Pungki Harmoko seorang diri tanpa didampingi kuasa
hukum, kembali hadir di persidangan Mahkamah Konstitusi (MK) Jum’at (21/9/2012)
pagi. Pada persidangan kali kedua untuk perkara 83/PUU-X/2012 ini, Pungki di
hadapan panel hakim MK memaparkan perbaikan permohonan judicial review Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Pungki memperbaiki kerugian konstitusional yang
dideritanya akibat berlakunya UU Tipikor. “Hilangnya hak dan harapan pemohon
akan terwujudnya cita-cita berdirinya NKRI yaitu negara yang makmur dan
sejahtera sebagaimana yang terkandung dalam Pembukaan Alinea Keempat
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” kata Pungki.
Guru matematika ini juga menambahkan bahwa hukuman
mati merupakan budaya bangsa. Memperkuat dalil tentang hal ini, Pungki menyerahkan
tambahan alat bukti mengenai kisah Ratu Sima dan Konstitusi Majapahit Raya.
Kemudian tambahan redaksi kata “tidak lagi efektif” pada bagian kesimpulan,
yaitu bahwa UU Tipikor adalah cacat hukum karena tidak
lagi efektif memberikan efek jera bagi pelakunya. “Jadi yang saya tambahkan
kata-kata ‘tidak lagi efektif’,” lanjutnya.
Terakhir, perbaikan pada petitum permohonan.
Sebelumnya petitum poin 4 berbunyi: “Menyatakan keharusan Negara untuk
melakukan reset ulang hukum dengan memerintahkan Presiden RI untuk sesegera
mungkin menerbitkan Surat Keputusan Presiden atas UU Tindak Pidana Korupsi yang
sesuai dengan reset ulang hukum, yaitu hukuman mati bagi tindak pidana korupsi.”
Pungki mengganti bunyi petitum tersebut
karena MK tidak berwenang memerintahkan Presiden RI. Sehingga ia menggantinya
menjadi “Memberitahukan putusan Mahkamah Konstitusi ini kepada DPR, DPRD, Presiden
dan Mahkamah Agung.
“Saya
ganti poin ke-4 itu dengan memberitahukan putusan Mahkamah Konstitusi ini
kepada DPR, DPRD, Presiden dan Mahkamah Agung,” pungkas Pungki. (Nur Rosihin Ana).
SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES
0 komentar:
Posting Komentar