Catatan Perkara
Warga Negara Indonesia yang berdomisili di luar negeri (WNI LN) menuntut dibentuk daerah pemilihan luar negeri (Dapil LN). Sejak pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) di era Reformasi yaitu Pemilu Tahun 1999 hingga 2009, hak suara WNI LN dimasukkan sebagai perolehan suara Dapil DKI Jakarta II. Hal ini sangat merugikan hak-hak konstitusional mereka. Merasa diperlakukan tidak adil, beberapa WN LN mengujikan ketentuan Pasal 22 ayat (1) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu Legislatif) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Uji materi UU Pemilu Legislatif yang diregistrasi oleh Kepaniteraan MK dengan Nomor 2/PUU-XI/2013 ini diajukan oleh 31 WNI LN. Mereka yaitu: Priyo Puji Wasono (Washington DC), Deyantono Kok Young (Taiwan), Ilhamsyah Abdul Manan (Georgia USA), Nira Bagoes (Toronto), Fify Manan (USA), Renny Damayanti Mallon (San Fransisco), Duta Mardin Umar (Washington DC), Rudy Octavius Sihombing (Taiwan), Muhammad Al Arif (Washington DC), Rizki Nugraha Hamim Penna (Qatar), Syamsiah Hady (Sydney, Australia), Amin Hady (Sydney, Australia), Santa Imelda Paulina Tenyala (Brussels, Belgia), Ismail Umar (Doha, Qatar), Arief Amiharyanto (Doha, Qatar), Dahliana Suryawinata (Den-Haag, Belanda), Hermansyah (Belanda), Tony Thamsir (Taiwan), Firman Mangasa Simanjuntak (Taiwan), Danny Tandela (California, USA), Andry Antoni (Washington DC), Kasuma Juniarni (Korea Selatan), Joko Mulyono Slamet (Korea Selatan), Charles Bonar Pardomuan (Doha-Qatar), Etty Prihartini Theresia (Sanaa, Yaman), Rosalia Adywarman Arby (Jeddah, Saudi Arabia), Aifah Adywarman Arby (Cairo, Mesir), Benyamin Rasyad (Houston, USA), Eli Warti Maliki (Jeddah, Arab Saudi), Heri Sunarli Hansuana (Doha-Qatar), Rizaldi Fadilla (Doha-Qatar).
Ketentuan dalam Pasal 22 ayat (1) dan ayat (5) UU Pemilu Legislatif tidak mencantumkan Dapil LN. Hal ini sangat potensial merugikan hak-hak konstitusional para Pemohon. Sebab, kepentingan para Pemohon sebagai WNI yang berdomisili di luar negeri secara khusus tidak terwakili di DPR RI.
Pasal 22 ayat (1) UU Pemilu Legislatif menyatakan: “Daerah pemilihan anggota DPR adalah provinsi, kabupaten/kota, atau gabungan kabupaten/kota.”
Pasal 22 ayat (5) UU Pemilu Legislatif menyatakan: “Daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.”
Para Pemohon mendalilkan, seharusnya mereka terwakili secara adil oleh wakil rakyat yang secara khusus dicalonkan dari Dapil LN. Selama pelaksanaan Pemilu di era Reformasi (Pemilu 1999-2009), Dapil LN digabung dengan Dapil DKI Jakarta II. Hal ini bertentangan dengan prinsip kesetaraan dan persamaan hak warga negara untuk diwakili dalam pemerintahan sebagaimana ketentuan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. WNI LN mempunyai hak dan kedudukan yang sama dengan WNI yang berdomisili di seluruh wilayah Indonesia. WNI LN mempunyai hak dan kedudukan yang sama untuk berpartisipasi dalam pemerintahan Negara Republik Indonesia.
Konsekuensi dari hak untuk memilih adalah keterwakilan yang adil dalam pemerintahan, khususnya oleh wakil rakyat di DPR-RI. Namun kesamaan kedudukan dan hak untuk diwakili di DPR-RI tidak tercermin dalam pembentukan Dapil yang diatur dalam UU Pemilu Legislatif. Pasal 22 ayat (1) UU Pemilu Legislatif tidak mengakomodasi keberadaan pemilih di luar negeri yang secara de facto tidak berdomisili di provinsi atau kabupaten/kota sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22 ayat (1).
Beda Kepentingan
Dapil LN dianggap sebagai bagian dari Provinsi DKI Jakarta sehingga Dapil LN masuk dalam Dapil DKI Jakarta II. Lampiran UU Pemilu Legislatif pada poin 11 menyebutkan, Dapil DKI Jakarta II meliputi Kota Jakarta Pusat plus Luar Negeri, dan Kota Jakarta Selatan. Lampiran UU Pemilu Legislatif ini menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penentuan Dapil. Sebab, bagaimana mungkin WNI LN dianggap sebagai bagian dari penduduk DKI Jakarta, karena faktanya mereka berasal daerah daerah yang berbeda-beda di Indonesia.
Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.” WNI LN seharusnya mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus sehingga kepentingannya terwakili. Penempatan kepentingan WNI LN secara bersamaan dengan warga Provinsi DKI Jakarta merupakan hal yang salah. Sebab kepentingan politik dan kebutuhan atas keterwakilan antara warga DKI Jakarta dengan WNI luar negeri jelas berbeda.
Ketentuan dalam Pasal 22 ayat (5) UU Pemilu Legislatif yang selanjutnya dirumuskan dalam lampiran UU Pemilu Legislatif poin 11, merupakan lampiran yang ditetapkan tanpa menggunakan metode penghitungan yang jelas untuk mendapatkan jumlah kursi di setiap provinsi dan Dapil secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk sesuai dengan prinsip kesetaraan. Fakta menunjukkan, metode penentuan Dapil sebagaimana diatur Pasal 22 ayat (4) UU Pemilu Legislatif mengakibatkan beberapa provinsi mengalami over-representation (jumlah kursi melebihi dari yang seharusnya). Di sisi lain, beberapa provinsi mengalami under-representation (jumlah kursi kurang dari yang seharusnya).
Dapil Sendiri
Sudah selayaknya WNI LN memiliki Dapil tersendiri yang terpisah dari wilayah DKI Jakarta. Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri RI tahun 2011, WNI yang berdomisili di luar negeri berjumlah 4.457.743 jiwa. Jumlah tersebut bisa mencapai hingga 7 juta jiwa jika ditambahkan dengan WNI LN yang tidak melapor ke perwakilan Indonesia di LN.
Jumlah WNI LN tersebut cukup besar melebihi jumlah penduduk Kota Jakarta Pusat (898.883 jiwa) dan Penduduk Kota Jakarta Selatan (2.057.080 jiwa). Kontribusi jumlah WNI LN yang cukup besar ini berbanding terbalik dengan keterwakilan dan perhatian anggota DPR-RI yang berada di Dapil DKI Jakarta II.
Keterwakilan Dapil LN dengan menggunakan Dapil DKI Jakarta II sangat tidak efektif karena, pertama, konstituensi WNI LN cukup besar sehingga sudah selayaknya dibentuk Dapil LN. Kedua, terjadinya voters disenfranchisement karena keterwakilan konstituen WNI LN yang cukup besar, tidak ada di DPR-RI. Para wakil rakyat yang terpilih mewakili Dapil DKI Jakarta II tidak tampil mewakili kepentingan WNI LN. Wakil rakyat yang terpilih mewakili Dapil DKI Jakarta II lebih terlihat sebagai wakil dari Provinsi DKI Jakarta dibandingkan sebagai WNI LN. Buktinya, wakil rakyat dari Dapil DKI Jakarta II tidak pernah melakukan temu konstituensi kepada WNI LN. Mereka juga tidak pernah menyuarakan isu-isu penting yang relevan dengan kepentingan WNI LN. Ketiga, munculnya sikap apolitis WNI LN. Voters Tournout atau jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya di TPS tergolong rendah. Hal ini disebabkan tidak efektifnya keterwakilan bagi WNI LN. Bagi konstituen WNI LN, tidak ada pengaruhnya menggunakan hak pilih karena tidak adanya wakil di lembaga legislatif yang dapat menjadi saluran penyampaian aspirasi. WNI LN akan merasa their vote will really count and make a difference dengan dibentuknya Dapil LN karena adanya kaitan langsung antara penggunaan hak pilih dengan keterwakilan di DPR-RI.
Berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, para Pemohon yang nota bene WNI yang berdomisili di LN ini sangat berharap kepada Mahkamah agar mengabulkan permohonan mereka. Para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 22 ayat (1) UU Pemilu Legislatif adalah inkonstitusional sepanjang tidak dibaca: “Daerah pemilihan anggota DPR adalah provinsi, kabupaten/kota, atau gabungan kabupaten/kota, atau luar negeri.”
Selain itu, para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan ketentuan Pasal 22 ayat (5) UU Pemilu Legislatif beteentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak mencantumkan Daerah Pemilihan Luar Negeri sebagai daerah pemilihan yang terpisah dengan Daerah Pemilihan DKI Jakarta II. (Nur Rosihin Ana)
0 komentar:
Posting Komentar