Kamis, 15 Maret 2012

Alat Berat Bukan Genus Kendaraan Dikenakan Pajak


Kendaraan adalah sarana angkut di jalan, sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (7) UU 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) menyatakan, “Kendaraan adalah suatu sarana angkut di jalan yang terdiri atas Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor”. Yang menjadi pertanyaan, apakah alat berat termasuk sarana angkut di jalan? Jika alat berat bukan sarana angkut di jalan, maka alat berat tidak termasuk dalam genus definisi kendaraan. Lalu, Layakkah alat berat dikenakan pajak kendaraan?
Fungsi definisi adalah membatasi suatu konsep. Definisi kendaraan  bermotor dalam Pasal 1 angka 13 UU 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) dengan penambahan kata-kata “termasuk alat-alat berat” adalah menafikan fungsi pembatasan. “Berarti fungsi membatasi sudah tidak ada,” kata Philipus M. Hadjon saat didaulat sebagai ahli dalam persidangan perkara Nomor 1/PUU-X/2012 di Mahkamah Konstitusi, Kamis (15/3/2012) siang.
Permohonan judicial review materi UU PDRD diajukan oleh tujuh direktur perusahaan, yaitu PT. Bukit Makmur Mandiri Utama, PT. Pamapersada Nusantara (PAMA), PT. Swa Kelola Sukses, PT. Ricobana Abadi, PT. Nipindo Prima Mesin, PT. Lobunta Kencana Raya, dan PT. United Arkato. Materi pasal UU PDRD yang diujikan yaitu Pasal 1 angka 13 sepanjang frasa “…termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang dalam operasinya menggunakan roda dan motor dan tidak melekat secara permanen…”. Kemudian Pasal 5 ayat (2), sepanjang frasa “… termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar…”, serta Pasal 6 ayat (4), dan Pasal 12 ayat (2). Menurut para Pemohon, penarikan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) terhadap alat berat, telah melanggar hak konstitusional mereka. Para Pemohon mendalilkan, alat berat berfungsi sebagai alat bantu produksi, sehingga tidak masuk dalam kategori kendaraan bermotor.

Tuntut Perlakuan Berbeda
Bagir Manan yang juga didaulat sebagai ahli Para Pemohon, menjelaskan esensi keadilan yang termaktub dalam Pasal 28D UUD 1945. Menurutnya, banyak cara untuk mewujudkan keadilan. Perlakuan yang sama di depan hukum merupakan salah satu cara menjamin dan mewujudkan keadilan.
Bagir melihat keunikan dalam permohonan judicial review yang diajukan para Pemohon. Sebab, perlakuan yang sama terhadap alat berat dengan kendaraan bermotor, justru menyebabkan para Pemohon dirugikan. Perlakuan yang sama ini menyebabkan para Pemohon harus mengeluarkan dana ekstra untuk membayar pajak alat berat. “Justru pemohon menganggap perlakuan yang sama itu dipandang sebagai suatu ketidakadilan, bahkan suatu pelanggaran hukum” jelas Bagir Manan.
Lebih jauh Bagir menyatakan, dalam kondisi tertentu, keadilan justru menuntut perlakuan yang berbeda. Dengan kata lain, perlakuan yang sama di depan hukum justru menimbulkan ketidakadilan. Bagir pun mengutip adagium yang menyatakan, “Menyamakan sesuatu yang berbeda (tidak sama), sama tidak adilnya dengan membedakan sesuatu yang tidak berbeda (sama).”
“Dalam keadaan tertentu, membedakan justru merupakan syarat dan cara menegakkan keadilan. Sebaliknya, dalam keadaan tertentu membuat segala sesuatu serba sama, sedangkan didapati berbagai perbedaan, akan melukai rasa keadilan,” lanjut Bagir filosofis.
Bagir juga mengulas tentang perbedaan fungsi dan tujuan. Menurutnya, fungsi dan tujuan yang berbeda menuntut perlakuan dan cara yang berbeda pula. Kemudian, sebagai dasar tidak diterapkannya persamaan yaitu, perbedaan harus memberi manfaat yang sebesarnya bagi yang terkena perbedaan. “Bukan justru sebaliknya, (yaitu) merugikan atau menimbulkan beban berlebihan bagi yang berbeda,” ulasnya.
Manfaat perbedaan dimaksudkan memberi perlindungan, kemudahan, atau untuk mencapai tujuan yang lebih besar. Perbedaan antara lain diperlukan sebagai cara untuk mewujudkan persamaan itu sendiri. Perbedaan terkadang sangat diperlukan demi ketertiban umum. Ketertiban umum merupakan sarana menjamin ketenteraman, peri-kehidupan yang harmonis untuk mencapai tujuan bersama.
Perlakuan yang sama terhadap para pemohon, kata Bagir, menimbulkan beban tambahan berakibat pada produktivitas, efektivitas dan biaya yang harus dipikul oleh konsumen. “Tentu saja secara asasi harus dikaji akibat dari persamaan tersebut terhadap prinsip-prinsip keadilan. Jangan sampai persamaan justru menimbulkan ketidakadilan,” tandas Bagir. 
(Nur Rosihin Ana)

0 komentar:

Posting Komentar