Selasa, 05 Februari 2013

Tuntutan Pembentukan Dapil Para Diaspora


Sejak pelaksanaan Pemilu di era Reformasi yaitu Pemilu Tahun 1999 hingga 2009, hak suara warga negara Indonesia yang berdomisili di luar negeri (WNI LN) dalam Pemilu Legislatif, dimasukkan sebagai perolehan suara Dapil DKI Jakarta II. Hal ini dinilai merugikan hak-hak konstitusional mereka. Merasa diperlakukan tidak adil, sejumlah WNILN mengujikan ketentuan Pasal 22 ayat (1) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UUPemilu Legislatif) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Inti permohonan, menuntut pembentukan daerah pemilihan luar negeri (Dapil LN).
Menanggapi permohonan, Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materi UUPemilu Legislatif pada (21/1). Persidangan untuk perkara yang diregistrasi oleh Kepaniteraan MK dengan Nomor 2/PUU-XI/2013 ini, diajukan oleh sejumlah WNI LN yang berasal daerah berbagai daerah di Indonesia. Mereka yaitu, Priyo Puji Wasono (Washington DC), Deyantono Kok Young (Taiwan), Ilhamsyah Abdul Manan (Georgia USA), Nira Bagoes (Toronto), Fify Manan (USA), Renny Damayanti Mallon (San Fransisco), Duta Mardin Umar (Washington DC), Rudy Octavius Sihombing (Taiwan), Muhammad Al Arif (Washington DC), Rizki Nugraha Hamim Penna (Qatar), Syamsiah Hady (Sydney, Australia), Amin Hady (Sydney, Australia), Santa Imelda Paulina Tenyala (Brussels, Belgia), Ismail Umar (Doha, Qatar), Arief Amiharyanto (Doha, Qatar), Dahliana Suryawinata (Den-Haag, Belanda), Hermansyah (Belanda), Tony Thamsir (Taiwan), Firman Mangasa Simanjuntak (Taiwan), Danny Tandela (California, USA), Andry Antoni (Washington DC), Kasuma Juniarni (Korea Selatan), Joko Mulyono Slamet (Korea Selatan), Charles Bonar Pardomuan (Doha-Qatar), Etty Prihartini Theresia (Sanaa, Yaman), Rosalia Adywarman Arby (Jeddah, Saudi Arabia), Aifah Adywarman Arby (Cairo, Mesir), Benyamin Rasyad (Houston, USA), Eli Warti Maliki (Jeddah, Arab Saudi), Heri Sunarli Hansuana (Doha-Qatar), dan Rizaldi Fadilla (Doha-Qatar).
Pasal 22 ayat (1) UUPemilu Legislatif menyatakan, “Daerah pemilihan anggota DPRadalah provinsi, kabupaten/kota, atau gabungan kabupaten/kota.”
Pasal 22 ayat (5) UUPemilu Legislatif menyatakan, “Daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.”
Para Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya, Ibnu Setyo, mengungkapkan bahwa hak konstitusional mereka yang dijamin Pasal 28H UUD 1945 terlanggar dengan berlakunya Pasal 22 ayat (1) dan (5) UU Pemilu Legislatif. Sebab, ketentuan dalam pasal ini tidak mencantumkan Dapil LN. Hal ini sangat potensial merugikan hak-hak konstitusional para Pemohon. Akibatnya, kepentingan para Pemohon sebagai WNI LN secara khusus tidak terwakili di DPRRI.
“Lahirnya pasal dan frasa dalam UU a quo yang tidak mencantumkan adanya Dapil Luar Negeri telah menyebabkan kerugian atau paling tidak menimbulkan potensi kerugian konstitusional Para Pemohon, karena tidak secara khusus terwakili kepentingannya sebagai WNI yang berdomisili di luar negeri dalam keterwakilan di DPR RI,” ujar Ibnu Setyo di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar.
Ibnu menjelaskan, konsekuensi dari hak untuk memilih adalah keterwakilan secara adil dalam Pemerintahan khususnya oleh wakil rakyat di DPR RI. Namun kesamaan kedudukan dan hak untuk diwakili dalam pembentukan daerah pemilihan yang diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UU Pemilu. “Ketentuan dalam Pasal 22 ayat (1) UU a quo tidak mengakomodasi secara khusus keberadaan pemilih di luar negeri yang secara de facto tidak berdomisili di provinsi atau kabupaten/kota sebagaimana disebutkan dalam pasal a quo,” jelas Ibnu yang mewakili 31 perseorangan WNI yang berdomisili di luar negeri.

Beda Kepentingan
Lampiran UUPemilu Legislatif pada poin 11 menyebutkan, Dapil DKI Jakarta II meliputi Kota Jakarta Pusat plus Luar Negeri, dan Kota Jakarta Selatan. Lampiran UU Pemilu Legislatif ini menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penentuan Dapil. Sebab, bagaimana mungkin WNI LN dianggap sebagai bagian dari penduduk DKIJakarta, karena faktanya mereka berasal daerah daerah yang berbeda-beda di Indonesia.
WNI LN seharusnya mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus sehingga kepentingannya terwakili. Penempatan kepentingan WNILN secara bersamaan dengan warga Provinsi DKI Jakarta merupakan hal yang salah. Sebab kepentingan politik dan kebutuhan atas keterwakilan antara warga DKIJakarta dengan WNI LN jelas berbeda.
Ketentuan dalam Pasal 22 ayat (5) UU Pemilu Legislatif yang selanjutnya dirumuskan dalam lampiran UU Pemilu Legislatif poin 11, merupakan lampiran yang ditetapkan tanpa menggunakan metode penghitungan yang jelas untuk mendapatkan jumlah kursi di setiap provinsi dan Dapil secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk sesuai dengan prinsip kesetaraan. Fakta menunjukkan, metode penentuan Dapil sebagaimana diatur Pasal 22 ayat (4) UUPemilu Legislatif mengakibatkan beberapa provinsi mengalami over-representation (jumlah kursi melebihi dari yang seharusnya). Di sisi lain, beberapa provinsi mengalami under-representation (jumlah kursi kurang dari yang seharusnya).

Dapil LN
Data Kementerian Luar Negeri RItahun 2011, menunjukkan WNIyang berdomisili di luar negeri berjumlah 4.457.743 jiwa. Jumlah tersebut bisa mencapai hingga 7 juta jiwa jika ditambahkan dengan WNI LN yang tidak melapor ke perwakilan Indonesia di LN.
Jumlah WNI LN tersebut cukup besar melebihi jumlah penduduk Kota Jakarta Pusat (898.883 jiwa) dan Penduduk Kota Jakarta Selatan (2.057.080 jiwa). Kontribusi jumlah WNI LN yang cukup besar ini berbanding terbalik dengan keterwakilan dan perhatian anggota DPR-RIyang berada di Dapil DKIJakarta II.
Sudah selayaknya WNI LN memiliki Dapil tersendiri yang terpisah dari wilayah DKIJakarta. Keterwakilan Dapil LN dengan menggunakan Dapil DKI Jakarta IIsangat tidak efektif karena, pertama, konstituensi WNI LN cukup besar sehingga sudah selayaknya dibentuk Dapil LN.
Kedua, terjadinya voters disenfranchisement karena keterwakilan konstituen WNILN yang cukup besar, tidak ada di DPR-RI. Para wakil rakyat yang terpilih mewakili Dapil DKIJakarta IItidak tampil mewakili kepentingan WNILN. Buktinya, wakil rakyat dari Dapil DKIJakarta IItidak pernah melakukan temu konstituensi kepada WNILN. Mereka juga tidak pernah menyuarakan isu-isu penting yang relevan dengan kepentingan WNI LN.
Ketiga, munculnya sikap apolitis WNI LN. Voters Tournout atau jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya di TPS tergolong rendah. Hal ini disebabkan tidak efektifnya keterwakilan bagi WNI LN. Bagi konstituen WNI LN, tidak ada pengaruhnya menggunakan hak pilih karena tidak adanya wakil di lembaga legislatif yang dapat menjadi saluran penyampaian aspirasi.
Berdasarkan dalil-dalil (adillah) tersebut di atas, para Pemohon yang menganggap diri mereka sebagai Diaspora Indonesia di LN ini sangat berharap kepada Mahkamah agar mengabulkan permohonan mereka. Para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 22 ayat (1) UU Pemilu Legislatif adalah inkonstitusional sepanjang tidak dibaca: “Daerah pemilihan anggota DPRadalah provinsi, kabupaten/kota, atau gabungan kabupaten/kota, atau luar negeri.”
Selain itu, para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan ketentuan Pasal 22 ayat (5) UUPemilu Legislatif bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak mencantumkan Daerah Pemilihan Luar Negeri sebagai daerah pemilihan yang terpisah dengan Daerah Pemilihan DKI Jakarta II.

Gayo Tuntut Satu Dapil
Masalah pembagian daerah pemilihan (Dapil), juga memicu rasa keterwakilan masyarakat Gayo, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) di DPRRIdan DPRAceh. Hal ini mendorong mendorong 9 orang perwakilan masyarakat Suku Gayo mengajukan pengujian atas Pasal 22 ayat (5) UU Pemilu Legislatif.
Panel Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar dan Muhammad Alim menggelar sidang untuk perkara yang teregistrasi dengan Nomor 6/PUU-XI/2013 pada Senin (28/1/2013). Pada persidangan pendahuluan ini, Mursid, salah seorang dari Pemohon yang juga merupakan anggota DPD dari Aceh, hadir langsung di gedung MK didampingi kuasa hukumnya, Yance Arizona.
Yance mengklaim hilangnya keterwakilan masyarakat minoritas Gayo secara nyata disebabkan karena adanya pembagian Dapil Nanggroe Aceh Darussalam Idan Nangroe Aceh Darussalam IIyang telah memecah empat kabupaten yang dihuni masyarakat Suku Gayo. “Pemecahan menjadi 2 Dapil telah mempersulit keterwakilan Suku Gayo. Dengan tidak adanya wakil, maka tidak ada perhatian dari DPRRI, ” tegas Yance.
Keempat kabupaten tersebut adalah Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Luwes dan Bener Meriah. Idealnya menurut Pemohon, keempat kabupaten yang berpenduduk suku Gayo, tidak dipecah dalam 2 Dapil yang berbeda, melainkan tetap disatukan pada 1 Dapil, agar seluruh suara Suku Gayo dapat lebih terfokus pada para wakilnya, yang otomatis akan menyuarakan aspirasi dan kepentingan masyarakat Gayo secara komprehensif dan konsisten.
Mursid kemudian mencontohkan, dengan terpecahnya suara Suku Gayo di 2 Dapil yang berbeda, telah menyebabkan tidak ada satupun wakil dari Suku Gayo yang duduk di DPRpada Dapil 2. Sementara dari Dapil 1, Suku Gayo hanya memperoleh 1 kursi dari total 7 kursi yang harus diperebutkan. Nasib yang sama juga terjadi di tingkat DPRD. Ia menambahkan, dari 10 kursi yang tersedia di DPRAceh, suku Gayo hanya mampu mengirimkan 1 orang untuk mewakili masyarakat Aceh Tengah dan Bener Meriah. Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi saat penentuan kursi DPD yang dimiliki Mursid. Ia harus bersengketa ke MK di tahun 2009, untuk mempertahankan haknya guna mewakili daerahnya. Karena itu, Mursid mencurigai, terjadinya pemecahan 2 Dapil yang membelah suara Suku Gayo lebih bernuansa geo-politis, yang bertujuan dengan sengaja menghilangkan keterwakilan suku Gayo di parlemen, baik pusat maupun daerah.

Tiga Dapil Solusi Terbaik
Ditemui usai persidangan, Mursid yang mewakili 8 orang Pemohon lainnya menawarkan solusi pemecahan terbaik bagi pemenuhan rasa keterwakilan masyarakarat Gayo. Menurutnya, pembagian 3 Dapil di Provinsi Aceh Darussalam (NAD), yang terdiri dari Dapil NAD I, Dapil NAD II, dan Dapil NAD III, dapat menjadi alternatif yang patut dipertimbangkan. Dalam hal ini, 4 kabupaten yang dihuni Suku Gayo, yakni Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues dan Aceh Tenggara, akan terfokus berada dalam 1 Dapil, yakni Dapil NAD II. Ia menyakini, dengan komposisi Dapil demikian, akan mempermudah Masyarakat Gayo memiliki wakil di DPRD dan DPR RI sehingga dapat menyuarakan kepentingannya.
Sementara itu, dalam nasihatnya, Majelis Hakim meminta Mursid dan kuasanya Yance untuk kembali mempertegas permohonan dengan menjawab pertanyaan, apakah dengan tidak terfokusnya masyarakat Gayo dalam 1 Dapil, maka akan menghilangkan hak keterwakilan di parlemen serta mereduksi pengakuan terhadap budaya lokal suku minoritas Gayo. (Lulu Anjarsari, Nur Rosihin Ana, Juliet)

KONSTITUSI Edisi Februari 2013 No.72

0 komentar:

Posting Komentar