Eksistensi beberapa partai politik (parpol) yang meraup suara signifikan di tingkat DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota di beberapa daerah, merupakan fakta bawa dukungan politik masyarakat lokal tidak selalu sejajar dengan dukungan terhadap partai yang sama di level nasional (DPR RI). Ketentuan yang mengharuskan partai politik di Indonesia memiliki kepengurusan yang bersifat nasional merupakan pengaturan yang berpotensi mencederai hak setiap orang untuk mengeluarkan pikiran dan bergabung dengan organisasi secara bebas, dan nyata-nyata bertentangan dengan tujuan pengaturan tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum bagi warganegara.
Demikian antara lain dalil permohonan Jamaludin dan Andriyani yang disampaikan kuasa hukumnya dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (8/10/2012) siang. Sidang perkara Nomor 94/PUU-X/2012 ihwal pengujian Pasal 1 angka 1 dan Pasal 3 ayat (2) huruf c UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol), dan Pasal 8 ayat (2) huruf b, c dan d UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pileg).
Pasal 1 angka 1 UU Parpol menyatakan, “Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Jamaludin dan Andriyani merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena kepentingan politiknya terbatasi dengan syarat kepartaian yang bersifat nasional. Keduanya kehilangan hak untuk mendirikan partai politik (parpol) yang berbadan hukum dan berbasis masyarakat di daerah yang masing-masing mempunyai kekhususan. Walaupun para pemohon dapat mengusung calon perseorangan dalam sebuah pemilu, tetapi para pemohon tidak mempunyai hak untuk me-recall atau mencabut dukungannya seperti hak yang diberikan kepada partai politik.
“Apabila permohonan para pemohon dikabulkan, maka keterwakilan para pemohon dalam sebuah partai berbasis masyarakat di daerah akan memberikan keseimbangan sehingga aspirasi dan berbagai kepentingan bisa tersalurkan secara merata, yang tidak selalu berbasis pada tingkat nasional,” kata Iskandar Zulkarnaen, kuasa hukum Jamaludin dan Andriyani.
Konstruksi Pasal 3 ayat (2) huruf c UU Partai Politik dan Pasal 8 ayat (2) huruf b, c, dan d UU Pileg, telah menutup kemungkinan lahirnya partai politik yang hanya berada di satu provinsi atau di satu kabupaten/kota saja. Semestinya, UU Pileg membuka kemungkinan untuk menghadirkan parpol berskala lokal dengan tidak memaksakan persyaratan kepengurusannya secara nasional sebagai prasyarat mengikuti pemilu.
Menanggapi permohonan Jamaludin dan Andriyani, Ketua Panel Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva menyatakan inti permohonan adalah dimungkinkannya partai lokal dengan menghapus partai nasional. “Karena syarat-syarat partai politik yang bersifat nasional, Saudara minta untuk dinyatakan bertentangn dengan konstitusi,” kata Hamdan.
Hamdan menyarankan jika para pemohon memikirkan ulang permohonan terutama pada sistematika permohonan. “Coba Saudara pikirkan lagi, kalau memang Saudara minta partai lokal, ya partai lokal saja, partai nasional tetap syaratnya seperti itu,” lanjut Hamdan sembari menambahkan, bahwa di Aceh sudah berdiri partai lokal dengan syarat tersendiri.
Sementara itu Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar menyarankan para pemohon untuk lebih memahami tujuan pembentukan partai politik dan syarat pendiriannya. “Tujuan daripada partai politik merupakan sarana atau wahana untuk pendidikan politik bagi anggota partai politik maupun masyarakat luas,” kata Akil. (Nur Rosihin Ana)
SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES
0 komentar:
Posting Komentar