Setiap warga negara terancam diadukan ke Polisi karena dianggap melakukan perbuatan tidak menyenangkan. Perbuatan tidak menyenangkan dalam ketentuan Pasal 335 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memiliki unsur delik sangat luas, sehingga para pengacara menganggapnya sebagai pasal “karet”. “Pasal ini unsur deliknya sangat luas. Asusila yang ancaman 2 tahun digandengkan dengan pasal ini, bisa dilakukan penahanan. Perbuatan apapun ketika orang bertamu ke rumah saya, kebetulan saya muslim, tidak salam pun bisa saya anggap melakukan perbuatan tidak menyenangkan. Para pengacara sering menganggap (pasal) ini adalah pasal karet.”
Demikian disampaikan Muhammad Sholeh dalam sidang pemeriksaan pendahuluan perkara Nomor 1/PUU-XI/2013 dan Perkara Nomor 3/PUU-XI/2013 yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (21/1/2013). Perkara Nomor 1/PUU-XI/2013 ihwal pengujian Pasal 335 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP dan Pasal 21 ayat (4) huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, diajukan oleh Oei Alimin Sukamto Wijaya. Sedangkan perkara Nomor 3/PUU-XI/2013 ihwal pengujian Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, diajukan oleh Hendry Batoarung Madika.
Di hadapan panel Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi (Ketua Panel), Harjono, dan Maria Farida Indrati, lebih lanjut Sholeh selaku kuasa hukum Oei Alimin Sukamto Wijaya, menyatakan kliennya tersebut terlibat perkelahian di Hotel Meritus, Surabaya pada 5 Agustus 2012 lalu. “Pak Alimin ini dipukuli sampai babak belur oleh yang punya hotel (Meritus), yang kebetulan temannya sendiri,” kata Sholeh.
Saat dipukuli, terang Sholeh, Alimin menantang pemilik Hotel Meritus yang memukulinya untuk duel di Jembatan Suramadu. “Kalau berani itu jangan di sini, ini hotelmu. Kalau mau, ayo kita bertengkar di Jembatan Suramadu,” kata Sholeh menerjemahkan ucapan Alimin kepada pemilik Hotel Meritus yang disampaikan dalam Bahasa Jawa.
Merasa dianiaya, Alimin melapor ke Polisi. Namun, bukannya laporan Alimin yang ditindaklanjuti, justru sebaliknya, Alimin dilaporkan balik. Alimin pun ditahan dengan tuduhan melakukan perbuatan tidak menyenangkan karena melontarkan pernyataan menantang berkelahi. “Klien kami yang nyata-nyata dia menjadi orang teraniaya, dipukuli segala macamnya, justru sekarang menjadi tersangka dengan berbagai macam perkara yang masih berkaitan dengan kejadian di Hotel Meritus, dan Pasal 335 itu selalu dikaitkan,” terang Sholeh.
Pasal 335 ayat (1) KUHP menyatakan, “Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: 1. barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain; 2. barang siapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis.”
Adapun mengenai pengujian Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP, Sholeh mengutarakan keberatan karena adanya perlakuan khsusus untuk Pasal 335 KUHP, di mana penyidik, penuntut, maupun hakim bisa melakukan penahanan. "Nah ini juga kita uji supaya Pasal 335 ini dikeluarkan dari Pasal 21 KUHAP,” pinta Sholeh.
Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP menyatakan: “Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal: b. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1),...”
Menurutnya, tidak sedikit masyarakat yang telah menjadi korban akibat berlakunya ketentuan pasal-pasal yang diujikan ini. Oleh karena itu, Sholeh berharap Mahkamah membatalkan frasa “sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan”, yang termaktub dalam Pasal 335 KUHP. Sholeh juga meminta Mahkamah agar menghapus frasa “Pasal 335 ayat (1)” yang termaktub dalam Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP.
Persoalkan Makna “Segera”
Sementara itu, Hendry Batoarung Madika, melalui kuasanya, Duin Palungkun, menyatakan, ketentuan Pasal 18 ayat (3) KUHAP mengatur tentang Tembusan Surat Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan. Klien Duin ditangkap karena kasus Narkoba. Dalam kurun waktu 24 hari setelah penangkapan, keluarga Hendry baru menerima surat perintah penangkapan. “Klien kami telah ditangkap selama 24 hari kurang lebih baru disampaikan surat perintah penangkapan ini kepada keluarganya,” kata Duin.
Duin mengaku sudah melakukan upaya hukum praperadilan. Namun upaya ini ditolak Hakim, karena KUHAP tidak mengatur pemaknaan mengenai berapa lama kata “segera”. “Menurut pertimbangan Hakim tersebut, dalam undang-undang tidak dijabarkan secara pasti berapa lama rentang waktu untuk kata segera itu,” lanjut Duin.
Menurut Duin, penerapan Pasal 18 ayat (3) KUHAP oleh penyidik Kepolisian Republik Indonesia khususnya tentang pemaknaan kata “segera”, waktunya tidak pasti. Hal ini tidak menjamin kepastian hukum karena warga negara diperlakukan tidak sama di depan hukum. “Karena penerapan kata segera dalam ketentuan tersebut ada yang dilakukan beberapa jam setelah penangkapan dilakukan. Ada yang diterapkan satu hari, dua hari, hingga satu minggu setelah penangkapan dilakukan,” dalil Duin.
Hendry melalui kuasanya dalam petitum meminta ketentuan Pasal 18 ayat (3) KUHAP dimaknai tidak lebih dari satu minggu setelah penangkapan. “Tembusan surat perintah penangkapan harus disampaikan kepada keluarga,” pinta Duin Palungkun, kuasa hukum Hendry Batoarung Madika. (Nur Rosihin Ana).
0 komentar:
Posting Komentar