Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 (UU APBNP 2012) bertentangan dengan
konstitusi. Sebab Pasal 7 ayat (1) UU APBNP 2012 antara lain mencantumkan bahwa
subsidi BBM menjadi sebesar Rp. 137,4 triliun. Menurut Pemerintah dan DPR yang
bersepakat mengesahkan UU APBNP 2012, subsidi ini akan membengkak bilamana
harga harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude oil Price/ICP) di pasar internasional mencapai lebih dari 15% dari harga 105 USD per
barel atau mencapai harga sebesar 120,75 USD per barel.
Oleh karena itu DPR mengizinkan Pemerintah menaikkan
harga BBM bersubsidi atau bensin premium tanpa persetujuan DPR apabila harga
ICP di pasar internasional mencapai 120,75 USD per barel. Pemerintah dan DPR
sama sekali tidak pernah menyebutkan adanya pemasukan uang tunai dari BPH Migas
sebesar Rp. 67,92 triliun dan pemasukan uang tunai dari penjualan migas sebesar
Rp. 198,48 triliun. Kalau dua angka ini digabung, besarnya menjadi Rp. 308,10
triliun dan kalau angka ini dikurangi dengan angka subsidi sebesar Rp. 137,4
triliun, masih ada kelebihan uang tunai sebesar Rp. 128,83 triliun.
“Buat saya dan banyak orang, Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2012 jelas bertentangan dengan konstitusi kita karena undang-undang
tersebut menyatakan hal-hal yang sama sekali tidak benar. Ketidakbenaran dari
apa yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tercantum dalam
penjelasan tentang undang-undang yang sama yang tidak dapat dipisahkan dari
undang-undangnya sendiri. Di mana adanya pos pemasukan PPH sebesar Rp. 67,92
triliun dan adanya pos pemasukan dari penjualan migas sebesar Rp. 198,62
triliun.”
Pernyataan tersebut disampaikan Kwik Kian Gie saat
didaulat sebagai ahli dalam persidangan uji formil dan materiil UU APBNP di
Mahkamah Konstitusi, Kamis (26/7/2012) siang. Sidang kali kelima untuk gabungan
perkara 42/PUU-X/2012, 43/PUU-X/2012, 45/PUU-X/2012, 46/PUU-X/2012 dan 58/PUU-X/2012
ihwal pengujian formil dan materiil UU APBN-P 2012 ini digelar untuk untuk mendengar
keterangan saksi dan ahli. Selain Kwik Kian Gie, pemohon juga menghadirkan Aan
Eko Widiarto, Ahmad Maftuhan.
Lebih lanjut Kwik Kian Gie mendalilkan inti Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 7 ayat (6a) yang menyatakan Pemerintah boleh menaikkan
harga BBM bersubsidi bilamana harga rata-rata ICP dalam kurun waktu berjalan
mengalami kenaikan lebih dari 15% dari harga yang diasumsikan dalam APBNP 2012
yaitu 105 USD per barel. Menurutnya, dua pasal tersebut saling berkaitan. Dengan
harga bensin premium yang berlaku sebesar Rp 4.500 per liter dan harga LPG
tabung 3 Kg yang berlaku pada saat ini atas dasar harga ICP sebesar 105 USD per
barel dalam pasar internasional yang ditentukan oleh Nymex, pemerintah
mengeluarkan uang tunai dalam bentuk subsidi sebesar Rp. 123,6 triliun seperti
yang tercantum dalam nota keuangan tahun 2012. Namun karena adanya perubahan
dalam asumsi APBN, maka ditebitkan UU APBNP Tahun 2012 yang menjadikan besarnya
apa yang dinamakan subsidi BBM menjadi Rp. 137,4 triliun.
“Entah disengaja atau tidak, dalam semua pernyataan
dan keterangan resmi, Pemerintah dan DPR selalu hanya menyebut adanya angka
subsidi sebesar Rp. 137,4 triliun, tetapi tidak pernah menyebut adanya angka
pemasukan sebesar Rp. 67,92 triliun dari BPH MIGAS dan angka pemasukan sebesar
Rp. 198,48 triliun sebagai hasil penjualan migas. Seluruh rakyat Indonesia
diberikan gambaran adanya kekurangan uang sebesar Rp. 137,4 triliun, tanpa
menyebut adanya pemasukan Rp. 67,92 triliun dan Rp198,48 triliun,” tandas Kwik
di hadapan pleno hakim konstitusi Moh. Mahfud MD (ketua pleno), Achmad Sodiki,
M. Akil Mochtar, Ahmad Fadlil Sumadi, Hamdan Zoelva, Muhammad Alim, dan Anwar
Usman.
Sebagaimana
diketahui, uji formil dan materiil UU APBNP 2012 ini diajukan ke Mahkamah
Konstitusi oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan warga masyarakat.
Antara lain, Perhimpunan Magister Hukum Indonesia (PMHI), Konfederasi Serikat
Pekerja Indonesia (KSPI), Federasi Serikat Buruh Indonesia (FSBI), Indonesian
Human Rights Committe for Social Justice (IHCS), Forum Indonesia untuk
Transparansi Anggaran (FITRA), Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan
Masyarakat (P3M), Eddy Wesley Parulian Sibarani, Masyur Maturidi, M. Fadhlan
Hagabean Nasution, dll. (Nur Rosihin Ana)
0 komentar:
Posting Komentar