Keberadaan partai politik (parpol) sebagai infrastruktur
politik dalam negara demokrasi merupakan suatu kenicayaan. Salah satu upaya
memberdayakan parpol adalah
dengan memberikan hak atau kewenangan kepada parpol untuk membentuk
fraksi-fraksi di MPR, DPR, dan DPRD. Fraksi-fraksi ini sebagai wadah bagi parpol
untuk mengoptimalkan pelaksanaan hak dan kewenangan anggota parpol yang berada
di DPR dan DPRD guna memaksimalkan pelaksanaan tugas dan fungsinya sebagai
lembaga perwakilan dalam rangka memperjuangkan kepentingan rakyat yang
disalurkan melalui parpol.
Fraksi juga menjadi wadah
bagi anggota parpol untuk
berkumpul dan menyamakan perbedaan dari berbagai aspirasi agar dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya di lembaga perwakilan dapat berjalan efektif
dan efisien. Hal tersebut sesuai prinsip utama dalam proses pengambilan keputusan
yang dianut dalam konstitusi yaitu asas musyawarah mufakat. “Terkait hal tersebut,
apabila tidak ada pengelompokan anggota parpol dengan fraksi-fraksi, maka asas
musyawarah mufakat sulit diwujudkan dan hanya mengedepankan pengambilan
keputusan dengan sistim one man one vote atau pemungutan suara.”
Demikian keterangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang disampaikan
oleh Anggota Komisi III DPR RI Harry Witjaksono di hadapan sidang pleno hakim
konstitusi yang diketuai Moh. Mahfud MD didampingi Achmad Sodiki, Harjono, M.
Akil Mochtar, Maria Farida Indrati, Ahmad Fadlil Sumadi, Hamdan Zoelva dan
Anwar Usman. Sidang kali
ketiga untuk perkara 72/PUU-X/2012 ihwal Pengujian Pasal Pasal
12 huruf e UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol) dan Pengujian Pasal 11, Pasal 80,
Pasal 301 dan Pasal 352 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan
Dewan Perwakilan Daerah (UU MD3),
beragendakan mendengarkan keterangan Pemerintah, DPR dan saksi/ahli dari
pemohon serta Pemerintah.
Hal tersebut disampaikan
Harry menanggapi dalil pemohon yang menyatakan keberadaan fraksi-fraksi
yang dibentuk oleh parpol di MPR, DPR, dan DPRD telah mengabaikan kedaulatan rakyat
Indonesia, termasuk di dalamnya adalah kader pemohon yang tersebar di 26
Provinsi di Indonesia.
Selanjutnya Harry menangapi
dalil pemohon yang menyatakan
Pergantian Antara Waktu (PAW) atau recall adalah
tindakan yang tidak logis karena memutus
hubungan antara wakil rakyat dengan rakyat pemilih. Harry menyatakan PAW atau recall tidak terkait langsung dengan fraksi sebagaimana didalilkan pemohon. Kewenangan mengusulkan PAW atau recall berdasarkan
Pasal 213 ayat (2) huruf e UU MD3, adalah
berada di tangan parpol dan bukan di tangan fraksi. Papol berwenang menjatuhkan
tindakan dalam menegakkan
disiplin terhadap para anggotanya agar tidak menyimpang dari Anggaran Dasar atau Anggaran Rumah Tangga
(AD/ART) serta kebijaksanaan dan program kerja yang digariskan oleh parpol. “Hal ini adalah konsekuensi logis dari seseorang
yang menjadi anggota suatu organisasi, dalam hal ini organisasi partai politik,”
tandasnya.
Fungsi Koordinasi
Pemerintah dalam keterangan yang disampaikan oleh Direktur
Litigasi Kemenkum HAM Mualimin Abdi menyatakan fraksi merupakan pengelompokan
anggota DPR berdasarkan partai atau gabungan parpol. Fraksi juga merupakan
perpanjangan dari parpol. Semua anggota DPR merupakan kader partai dan
partailah yang menjadi peserta pemilihan umum. “Oleh karena itu, jika fraksi di
MPR, DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota tidak ada, maka dapat
dipastikan anggota DPR tersebut akan berjalan sesuai dengan keinginannya yang bisa
tidak terkontrol,” jelas Mualimin.
Keberadaan fraksi adalah dalam rangka mengkoordinasi anggota DPR agar lebih berdaya-guna dan berperan-serta
dalam rangka memberikan atau melaksanakan tugas-tugasnya. Utamanya dalam rangka
mekanisme check and balancess terhadap penyelenggaraan pemerintah di
republik ini. “Keberadaan fraksi
di MPR, DPR, DPRD provinsi dan kabupaten/kota, sekali lagi adalah dalam rangka
fungsi koordinasi dalam rangka pengambilan keputusan, walaupun di dalam
pengambilan keputusan tertentu diserahkan kepada kedaulatan anggotanya itu
sendiri. Hal itulah yang menjadikan dasar bahwa dengan adanya fraksi di MPR,
DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten-kota merupakan salah satu bentuk
efisiensi juga dalam rangka proses koordinasi, utamanya efisiensi dalam rangka
pembiayaan itu sendiri,” papar Mualimin.
Untuk diketahui, uji materi UU Parpol dan UU MD3 diajukan oleh Gerakan
Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (GN-PK). Menurut GN-PK, eksistensi
fraksi di MPR RI, DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota telah mengabaikan
kedaulatan Rakyat Indonesia. Kedaulatan rakyat yang memberi mandat selama 5
tahun kepada wakil rakyat yang terpilih, ternyata dieliminasi oleh keberadaan
fraksi-fraksi.
Pasal 12 huruf e UU
Partai Politik menyatakan: “Partai Politik berhak: (e) membentuk fraksi di
tingkat Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
kabupaten/kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Pasal 11 UU MD3
menyatakan: “(1) Fraksi adalah pengelompokan anggota MPR yang mencerminkan
konfigurasi partai politik. (2) Fraksi dapat dibentuk oleh partai politik yang
memenuhi ambang batas perolehan suara dalam penentuan perolehan kursi DPR. (3)
Setiap anggota MPR yang berasal dari anggota DPR harus menjadi anggota salah
satu fraksi. (4) Fraksi dibentuk untuk mengoptimalkan kinerja MPR dan anggota
dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil rakyat. (5) Pengaturan internal
fraksi sepenuhnya menjadi urusan fraksi masing-masing. (6) MPR menyediakan
sarana bagi kelancaran tugas fraksi.”
Pembentukan fraksi menurut ketentuan Pasal 11 ayat (4), Pasal 80 ayat
(1) dan (2), Pasal 301 ayat (1), dan Pasal 352 ayat (1) UU MD3 adalah untuk
mengoptimalkan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang MPR RI, DPR RI, DPRD
Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Namun faktanya justru fungsi tersebut tidak
pernah dilaksanakan oleh fraksi-fraksi. Menurut GN-PK, pembentukan fraksi
merupakan pelanggaran terhadap Pasal 1 ayat (2), Pasal 19 ayat (1) dan Pasal
22c ayat (1) UUD 1945. (Nur Rosihin Ana)
0 komentar:
Posting Komentar