lulu Anjarsari/mh)

sumber: Mahkamah Konstitusi

Perselisihan Pemilukada Dogiyai: Mahkamah Perintahkan Pemungutan Suara Ulang Distrik Piyaiye

Mahkamah memerintahkan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Dogiyai (KPU Dogiyai) melakukan pemungutan suara ulang (PSU) Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Kabupaten Dogiyai di delapan kampung di Distrik Piyaiye, yaitu Kampung Apogomakida, Deneiode, Yegeiyepa, Ideduwa, Kegata, Egipa, Ukagu, dan Kampung Tibaugi, dengan mengikutsertakan tiga pasangan calon yaitu: Thomas Tigi-Herman Auwe, Anthon lyowau-Apapa Clara Gobay, dan pasangan Natalis Degel-Esau Magay.
Sedangkan metode pemilihan dalam PSU tersebut harus dilakukan sesuai dengan tata cara yang dikehendaki oleh masyarakat masing-masing kampung di Distrik Piyaiye untuk menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya yang masih berlaku di masyarakat setempat.
Demikian putusan perkara Nomor 3/PHPU.D-X/2012 perselisihan Pemilukada Kabupaten Dogiyai, Provinsi Papua, yang diucapkan dalam persidangan Mahkamah Konstitusi (MK), Jum’at (17/2/2012) bertempat di ruang sidang pleno lt 2 gedung MK. Mahkamah dalam amar putusan menyatakan mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh pasangan Thomas Tigi-Herman Auwe. “Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian,” kata Ketua Pleno Moh. Mahfud MD saat membacakan amar putusan.
Mahkamah juga memerintahkan KPU Provinsi Papua, Panwaslukada Dogiyai, dan Bawaslu untuk mengawasi pelaksanaan PSU tersebut. Selanjutnya, melaporkan hasil PSU kepada MK paling lambat 90 hari setelah putusan ini diucapkan. Terakhir, Mahkamah menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.
Selain membacakan putusan perkara Nomor 3/PHPU.D-X/2012 tersebut, secara berturut-turut Mahkamah juga membacakan putusan perselisihan Pemilukada Dogiyai yang diajukan pasangan Anthon lyowau-Apapa Clara Gobay (perkara Nomor 4/PHPU.D-X/2012) dan pasangan Ausilius You-Timotius Mote (perkara Nomor 2/PHPU.D-X/2012).
Mahkamah menyatakan permohonan pasangan Anthon lyowau-Apapa Clara Gobay tidak dapat diterima karena melewati tenggang waktu. Tenggang waktu permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) PMK 15/2008, adalah bahwa “permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara pemilukada diajukan ke Mahkamah paling lambat 3 (tiga) hari setelah Termohon menetapkan hasil penghitungan suara Pemilukada didaerah yang bersangkutan”.
Sedangkan amar putusan untuk perkara Nomor 2/PHPU.D-X/2012, Mahkamah menyatakan permohonan pasangan Ausilius You-Timotius Mote tidak dapat diterima karena tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan. (Nur Rosihin Ana)

Kamis, 16 Februari 2012

Menyoal Kriminalisasi Penggunaan Lambang Negara


Penggunaan lambang negara oleh perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan untuk keperluan selain yang diatur dalam UU, bisa dipidana. Hal inilah yang dialami oleh Erwin Agustian dan Eko Santoso. Pengadilan Negeri Purwakarta memvonis 1 bulan penjara dengan masa percobaan 3 bulan kepada Erwin dan Eko karena menggunakan gambar lambang negara (burung garuda) sebagai stempel organisasi.
Merasa hak konstitusionalnya dirugikan, Erwin Agustian, Eko Santoso dkk mengajukan judicial review Pasal 57 huruf c dan d UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal 57 huruf c dan d menyatakan, “Setiap orang dilarang: … (c) membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai Lambang Negara; dan (d) menggunakan Lambang Negara untuk keperluan selain yang diatur dalam Undang-Undang ini”.
Panel Hakim Konstitusi yang diketuai Ahmad Fadlil Sumadi didampingi anggota panel Muhammad Alim dan Maria Farida Indrati, pada Kamis (16/2/2012) siang, membuka persidangan perkara Nomor 4/PUU-X/2012 yang dimohonkan oleh Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (Pemohon I), Ryan Muhammad (Pemohon II), Bervilia Sari (Pemohon III), Erwin Agustian (Pemohon IV), dan Eko Santoso (Pemohon V).
Persidangan kali kedua ini mengagendakan pemeriksaan perbaikan permohonan. Di hadapan panel hakim konstitusi, Ady Soehatman, kuasa hukum Erwin dan Eko, menyampaikan perbaikan permohonan. Antara lain pada bagian pendahuan, Ady memberikan penegasan mengenai “lambang negara”.
Menambahkan perbaikan yang disampaikan Ady, Victor Santoso Tendiasa dari Forum Kajian Hukum dan Konstitusi, menyatakan, pada permohonan awal lebih menitikberatkan pada Pancasila. Kemudian, pada persidangan pendahuluan (19/1) lalu, ketua panel hakim kala itu, Hamdan Zoelva, menyarankan Pemohon membedakan antara “lambang negara” dengan “Pancasila”. “Saat ini sudah kita perbaiki khusus mengenai lambang negara,” kata Victor.
Selain itu, Pemohon dalam perbaikan permohonan juga menjelaskan adanya kriminalisasi akibat penggunaan lambang negara. “Kedua, menjelaskan gimana kriminalisasinya,” lanjut Victor.
Sebelum mengakhir persidangan, panel hakim mengesahkan alat bukti yang diajukan Pemohon, yaitu bukti P-1 sampai P-5. Kemudian menyarankan Pemohon menyiapkan saksi/ahli untuk memperkuat dalil permohonan. (Nur Rosihin Ana)