Selasa, 04 September 2012

Pemerintah: Tiada Kerugian Konstitusional Karena Pemohon Uji UU DKI Jakarta Bukan Pasangan Cagub

Pemerintah mempertanyakan kepentingan para pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU DKI Jakarta).Apakah terdapat kerugian konstitusional para pemohon yang bersifat spesifik atau khusus dan aktual, atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada hubungan sebab-akibat antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji?”
Pertanyaan tersebut dilontarkan oleh Dr. Ir. Suhatmansyah IS, M.Si, saat menyampaikan keterangan pemerintah dalam sidang uji materi UU DKI Jakarta yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (4/9/2012) siang. Sidang kali ketiga untuk perkara 70/PUU-X/2012 ihwal pengujian Pasal 11 ayat (2) UU DKI Jakarta ini beragendakan Mendengarkan Keterangan Pemerintah, DPR dan Saksi/Ahli dari Pemohon serta Pemerintah.
Menurut pemerintah, lanjut Suhatmansyah, para pemohon tidak dapat mengonstruksikan dengan jelas mengenai adanya kerugian konstitusional yang dideritanya akibat berlakunya Pasal 11 ayat (2) UU DKI Jakarta yang menyatakan: “Dalam hal tidak ada pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diadakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.”
Pemerintah berpendapat tidak ada hubungan sebab-akibat secara langsung dengan kerugian konstitusional para pemohon karena para pemohon bukan merupakan kandidat yang ikut bertarung dalam Pemilukada DKI 2012. “Para pemohon tidak dalam posisi yang ditolak dan dihalang-halangi haknya karena para pemohon bukanlah calon gubernur atau wakil gubernur yang mengikuti Pemilukada DKI Jakarta,” terang Suhatmansyah, staf ahli Menteri Dalam Negeri bidang Hukum, Politik dan Antar Lembaga.
Lebih jauh Suhatmansyah memaparkan, sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut UUD 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan yang menghormati yang bersifat khusus dan istimewa. Sebagai perwujudan dari ketentuan tersebut, di Indonesia terdapat beberapa daerah yang memiliki sifat kekhususan dan/atau sifat keistimewaan yang pelaksanaannya diatur dengan peraturan perundang-undangan tersendiri. Provinsi DKI Jakarta sebagai satuan pemerintahan yang bersifat khusus dalam kedudukannya sebagai ibukota NKRI dan sebagai daerah otonom, memiliki fungsi dan peran yang penting dalam mendukung penyelenggaraan pemerintahan NKRI berdasarkan UUD 1945. Karena itu perlu diberikan kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab di dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah,” papar Suhatmansyah.
Pemerintah dalam petitum meminta Mahkamah menolak permohonan pengujian Para Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan Para Pemohon tidak dapat diterima. Kemudian, menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan. Terakhir, menyatakan ketentuan Pasal 11 ayat (2) UU DKI Jakarta tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Sementara itu, Dr. H. Fauzi Bowo dan Mayjen (Purn) Nachrowi Ramli selaku Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DKI Periode 2012-2017 yang menjadi pihak terkait dalam perkara ini, melalui kuasanya, Widodo Iswantoro, menyatakan, esensi Pasal 11 ayat (2) UU DKI Jakarta tidak mengandung arti pembatasan terhadap kebebasaan seseorang untuk melakukan atau mewujudkan hak-hak dasarnya. “Ketentuan a quo justru memberikan kesempatan kepada seluruh warga masyarakat untuk mewujudkan hak-haknya dalam penentuan pilihannya dalam Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta pada Putaran Kedua, karena pada putaran pertama tidak dapat memenuhi ketentuan yang disarankan oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 dan Undang-Undang DKI Jakarta,” kata Widodo.
Pada persidangan kali ini, para pemohon menghadirkan Irman Putra Sidin sebagai ahli. Irman dalam keterangannya menyatakan, ada dua standar kebijakan hukum untuk penetapan pasangan calon terpilih gubernur dan wakil gubernur dalam model pemilukada langsung. Untuk DKI Jakarta penetapan pasangan terpilih harus memperoleh suara 50% lebih, sedangkan di luar daerah khusus cukup dengan perolehan suara 30% lebih.
“Padahal pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur DKI menggunakan model yang sama dengan daerah lainnya yaitu pilkada alias pemilihan langsung kepala daerah dengan penyelenggara yang sama yaitu Komisi Pemilihan Umum dan pengawas yang sama serta prinsip-prinsip yang sama yaitu menurut Pasal 22E UUD 1945,” kata Irman.
Seperti diketahui, uji materi UU DKI Jakarta ini diajukan oleh Abdul Havid Permana, Muhammad Huda, dan Satrio Fauzia Damardjati. Para pemohon yang mengambil kedudukan hukum sebagai perorangan warga DKI Jakarta dan mempunyai hak pilih dalam Pemilukada Gubernur DKI Jakarta ini merasa dirugikan dirugikan hak-hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 11 ayat (2) UU Pemerintah DKI Jakarta. Kerugian konstitusional dimaksud yaitu mengenai pelaksanaan Pemilukada DKI Jakarta putaran kedua menguras anggaran yang bersumber dari pajak yang dibayarkan oleh para pemohon. Selain itu, ketentuan tersebut tidak sinkron dengan Pasal 107 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah karena membedakan antar-Ibukota Jakarta dengan daerah lain. Sehingga menurut pemohon, ketentuan Pasal 11 ayat (2) UU DKI Jakarta bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. (Nur Rosihin Ana).

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More