Pemisahan Badan Pelaksana dan Badan Pengatur Minyak
dan Gas Bumi (Migas) di bagian hulu dan hilir mengakibatkan terjadinya
sektoralisasi penguasaan Negara atas Migas Indonesia. Sektoralisasi atau
pemisahan di bidang hulu dan hilir pada kenyatannya justru memperlemah peran Pertamina
sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak dan mengelola migas. Hal
ini ditunjukkan dengan besarnya penguasaan pihak swasta atas hulu dan hilir. “Fakta
sekarang, pengelolaan migas di Indonesia dikuasai oleh asing, padahal Pertamina
mampu untuk mengelola itu,” kata Janses E. Sihaloho selaku kuasa hukum para
pemohon uji materi UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU
Migas) di persidangan Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (16/702012) siang.
Sidang pendahuluan untuk nomor perkara 65/PUU-X/2012
ihwal pengujian Pasal 1 angka 19, angka 23, angka 24, Pasal 6, Pasal 9 ayat
(1), Pasal 10, Pasal 44, Pasal 46, dan Pasal 63 huruf c UU Migas UU Migas, ini
diajukan oleh Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) dan Konfederasi
Serikat Pekerja Migas Indonesia (KSPMI). Menurut FSPPB dan KSPMI, ketentuan
dalam pasal yang diujikan tersebut bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan
(3) UUD 1945.
Pasal 10 UU Migas menyatakan: “(1) Badan Usaha atau
Bentuk Usaha Tetap yang melakukan Kegiatan Usaha Hulu dilarang melakukan
Kegiatan Usaha Hilir. (2) Badan Usaha yang melakukan Kegiatan Usaha Hilir tidak
dapat melakukan Kegiatan Usaha Hulu.”
Janses menilai berlakunya Pasal 10 UU Migas telah
memecah bentuk usaha sektor hulu dan hilir migas. Akibat berlakunya Pasal 10 UU
Migas, PT. Pertamina Persero selaku BUMN dalam kegiatan usahanya harus
membentuk anak perusahaan dengan spesifikasi kerja berbeda untuk mengelola
industri hulu dan hilir. Ada sekitar 21 (dua puluh satu) anak perusahaan PT
Pertamina Persero yang bergerak di bidang hulu dan hilir.
Ke-21 anak Pertamina tersebut yaitu: PT Pertamina EP,
PT Pertamina EP Cepu, PT Pertamina Hulu Energi, PT Pertamina Geothermal Energy,
PT Pertamina Drilling Services Indonesia, PT Pertagas, PT Usayana, Pertamina
Energy Services Pte Limited, dan Pertamina Energy Trading Limited, PT Patra
Niaga, PT Pertamina Retail, PT Pertamina Trans Kontinental, PT Pelita Air
Service, PT Patra Dok Dumai, PT Patra Jasa, PT Pertamina Training &
Consulting, PT Tugu Pratama Indonesia, PT Pertamina Bina Medika, PT Pertamina
Dana Ventura, Dana Pensiun Pertamina, PT Elnusa, PT Nusantara Regas.
“Anak perusahaan Pertamina tersebut tidak sepenuhnya
lagi 100% milik negara. Bahkan dari info yang berkembang di beberapa media,
beberapa anak perusahaan Pertamina sendiri dalam waktu dekat akan
diprivatisasi,” lanjut Janses.
Janses E. Sihaloho lebih lanjut di hadapan panel hakim
konstitusi Anwar Usman (ketua panel), Ahmad Fadlil Sumadi dan Hamdan Zoelva,
mengatakan pemisahan sektor hulu dan hilir serta pembentukan anak-anak
perusahaan Pertamina dalam praktek global justru sangat bertentangan dengan fenomena big is beautiful dalam menjalankan
industri perminyakan yang notabene high
capital, high technology dan high
risk. Terhitung beberapa perusahaan yang bergerak di bidang migas dunia
melakukan merger ataupun penggabungan perusahaan untuk meneguhkan dominasi
mereka terhadap penguasaan dan pengelolaan migas dunia. Misalnya Exxon dan Mobil
yang dulu berdiri sendiri-sendiri, sekarang merger menjadi Exxonmobil, dan
Total Fina yang melakukan merger dengan Elf Aquitaine menjadi Total Fina Elf.
“Padahal perusahaan-perusahaan migas tersebut adalah
perusahaan-perusahaan besar. Artinya, kalau umpamanya Pertamina dipecah, nanti
akan sangat susah untuk berkompetisi dengan perusahaan-perusahaan Migas dunia
yang notabene memperkuat badan usaha perusahaan itu sendiri,” papar Janses.
Dalam petitum, FSPPB dan KSPMI melalui kuasa hukumnya
meminta Mahkamah menyatakan Pasal 1 angka 19, angka 23, angka 24, Pasal 6, Pasal
9 ayat (1), Pasal 10, Pasal 44, Pasal 46 , dan Pasal 63 huruf c UU Migas bertentangan
dengan 28D ayat (1), Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945, dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat. (Nur Rosihin Ana)
0 komentar:
Posting Komentar