Selasa, 05 Februari 2013

Keterwakilan Perempuan dalam UU Pemilu Legislatif Multitafsir


Catatan Perkara

Keterwakilan perempuan di parlemen yang tidak seimbang dibanding dengan laki-laki, menyebabkan aspirasi, kepentingan dan kebutuhan perempuan terabaikan dalam proses menganalisa situasi mulai dari level komunitas, mengidentifikasi dan menentukan prioritas masalah, perencanaan serta pengalokasian anggaran pembangunan (the right to development). Umumnya pola pikir dan cara pandang para perencana dan penentu kebijakan, masih dipengaruhi stereotip terhadap perempuan sebagai subordinasi, ibu rumah tangga atau ‘pekerja domestik’.

Terhambatnya akses perempuan ke dunia publik mengakibatkan berlanjutnya ketertinggalan perempuan di berbagai bidang pembangunan, terutama di bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Selain itu, berlanjutnya perlakuan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, pada akhirnya berdampak pada peringkat kemajuan pembangunan manusia Indonesia secara menyeluruh.

Kebijakan untuk memenuhi kuota minimum 30% keterwakilan perempuan dalam paket UU Politik (UU Partai Politik dan Pemilu Legislatif), sangat ditentukan oleh internal partai politik, terutama yang berkaitan dengan rekrutmen, kaderisasi, mekanisme pengambilan keputusan berkaitan dengan penetapan nomor urut dan seleksi caleg, penempatan caleg di daerah pemilihan. Umumnya partai politik merekrut ‘siapa saja’, bahkan ada partai politik besar yang secara terbuka mengakui terpaksa merekrut para isteri dan kerabatnya untuk ‘mengisi’ ketentuan Tindakan Khusus Sementara (TKS) “sekurang-kurangnya 30% perempuan dalam daftar bakal calon (balon), sebagai syarat untuk bisa menjadi partai politik peserta pemilu” (Pasal 8 ayat (2)e dan Pasal 55 UU Pemilu). Dengan demikian, maka rekrutmen perempuan sebagai caleg hanya sekedar sebagai pelaksanaan memenuhi kebijakan TKS untuk menjadi peserta pemilu atau ‘diambil suaranya’ oleh partai politik dan tidak dilakukan secara tulus dan sunggug-sungguh sebagai upaya mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG).

Ketentuan Ambigu

Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu Legislatif), yang mengatur tentang “Kepengurusan Partai” dan “Perempuan Bakal Calon Legislatif”, menggunakan kata-kata yang ambigu (tidak jelas), sehingga menimbulkan multitafsir dan tidak imperatif. Demikian anggapan sejumlah aktivis perempuan yang mengajukan permohoan yudicial review materi UUPemilu Legislatif ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan mereka diregister oleh Kepaniteraan MK dengan Nomor 20/PUU/XI/2013 pada Selasa, 5 Februari 2013.

Para Pemohon terdiri dari 9 badan hukum privat dan 22 perorangan. Kesembilan badan hukum privat dimaksud yaitu, Pusat Pemberdayaan Perempuan Dalam Politik (PD Politik), Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi (KPI), Yayasan LBH APIK Jakarta, Lembaga Partisipasi Perempuan, Perhimpunan Peningkatan Keberdayaan Masyarakat (PPKM), Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI), Yayasan Institute Pengkajian Kebijakan dan Pengembangan Masyarakat (Institute for Policy and Community Development Studies-IPCOS), Women Research Institute (WRI), dan Yayasan MELATI‘83’. Sedangkan Pemohon perorangan yaitu, Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, Suhartini Hadad, Nursyahbani Katjasungkana, S.H., Soelistijowati Soegondo, SH., Sjamsiah Achmad, M.A., Atashendartini Habsjah, Titi Anggraini, Kentjana Indrishwari S, Magdalena Helmina M.S., Dr. Marwah M Yunus Bandie, MM., Rotua Valentina, S.E., S.H., M.H., Gusti Kanjeng Ratu Hemas, Eni Khairani, Hj. Hairiah, SH, MH., Hana Hasanah Fadel Muhammad., Hj. Noorhari Astuti, S. Sos., Nurmawati Dewi Bantilan, Poppy Maipauw, Poppy Susanti Dharsono, Vivi Effendy, Dra. Siti Nia Nurhasanah, dan Wahidah Suaib.

Materi UUPemilu Legislatif yang diujikan yaitu kata “menyertakan” pada Pasal 8 ayat (2)ekata “memuat” pada Pasal 55, frasa “....bakal calon perempuan dapat ditempatkan pada urutan nomor 1 atau 2 atau 3 dan seterusnya...” pada Penjelasan Pasal 56 ayat 2, dan kata “mempertimbangkan” pada Pasal 215 b. Selengkapnya pasal-pasal yang diuji berbunyi:

Pasal 8 ayat (2) huruf e, “Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan: e. menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;”

Pasal 55, “Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan.”

Pasal 56 ayat (2), “Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon.” Kemudian Penjelasan Pasal 56 ayat (2): “Dalam setiap 3 (tiga) bakal calon, bakal calon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1, atau 2, atau 3 dan demikian seterusnya, tidak hanya pada nomor urut 3, 6, dan seterusnya.”

Pasal 215, “Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan dengan ketentuan sebagai berikut. a. Calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara terbanyak. b. Dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dengan perolehan suara yang sama, penentuan calon terpilih ditentukan berdasarkan persebaran perolehan suara calon pada daerah pemilihan dengan mempertimbangkan keterwakilan perempuan. c. Dalam hal calon yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, jumlahnya kurang dari jumlah kursi yang diperoleh Partai Politik Peserta Pemilu, kursi yang belum terbagi diberikan kepada calon berdasarkan perolehan suara terbanyak berikutnya.”

Ketentuan dalam pasal-pasal tersebut berkaitan dengan keterpilihan dan keterwakilan perempuan dalam UUPemilu Legislatif. Kata dan frasa tersebut tidak menunjukkan adanya kewajiban untuk dipatuhi. Selain itu, dapat ditafsirkan berbagai arti yang berbeda-beda.

Kepengurusan atau daftar bakal calon partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2)e, Pasal 55, Penjelasan Pasal 56 ayat (2) UUPemilu, hanyalah “memuat” nama-nama perempuan, tanpa disertai seleksi kreteria yang jelas berdasarkan kapasitas dan kompetensi sebagai wakil rakyat, serta tanpa ada sanksi hukum yang mengikat. Kata “memuat” pada Pasal 55, berasal dari kata “muat”, yang didefinisikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai: “ada ruang untuk ditempati; dapat berisi; ada di dalamnya, mengandung.” Kata “memuat” mengandung konotasi negatif, karena dapat merujuk kepada benda/obyek. Sedangkan “menyertakan” pada Pasal 8 ayat (2)e berasal dari kata “serta” yang didefinisikan sebagai: “turut, ikut, bersama dengan, menemani, mengiringi, pendamping.”

Berdasarkan definisi tersebut di atas, menurut para Pemohon, kata “menyertakan” lebih tepat digunakan dalam Pasal 55, karena sesuai dengan makna kata dasar “serta”. Kata “menyertakan” dalam konteks tersebut merujuk kepada orang/subyek, bukan benda/ obyek.

Demikian juga dengan frasa “mempertimbangkan keterwakilan perempuan”. Apakah ‘perempuan’ di sini menunjuk kepada calon yang dipilih? Jika merujuk calon yang dipilih, bagaimana jika tidak ada calon perempuan yang mendapatkan perolehan suara yang sama dengan calon pria? Apakah hal tersebut berarti calon perempuan harus diikutsertakan sebagai calon harus dipilih? Bukankah “dipertimbangkan” bisa berarti dapat diterima atau ditolak? Apakah hal ini berarti akan ada suara pemilih perempuan yang akan dibuang? Berapa jumlah pemilih perempuan yang diperlukan agar dapat dianggap bahwa keterwakilan mereka sudah “dipertimbangkan”? Seluruh pertanyaan ini tidak terjawab dalam UUPemilu Legislatif.

Selanjutnya, ketentuan dalam Penjelasan Pasal 56 ayat (2) menimbulkan salah mengerti, karena salah menafsirkan isi Pasal 56 ayat (2) pada frasa “setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon”. Hal ini berarti “dari setiap 3 nama bakal calon, bisa lebih dari 1 (satu) perempuan bakal calon. Sedangkan dalam Penjelasan Pasal tersebut dikatakan, “Dalam setiap 3 (tiga) bakal calon, bakal calon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1, atau 2, atau 3 dan demikian seterusnya....”. Penggunaan kata “atau” berarti dalam setiap 3 (tiga) bakal calon hanya boleh 1 (satu) orang perempuan bakal calon; di tempat urutan 1, atau 2, atau 3 dst. Jadi, Penjelasan Pasal tersebut malah mengurangi/membatasi jumlah perempuan bakal calon. Dengan demikian, menurut para Pemohon, Penjelasan Pasal 56 ayat (2) salah tafsir dan menyalahi makna dari TKS sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan, sehingga perlu dihapus.

Hukumnya Wajib

Para Pemohon berharap Mahkamah memandang pemberian TKS sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan merupakan diskriminasi positif, karena memberikan jaminan kepada perempuan untuk memiliki peluang keterpilihan lebih besar dalam Pemilu. Kemudian, ketentuan TKS sekurang-kurangnya 30% perempuan dalam UUPemilu Legislatif perlu dipertegas menjadi wajib hukumnya, disertai sanksi bagi yang melanggar dan diubah dengan kata-kata yang lebih mengikat secara hukum, supaya efektif dan menghasilkan wakil rakyat (laki-laki dan perempuan) yang kompeten dan mampu menghasilkan kebijakan publik dan program pembangunan yang lebih adil bagi rakyat semuanya.

Para Pemohon berpendapat, tidak adanya pengaturan yang tegas untuk menyertakan perempuan dalam Pasal 8 ayat (2)e, Pasal 55 dan Pasal 215 UUPemilu Legislatif, mengakibatkan terlanggarnya hak-hak konstitusional mereka untuk mendapatkan perlakuan, pengakuan, kedudukan, dan kesempatan yang sama dalam hukum dan pemerintahan, serta hak untuk tidak didiskriminasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28Iayat (2) UUD 1945. Oleh sebab itu, para Pemohon dalam petitum memohon kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 8 ayat (2)e, Pasal 55, Penjelasan Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 215 b UUPemilu Legislatif bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (Nur Rosihin Ana)

0 komentar:

Posting Komentar