Pembentukan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (UU Pengelolaan Zakat) sama sekali tidak dimaksudkan untuk sentralisasi dan subordinasi dalam pengelolaan zakat secara nasional berada sepenuhnya di tangan pemerintah. Masyarakat tetap dapat membantu dan berperan serta dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan zakat dengan membentuk Lembaga Amil Zakat (LAZ). Hak masyarakat untuk membantu dan berperan serta dalam pengelolaan zakat, diatur dalam ketentuan Pasal 17 UU Pengelolaan Zakat yang menyatakan, ”Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk LAZ.”
Pembentuk undang-undang menyadari sepenuhnya bahwa untuk memaksimalkan pengelolaan zakat dengan potensi yang begitu besar, tidak dapat dilakukan sendiri oleh Baznas tanpa adanya bantuan dan peran serta masyarakat. Untuk itu, masyarakat diharapkan dapat berperan serta membantu Baznas dalam pengelolaan zakat dengan membentuk Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang secara mandiri dapat melaksanakan kegiatan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. “Dengan demikian, kata ‘membantu’ dalam Pasal 17 Undang-Undang Pengelolaan Zakat adalah tidak tepat jika dimaknai bahwa LAZ yang dibentuk oleh masyarakat adalah subordinasi Baznas, sebagaimana didalilkan para Pemohon.”
Demikian dikatakan Anggota Komisi III DPR Ruhut Sitompul saat menyampaikan keterangan DPR dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi, Selasa (9/10/2012) siang. Sidang kali ketiga untuk Perkara Nomor 86/PUU-X/2012 ihwal uji Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 38 dan Pasal 41 UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, beragendakan mendengar keterangan DPR, Pemerintah, dan saksi.
Pengujian materi UU Pengelolaan Zakat ini diajukan oleh Yayasan Dompet Dhuafa; Yayasan Rumah Zakat Indonesia; Yayasan Yatim Mandiri; Yayasan Portal Infaq; Yayasan Dana Sosial Al Falah Malang; Lembaga Pendayagunaan dan Pemberdayaan Zakat, Infaq, Shadaqoh dan Waqaf Harapan Ummat (LPP-ZISWAF HARUM); Yayasan Harapan Dhuafa Banten, Lembaga Manajemen Infaq (LMI), YPI Bina Madani Mojokerto; Rudi Dwi Setiyanto (Amil Zakat); Arif Rahmadi Haryono (Muzakki); Fadlullah (Muzakki); dan terakhir, Sylviani Abdul Hamid (Muzakki).
Lebih lanjut Ruhut menyatakan, dalam rangka memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada muzakki, mustahik, dan LAZ dalam melaksanakan pengelolaan zakat, maka ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU Pengelolaan Zakat mengatur secara tegas bahwa untuk pembentukan LAZ wajib mendapat izin menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh menteri. Mekanisme perizinan dalam pembentukan LAZ adalah merupakan penerapan asas kepastian hukum dalam pengelolaan zakat. “Dengan adanya kepastian hukum, maka kepentingan-kepentingan dari muzakki, mustahik, dan lembaga amil zakat (LAZ) dalam pelaksanaan pengeloaan zakat akan terlindungi,” lanjutnya.
Entas Kemiskinan
Pemerintah melalui Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar dalam keterangannya mengutip Firman Allah dalam Al-Qur’an surat At-Tawbah ayat 103, “Khudz min amwâlihim shadaqah...” (Ambillah zakat dari sebagian harta mereka...). Ulama tafsir sepakat bahwa kata “khudz” (خُذْ) yang menggunakan fi’il amr (kata kerja bentuk perintah), fâ’il (subjek)-nya adalah pemerintah. Dalam praktik sejarah Islam, yang memiliki otoritas sebagai pengumpul zakat pada waktu itu dimaknai sebagai ulil amri (pemimpin).
Lebih lanjut Nasar menyatakan, sebagai instrumen sosial ekonomi, zakat di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar. Berdasarkan penelitian Baznas dan Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institute Pertanian Bogor (FEM-IPB) yang didanai oleh Islamic Research & Training Institute (IRTI-IDB), potensi zakat nasional mencapai angka Rp. 217 triliun atau 34% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Potensi zakat nasional ini terbagi ke dalam tiga kelompok besar, yaitu potensi zakat rumah tangga dan individu nasional, potensi zakat industri menengah dan besar nasional serta zakat BUMN, dan potensi zakat tabungan nasional. “Jika melihat pada angka Zakat Infaq dan Shadaqah (ZIS) yang terkumpul secara nasional, maka terdapat kesenjangan yang sangat besar antara potensi zakat dengan realisasi penghimpunannya,” kata Nasar.
Pada tahun 2011, jumlah ZIS yang terhimpun secara nasional melalui Baznas dan jaringan Baz daerah serta jaringan LAZ, secara keseluruhan baru mencapai Rp. 1,73 triliun. Angka ini mengalami kenaikan sebesar 15,33% jika dibandingkan dengan penghimpunan tahun 2010 yang mencapai angka Rp. 1,5 triliun. Akan tetapi jika dibandingkan dengan penghimpunan nasional yang terdata pada tahun 2002, maka terdapat kenaikan penghimpunan ZIS sebanyak 25 kali lipat atau 2,544,1% dalam kurun waktu 9 tahun. “Ini menunjukan bahwa kesadaran masyarakat untuk berzakat melalui Baznas dan LAZ mengalami peningkatan yang sangat signifikan,” lanjutnya.
Sedangkan dari sisi pemanfaatan, terang Nasar, program-program penyaluran zakat, baik yang bersifat konsumtif maupun produktif, terbukti mampu mengurangi jumlah kemiskinan mustahik. berdasarkan studi Indonesia Zakat and Development (IZD) tahun 2012 yang dipublikasikan oleh di Harian Republika edisi 23 Ferbuari 2012 lalu, program penyaluran zakat terbukti mampu mengurangi jumlah kemiskinan mustahik sebanyak 21,11%. Dalam survei yang dilakukan di 5 kota besar Indonesia terhadap 1.639 rumah tangga mustahik, terbukti bahwa dari 100 rumah tangga mustahik yang telah dibantu, 21 rumah tangga di antaranya mampu dientaskan dari garis kemiskinan. “Ini menunjukan bahwa pengelolaan zakat yang terencana dan terorganisir melalui institusi yang amanah, memiliki dampak positif yang signifikan terhadap upaya pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat,” terang Nasar.
Tujuan pengelolaan zakat adalah untuk meningkatkan keadilan, kesejahteraan masyarakat, dan penanggulangan kemiskinan dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna. Zakat harus dikelola secara melembaga sesuai denga syariah Islam, amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, terintegrasi, dan akuntabilitas, sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat.
Pengelolaan zakat berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, sehingga perlu diganti pengelolaan zakat yang diatur dalam undang-undang ini meliputi kegiatan perencanaan, pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan. Dalam upaya tujuan pengelolaan zakat, dibentuk Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) yang berkedudukan di ibukota negara, Baznas provinsi, dan Baznas kabupaten/kota.
Pembentukan Baznas tidak dimaksudkan untuk mematikan LAZ. Bahkan LAZ yang pembentukannya mensyaratkan izin dari pejabat yang berwenang, dapat menjadi mitra Baznas dalam pengelolaan zakat. Karena itu menurut Pemerintah, ketentuan Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Pengelolaan Zakat adalah tidak dalam rangka mensubordinasi LAZ. “Oleh karena itu, menurut pemerintah, ketentuan Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Pengelolaan Zakat tersebut tidak bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28H ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” papar Nasar. (Nur Rosihin Ana)
SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES
0 komentar:
Posting Komentar