Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) di Aceh dilaksanakan berdasarkan Qanun. Hal ini merupakan amanat Pasal 73 UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Namun, hingga saat ini Qanun yang baru sebagai pengganti Qanun Aceh No. 7 Tahun 2006 tentang Penyelengaraan Pemilihan Umum di Aceh belum dapat diterbitkan, karena terjadinya perbedaan penafsiran antara Gubernur Aceh dan Komite Independen Pemilihan (KIP) dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
“Kami selalu mendorong Qanun yang baru bisa diwujudkan. Alhamdulillah, terakhir, pihak DPRA Aceh sudah ingin menyelesaikan Qanun yang baru.”
Demikian disampaikan Prof. Dr. Djohermasyah Johan, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Dirjen Otda Kemendagri), dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Jum’at (13/1/2012). Persidangan pemeriksaan pendahuluan untuk perkara Nomor 1/SKLN-X/2012 mengenai sengketa kewenangan antarlembaga negara (SKLN) ini diajukan oleh Dirjen Otda Kemendagri.
Dirjen Otda keberatan terhadap Keputusan KIP Aceh No. 26 Tahun 2011 Tentang Perubahan Keempat Atas Keputusan KIP Aceh No. 1 Tahun 2011 Tentang Tahapan, Program, Jadwal Penyelengaraan Pemilihan Umum Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota dalam Provinsi Aceh. Sebab, apabila seluruh tahapan Pemilukada di Aceh tetap dilaksanakan sebagaimana keputusan KIP Nomor: 26 Tahun 2011 dan tidak diikuti oleh Partai Aceh, dapat diprediksi berpotensi terjadi gangguan Kamtibmas dalam pelaksanaan tahapan Pemilukada dan kemungkinan rendahnya partisipasi msyarakat dalam pemungutan suara, serta dapat menimbulkan gejolak politik dan keamanan di Aceh.
Qanun yang baru tersebut, lanjut Djohermasyah, mengakomodasi calon perseorangan dapat mengikuti Pemilukada di Aceh. “Semula, kawan-kawan di DPRA menolak dimasukkannya calon perseorangan, tetapi sekarang ada dinamika politik lokal di sana yang berubah, kawan-kawan di DPRA bersedia untuk memasukkan pengaturan calon perseorangan di dalam Qanun” jelas Djohermasyah.
Djohermasyah juga mengemukakan perkembangan terakhir mengenai keikutsertaan Partai Aceh dalam Pemilukada Aceh, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. “Semula mereka menolak ikut karena mereka tidak menerima adanya calon perseorangan,” imbuhnya.
Menanggapi permohonan, Ketua Panel Hakim Harjono menyatakan, Pemohon harus bisa memetakan secara jelas antara sengketa Pemilukada dan SKLN. Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva dalam nasehatnya menyatakan, sengketa kewenangan dalam hal melibatkan Kementerian Dalam Negeri dan KPU. “Oleh karena itu saya sarankan, Menteri yang harus mengajukan diri sebagai Pemohon,” saran Hamdan. Sedangkan sebagai Termohon, lanjut Hamdan, adalah KIP dan KPU. “KIP sebagai Termohon I dan KPU sebagai Termohon II,” tambahnya.
Sementara Hakim Konstitusi Muhammad Alim menasehati petitum (pokok permohonan) agar dibagi menjadi dua sub, yaitu dalam provisi dan pokok permohonan. Kemudian, mempertegas nasehat Hamdan Zoelva, Alim menyarankan permohonan diajukan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri), bukan Dirjen Otda. “Sebaiknya yang mengajukan permohonan adalah Mendagri,” saran Alim.
Sidang berikutnya akan digelar pada Senin pekan depan, 16 Januari pukul 16.00 WIB dengan agenda perbaikan permohonan. (Nur Rosihin Ana).
0 komentar:
Posting Komentar