Pemerintah menyatakan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU Perkim) disusun
dengan sangat serius, komprehenshif serta mempunyai landasan filosofis,
historis, sosiologis, yuridis,
dan teologis yang kuat. Berdasarkan perspektif filosofis, perumahan dan kawasan
permukiman mempunyai peranan sangat strategis dalam pembentukan watak serta
kepribadian bangsa, yang perlu dibina, dikembangkan demi kelangsungan dan
peningkatan kehidupan dan penghidupan masyarakat. Hal itu disampaikan Pihak
Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Perumahan Rakyat (Menpera), Djan Faridz dalam
sidang Pengujian UU (PUU) Perumahan dan Kawasan Permukiman.
“Oleh karena itu, perumahan dan
kawasan permukiman merupakan salah satu upaya membangun manusia Indonesia
seutuhnya, yang memiliki kesadaran untuk selalu menjalin hubungan antar sesama
manusia, lingkungan tempat tinggalnya, dan senantiasa bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa,” kata Menpera memulai pernyataannya dalam sidang pleno di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis
(22/3/2012) siang.
Di
hadapan pleno hakim konstitusi yang terdiri Maria Farida Indrati (ketua pleno)
didampingi Harjono, Akil Mochtar, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Hamdan Zoelva dan Anwar Usman, Menpera memaparkan perumahan dan kawasan permukiman dalam perspektif historis.
Kebijakan pembangunan rumah dengan luas lantai 36 m2 telah
berkembang sejak awal kemerdekaan RI. Kongres Perumahan Rakyat Sehat yang
digelar di Bandung pada 25-30 Agustus 1950 antara lain memutuskan, “Luas rumah
induk 36 m2 dengan dengan dua kamar tidur”. Mengingat pentingnya
rumah layak huni, kemudian diterbitkan Keputusan Presiden RI No. 18 Tahun 1969
yang kemudian ditindaklanjuti dengan Surat Kesepakatan Bersama antara Menteri
Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik dengan Menteri Keuangan pada 2 Juni 1973.
“Kesepakatan bersama tersebut berisi rumah dengan luas lantai minimum 45 meter
persegi dan mempunyai dua kamar tidur,” kisah Menpera Djan Faridz.
Perspektif
Sosiologis, kata Djan Faridz, rumah merupakan tempat bagi suatu keluarga untuk membentuk
jati diri keluarga. “Dengan adanya rumah, keluarga mempunyai kebanggaan dan
jati diri,” kata Djan Faridz.
Luas
Minimum
Menpera
melanjutkan paparannya dari perspektif yuridis dengan mengutip Pasal 28H Ayat
(1) UUD 1945. Menurutnya, pengaturan Pasal 22 ayat (3) UU Perkim merupakan
upaya pemerintah dalam penyediaan rumah tinggal bukan hanya sekedar memenuhi
standar fisik bangunan melainkan juga harus bisa dijadikan sarana untuk
interaksi anggota keluarga.
Hal
ini diperkuat dengan landasan yuridis dari ketentuan hukum nasional, antara
lain, Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 403/KPTS/M/2002
tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (RS Sehat), di mana RS
Sehat harus memenuhi kebutuhan minimal ruang per orang adalah 9 m2.
Kemudian, Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-1733-2004 tentang Tata Cara
Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan menyatakan, kebutuhan luas
minimum kamar untuk orang dewasa adalah 9,6 m2 dan untuk anak-anak
4,8 m2. “Sehingga total luas lantai bagi 1 keluarga dengan 2 orang
dewasa dan 2 anak adalah 43,2 m2,” papar Djan Faridz, sembari
menambahkan Keputusan Menteri Kesehatan No 829/Menkes/SK/VII/1999 yang
menyatakan luas ruang tidur minimal 8 m2 dan tidak dianjurkan
digunakan lebih dari 2 orang, kecuali anak di bawah 5 tahun.
Memperkuat
ketentuan mengenai luas minimum 36 m2, Djan Faridz memakai landasan
yuridis internasional, antara lain ketentuan Pasal 2 ayat (1) ICESCR yang telah
diratifikasi dengan UU 11/2005; Pasal 25 ayat (1) Universal Declaration of
Human Rights; dan General Comment United Nations No. 4 mengenai Right to
Adequate Housing (hak atas rumah layak).
Sedangkan
dalam perspektif teologis, papar Djan Faridz, rumah dalam ajaran Islam
merupakan bagian penting untuk pembinaan keluarga dan pendidikan. Rumah bukan
sekedar tempat tinggal tetapi merupakan wahana penyemaian nilai-nilai untuk
membentuk akhlaq mulia anggota keluarga.
Memperkuat
dalilnya, Menpera mengutip hadits yang diriwayatkan Abu Daud, Nabi SAW pernah
bersabda: “Suruhlah anak kalian mengerjakan shalat pada saat mereka berumur 7
tahun dan pukullah mereka ketika meninggalkan shalat pada saat mereka berumur
10 tahun dan pisahkan tempat tidur mereka.”
“Inti
dari hadits tersebut adalah perintah kepada setiap orang tua untuk mendidik
anak-anak agar memisahkan tempat tidur mereka ketika berumur 10 tahun,” dalil
Djan Faridz.
Dengan
demikian, kata Djan Faridz, Pemerintah berkeyakinan bahwa ketentuan Pasal 22
ayat (3) UU Perkim sama sekali tidak mengandung unsur merugikan secara konstitusional
bagi masyarakat. Sehingga Pemerintah meminta Mahkamah menolak permohonan uji
materi UU Perkim.
Sementara
itu, keterangan DPR RI yang disampaikan oleh Anggota Komisi III DPR RI, Sarifuddin Sudding juga
menilai tidak ada kerugian konstitusional yang diderita para Pemohon. DPR
Berpendapat, pembentukan UU Perkim diarahkan untuk mendorong upaya pemberdayaan
bagi berlangsungnya seluruh rangkaian proses penyelenggaraan perumahan dan permukiman demi
terwujudnya kemandirian masyarakat untuk memenuhi kebutuhan perumahan yang
layak dan terjangkau sebagai salah satu upaya pemenuhan kebutuhan dasar manusia
dalam rangka pengembangan jati diri dan mendorong terwujudnya kualitas
lingkungan permukiman yang sehat, aman, harmonis dan berkelanjutan sebagaimana dijamin
dalam Pasal 28H Ayat (1), (2) dan (4) UUD 1945.
Untuk
diketahui, bangunan perumahan dengan ukuran minimal 36 m2 sebagaimana
dalam ketentuan Pasal 22 ayat (3) UU Perkim, mengundang keberatan tiga orang warga
dan pengusaha. Tiga orang warga, Aditya Rahman GS, Jefri Rusadi, dan Erlan
Basuki (perkara nomor 12/PUU-X/2012), keberatan karena gajinya yang di bawah 2
juta menyebabkan mereka tidak mampu membeli rumah tipe 36 m2.
Sedangkan
dari pengusaha,
yaitu Eddy Ganefo, Ketua Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Pengembang Perumahan dan
Permukiman Seluruh Indonesia (DPP APERSI) dengan registrasi perkara nomor
14/PUU-X/2012.
Pasal
22 ayat (3) UU Perkim menyatakan,
“Luas lantai rumah tunggal dan rumah deret memiliki ukuran paling sedikit 36
(tiga puluh enam) meter persegi.” Dianggap oleh
Para Pemohon bertentangan dengan Pasal
28H ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan,
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan.” (Nur Rosihin Ana/Yusti Nurul Agustin)